Daun ginko berguguran tersangkut di sela ikatan rambutnya. Di bawah langit yang cerah, sinar matahari menembus celah dedaunan dan menyinari rambut platinumnya yang kemilau. Semilir angin tak lupa ikut membelai dan menerbangkan ujung gaun abu-abunya yang berkibar lemah di bawah lutut. Namun bahkan dengan semua keceriaan Kyoto yang bahu-membahu mengkomplemen kehadirannya, ia tidak tersenyum. Hatinya pedih.
Kojima Miharu menengadahkan kepalanya menatap burung-burung gereja yang berkicau sama berisiknya dengan burung yang melintas ketika ia memutuskan untuk pergi dari tempat ini, 8 tahun lalu.
Kyoto telah berubah, meskipun tampak sama. 8 tahun lalu pohon Ginko di sekelilingnya masih belum serimbun ini. Kedai kopi di pojok penyeberangan seberang taman juga belum seramai sekarang. Gedung-gedung tinggi terlihat menjulang dari balik tembok taman di sebelah barat daya-- ia kenal betul pemilik gedung-gedung itu. Dan aroma ini, aroma musim semi yang membawa bau matahari, bunga peony dan sedikit bau kopi. Hanya bau ini yang tak berganti, dari dulu hingga sekarang. Sama persis. Dan tak lupa, sesak di dadanya masih tetap sama seperti waktu itu.
----*----
"Apa?!" anak laki-laki berambut cokelat membelalakkan matanya lebar-lebar.
"Apa maksudmu dengan pergi, Miharu-chan? Kau akan pindah?" tanyanya.
Miharu hanya diam, menatap sepasang burung gereja di dahan pohon ginko, sama sekali tak mengindahkan perkataan sahabatnya.
"Miharu-chan apa itu benar?" tanya anak perempuan dengan rambut hitam panjang yang terurai. Di sebelahnya, anak perempuan lain berkuncir kuda menatap dengan terperangah.
"Jangan bercanda!" teriak si kuncir kuda.
"Ini sangat tiba-tiba. Kau tak pernah bilang tentang hal ini sebelumnya. Jika kau pergi sekarang, kita tidak akan bisa memperingati kematian Mibuchi-sensei. Kenapa kau tega?" kuncir kuda mengguncang bahu Miharu yang masih tak bergeming.
Hening beberapa saat, ketika kemudian anak laki-laki bersurai abu-abu memegang lengannya. Miharu menoleh perlahan dan menatap manik hitamnya.
"Kojima.." panggilnya
"Jika kau memang ingin pergi, pergilah" bisiknya dalam. Iris cokelat Miharu membuka sempurna, tak menyangka kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya. 'Tentu saja ia mengerti' batinnya. Ia selalu mengerti.
"Pergilah" ulangnya
"Tapi ketahuilah, aku akan menunggumu di sini, di bawah pohon ginko ini, setiap harinya hingga kau kembali. Persis seperti yang engkau lakukan dulu"
Miharu terdiam, air mata tertahan mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Kau tak masuk akal, Akihito. Dia akan pergi, meninggalkan kita semua! Apa ada sesuatu yang tidak kau pahami dari situ?" si kuncir kuda benar-benar tak dapat memahami situasi. Matanya merah dan tetesan air mata mengalir menyusul milik anak perempuan lain berambut hitam yang tampak amat terguncang tergerai angin.
Miharu perlahan melepaskan genggaman anak bersurai abu di lengannya, dan berjalan menuju mobil, dimana Matsubara-san menunggu dengan tenang melihat perpisahan majikan dan teman-temannya.
"Hei" panggil Miharu tanpa menoleh. Keempat teman kecilnya menatap punggungnya yang tampak ringkih tertiup angin.
"Sampaikan salamku kepada Mibuchi-sensei. Aku akan membaca cerita bersamanya lagi. Entah kapan, tetapi aku akan kembali"
Tangisan mulai pecah saat perempuan berambut hitam dan kuncir kuda tak lagi menahan kesedihannya. Temannya akan pergi meninggalkan mereka, tanpa memberi kesempatan bagi mereka untuk mengetahui lebih banyak tentang alasannya, secara tiba-tiba. Anak laki-laki berambut cokelat menggigit bibirnya, sedangkan anak bersurai abu hanya mengawasi punggung teman terkasihnya.
"Sayonara" pamit Miharu, berusaha keras untuk tidak menatap mata mereka, terutama manik hitamya, khawatir keteguhan dan niat bajanya luntur sesaat setelah bertatap dengannya.
Mobil yang ditumpangi Miharu melesat pergi, meninggalkan 4 anak di bawah pohon ginko taman Kyoto, menyembunyikan getaran bahu dari seorang anak kecil, yang terpaksa untuk dewasa melampaui usianya.
----*----
Sekarang ia telah kembali, menuju tempat yang sama setelah 8 tahun berlalu. Kakinya salip-menyalip menuju sebuah pohon ginko di kejauhan, tempat ia mengucapkan salam perpisahan.
Miharu dapat melihat dahan-dahan pohon ginko yang kokoh dan sarang burung gereja yang tergantung rapi di salah satu cabang. Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh pohon itu. Teksturnya masih tetap sama sepeti 8 tahun lalu. Kasar dan hangat. Seolah tak pernah lupa untuk menyambutnya kembali setelah sekian lama waktu berlalu.
Miharu menghembuskan nafas panjang. Dadanya masih tetap sesak dan ingatan dalam otaknya masih tetap lekat. Tak dapat dipungkiri, ia merindukan tempat ini, merindukan musim semi ini, merindukan saat-saat belajar huruf Kanji dengan Mibuchi-sensei, merindukan canda tawa sahabat-sahabat kecilnya, merindukan dia.
Kilasan rindunya terhenti saat sebuah suara bass menyapanya dari belakang.
"Musim semi yang indah, ne"
Manik cokelatnya segera menemukan manik hitam itu. 'Ya Tuhan' desah Miharu dalam hati. Dia datang.
"Hisashiburi, Kojima Miharu" laki-laki tegap bersurai abu-abu tersenyum menatapnya.
"Kau masih ingat aku?"
Tubuh Miharu menegang menahan desakan kuat dari hati untuk memeluk orang di hadapannya. Samar-samar ia menarik kedua sisi bibirnya.
"Mana mungkin aku melupakan orang yang telah menungguku selama 8 tahun?"
Laki-laki di hadapannya tertegun, lalu tertawa renyah. Tawanya menyihir Miharu dengan caranya tersendiri, menariknya kembali dalam ingatan-ingatan masa lalu yang meledak dalam kepalanya. Surai abu-abu tersenyum.
"Ah, aku begitu bodoh menunggu selama 8 tahun" ujarnya di sela matanya yang berubah jenaka. Miharu tersentak mendengarnya.
"Dan..." buru-buru laki-laki itu melanjutkan
"Kau tak tahu betapa semua itu terbayar saat aku melihatmu saat ini"