Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Love Rat

ikyamelia
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4.5k
Views
Synopsis
Naina Gentari tahu dia tidak secantik gadis populer di sekolahnya. Ia tidak punya teman makan siang bersama selain Lukas, sahabat yang ia kenal sejak kecil. Namun sore itu Aksara Wirya mengubah keseluruhan hidup Naina. Ketenangan gadis itu sirna berganti dengan letupan-letupan kecil di setiap momen dirinya bersama Aksa. Dengan Aksa, Naina belajar berbagi. Dan dengan Aksa, Naina belajar bagaimana untuk saling percaya. *** Love Rat (idioms) = Somebody who cheat on his/her partner Copyright @2019 Riz Amelia

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Kamu yang nyata

Katanya... indah itu hanya dilihat. Nyatanya... bisa juga dirasa.

***

Sore itu tidak seperti biasanya. Langit yang cerah tiba-tiba saja menjadi kelabu, membuat matahari bahkan tak bersedia menghias ufuk dengan cahayanya. Gerimis belum datang, ia masih setia dengan awan, mematut diri apakah ia cukup siap untuk jatuh dan terlupakan.

Hal pertama yang dilakukan seorang gadis berseragam putih abu-abu—yang tengah duduk di pinggiran taman sekolah—mengeluarkan payungnya dari dalam tas. Ia tersenyum tipis, menyadari kebiasaannya mengecek ramalan cuaca tiap pagi berguna. Untuk momen seperti ini, di mana tidak ada satupun orang yang peduli ia akan basah atau tidak jika nanti hujan turun secara tiba-tiba.

Ia suka duduk di sana sepulang sekolah, ketika taman sudah cukup sepi dan menyisakan para senior yang masih bergelut dengan soal-soal ujian akhir. Ia suka tidak dikenali, suka tidak di sapa, dan suka dengan kesendirian yang pendek. Karena mungkin taman ini adalah satu-satunya tempat ia bisa menyepi sejenak. Ia takut berharap tinggi sesampainya di rumah akan menemukan hal yang sama seperti sekarang.

Gadis bermata cokelat terang itu acap kali hanya terduduk, bersenandung pelan mengikuti irama lagu yang diputarnya di balik earphone yang dikenakan. Ia suka lagu-lagu klasik yang menenangkan—selera yang tak terduga dari gadis berusia enambelas tahun memang. Tapi mendengarkannya dari kecil, musik klasik seolah menjadi pelariannya di kala jenuh.

Sore itu memang tidak biasa. Gadis itu seharusnya tetap sendirian, masih menanti hujan turun hingga ia punya alasan kuat untuk pulang. Kembali ke realitas tanpa akhir yang memuakkan.

Namun suara pelan memecah kesunyiannya, menyisakan satu tanda tanya besar di benak kepalanya saat ia menoleh ke pemilik suara.

"Hujan akan turun. Sebaiknya kamu pulang."

Naina—gadis itu, tercengang. Berbulan-bulan lamanya ia di sana, tak ada yang menyapanya, sekedar untuk bertanya apa yang ia lakukan di sana pun tidak.

Dan kini—pemilik tubuh tegap dengan wajah rupawan yang dikagumi banyak perempuan di sekolahnya—menatapnya teduh dengan iringan senyum tipis yang pertama kali Naina lihat.

Naina tertegun, entah apa yang harus ia ucapkan. Terima kasih? None of your business? Atau sederet kalimat sarkas lainnya?

Naina tidak menemukan kata yang tepat.

Laki-laki itu bernama Aksa. Satu tingkat di atas Naina, dan menjadi satu-satunya siswa di sekolah yang pernah memenangkan ajang putra-putri sekolah tingkat nasional karena terpaksa.

Ya, terpaksa mengikuti karena pihak sekolah memohon padanya. Semua tahu Aksa tipikal siswa misterius yang tidak suka wajahnya dimanfaatkan.

"Naina. Hujan akan turun."

Naina tidak tuli. Tapi ia berharap tuli sekarang. Karena ketika Aksa menyebut namanya, ia tahu setitik manis akan menodai hatinya. Naina tidak suka. Ia tidak ingin.

"Belum hujan." Naina memberi pernyataan yang seperti sanggahan. Ini pertama kalinya, dalam enambelas tahun terakhir ada seorang laki-laki rupawan bicara padanya dengan nada artificial seperti Aksa.

Naina tahu diri seperti apa rupa wajahnya. Ia tidak cantik, meskipun sahabatnya—Lukas—selalu mengatakan ia manis. Oh, c'mon, Lukas dan Naina sudah seperti kakak adik karena persahabatan mereka sejak bayi, dan pujian dari Lukas tak pernah meyakinkan.

Aksa tertawa kecil, ia memainkan bola basket yang dibawanya dan kini mengambil tempat duduk di sebelah Naina, menyisakan jarak di antara mereka tak lebih dari satu meter. Naina cukup yakin dirinya masih tetap sopan untuk tidak bergeser ke arah berlawanan.

"Mari menunggu sampai hujan turun," Aksa berujar. Matanya lurus ke arah langit yang semakin gelap.

Naina bingung, dia tak paham dengan situasinya. Aksa bisa menunggu hujan turun di manapun. Di koridor kelas, di gazebo taman, atau di kantin belakang sekolah. Di manapun, asalkan tidak di samping Naina seperti saat ini.

Naina ingin beranjak, tapi ia tidak rela. Ia yang menemukan tempat ini pertama kali. Kesepian yang ia agungkan, kesepian yang ia jaga. Dan Aksa telah mencurinya.

"Naina, kamu suka hujan?"

Naina refleks menggeleng, tepat di saat Aksa menoleh padanya. Dua kali namanya disebut, Naina heran darimana Aksa mengetahui dirinya. Ia tidak sepopuler itu.

"Saya juga nggak suka. Hujan bikin saya nggak bisa main basket."

"Oh." Bibir Naina kelu. Ia nyaris lupa Aksa mantan kapten basket yang baru saja mengundurkan diri karena murid kelas duabelas dilarang mengambil peran penting di seluruh ekskul. Entah berapa banyak kemenangan yang dibawanya saat ia masih menjadi kapten. Aksa populer karena wajah, kecerdasan, dan kepiawaiannya bermain basket. Ia role model nyaris tanpa cela.

"Tapi saya memanfaatkan hujan seringkali."

Naina tak tahan untuk tidak memasang wajah heran dan Aksa yang masih menatapnya tadi kini berpaling, kembali ke langit sore.

"Hujan jadi penolong saya ketika saya malas menjemput Alisha dari tempat les."

Ah, Alisha. Pacar Aksa. Teman sekelas Naina yang cantiknya diwariskan oleh Ibu gadis itu yang seorang aktris ternama.

"Hujan selalu menjadi penolong, meski seringkali mereka dilupakan." Naina akhirnya menyuarakan pikirannya. Kali ini tanpa ragu.

"Kamu benar. Seharusnya saya meminta maaf pada hujan."

Naina mendengus, tertawa. Perkataan Aksa terdengar lucu. Dan setetes air membasahi tangannya, pertanda hujan tak lama lagi muncul.

"Gerimis datang. Saya pulang," kata Naina. Ia bersiap. Membuka payung pink miliknya, tak berniat menawarkan tumpangan pada Aksa. Gadis itu berdiri lalu mulai melangkah menuju gerbang sekolah. Tapi derap langkah terdengar, disusul tangan Aksa yang menggenggam tongkat payung yang Naina pegang.

"Kali ini saya tidak malas. Hujan tidak ingin saya jadikan alasan," ujar Aksa pelan dan terlalu dekat. Naina tidak pernah sedekat ini dengan seorang laki-laki.

"Kamu... mau pulang bersama saya?"

Lagi. Untuk pertama kalinya, Naina mengiyakan apa yang ditawarkan Aksa. Gadis itu, hanya penasaran dengan apa yang terjadi selanjutnya.