Chereads / Alchemys Meister / Chapter 1 - Chapter 01 - Toko Senjata Aegille

Alchemys Meister

🇮🇩Ay_Syifanul
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 20.5k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Chapter 01 - Toko Senjata Aegille

"Ah, aku harap tak ada banyak hal berubah."

Bersiap untuk pergi, Aina merasa sedikit cemas.

Ini pertama kalinya Aina akan meninggalkan rumahnya begitu jauh. Jarak kira-kira menuju Kota Aldewn adalah 2 km jika tidak ada yang berubah dari ingatan Aina dahulu.

Nora dan Miya juga hampir mengatakan hal yang sama jadi kemungkinan memang belum ada perubahan.

"Tapi tetap saja, jika aku tak bisa menukar uang ini sepertinya aku harus menjual beberapa permata yang ku temukan."

Aina tidak tau pasti jenis atau nama permata yang dimilikinya karena dia memang tak pernah membaca buku atau semacamnya, dia bahkan tak bisa menanyakannya pada kedua orang itu.

"Aku juga harus memperbaharui Brynhildr. Aku harap uangnya cukup."

Brynhildr, adalah sebuah nama yang Aina berikan pada kedua senapan angin rancangannya.

Mengingat keberadaan Giant Tyran pada sebelumnya, Aina sadar bahwa Brynhildr belum cukup kuat untuk menghempaskan monster itu.

"Sepertinya perlu penyesuaian pada tekanan udara dan juga perawatan pada materinya. Ini sudah terlalu lama aku takut udara atau darah akan mempercepat pengkaratannya."

Menambahkan sebilah pisau pada moncong depan Brynhildr juga sepertinya bagus. Pikir Aina.

Dia memang kurang berpengalaman dengan pertarungan jarak dekat, namun setidaknya Aina membutuhkan perlindungan diri.

"Semuanya sudah tercatat! Ternyata banyak juga."

Setelah lelah mempersiapkan apa saja yang dia butuhkan agar dirinya tak lupa, Aina segera mengganti pakaiannya.

Mengikat rambut cokelatnya seperti kucir kuda, Aina tak lupa memakai bandana merah muda kesukaannya. Pakaian hangat dengan pelindung dada kulit juga rok lipat berwarna biru melekat melengkapi penampilannya.

Sarung senapan Brynhildr terpasang pada kedua samping pinggangnya juga sebuah generator supply udara di belakang punggungnya.

Karena sudah terbiasa, Aina tak merasa berat. Dibandingkan saat mengangkat kayu pepohonan atau mengayunkan kampak dahulu, perlengkapan itu masih terbilang sangat ringan.

Mengambil beberapa uang yang tak pernah dia pergunakan juga permata yang telah dia kumpulkan selama ini, dia memasukkannya pada tas kaki yang tersembunyi oleh roknya.

Karena Aina tak memiliki apapun, dia takut terlalu menarik perhatian dengan membawa banyak barang pada sebuah tas rami hingga membuat para bandit mungkin akan mengincarnya.

"Baiklah, aku siap. Mari pergi."

Melakukan sedikit pengamanan di rumahnya, Aina memasang berbagai perangkap monster juga pengusir hama pada kebunnya menggunakan kaleng besi yang dimasukkan bebatuan.

Meski begitu masih ada banyak hal yang Aina ingin pastikan sebelum dirinya pergi. Bagaimana juga rumah itu adalah satu-satunya tempat tinggalnya, jika dia kehilangannya... mau tinggal dimana dia?

Setelah meneguhkan hatinya, Aina melangkah meninggalkan rumah memasuki jalanan hutan yang sengaja dia buat agar dirinya tak tersesat saat akan menuju jalan utama.

Dia selalu mengikatkan seutas kain kulit binatang sepanjang jalannya keluar. Karena warnanya tersamarkan jadi mustahil untuk mengenalinya sebagai petanda kecuali untuk dirinya.

Baginya sudah sangat lama dia tak memperhatikan pemandangan di luar hutan dimana terdapat sebuah jalan setapak atau suara kereta kuda melintas.

Aroma lembut angin yang berembus meninggalkan hutan menyisahkan sedikit perasaan risau di hatinya.

Udara berubah sedikit hangat, namun disamping itu, perasaan itu begitu nostalgia untuknya.

"Kota Aldewn, aku datang."

Aina melangkah ringan berharap agar dia tak terlalu menarik perhatian seseorang atau siapapun nanti yang akan ditemuinya.

'Orang hutan baru saja memasuki kota!' Tentu Aina tak berharap itu akan terjadi padanya.

Kekhawatirannya tidak lain tidak bukan karena masa lalunya. Aina terkadang kesulitan dalam menangkap pembicaraan yang membuatnya sering kali terdiam.

Juga, sepertinya dia belum memahami harga pasar saat ini. Aina rasa dirinya masuk dalam masalah serius.

———

Setelah menempuh perjalanan dengan berjalan kaki selama satu jam, Aina akhirnya dapat melihat dinding yang melindungi kota Aldewn.

Aldewn adalah salah satu kota besar di wilayah Kerajaan Merlia. Dari buku SD sejarah yang dia baca, Aldewn termasuk kota dengan jumlah penduduk terpadat.

Meski begitu Aldewn tidak memerlukan pemeriksaan seperti kota-kota lainnya karena bangsawan kota Aldewn bisa dikatakan cukup rendah hati dan senang menerima siapapun dengan tangan terbuka.

Aina dengar kalau bangsawan kota Aldewn berkeinginan menjadikan Aldewn sebagai kota dengan kebudayaan yang melimpah dengan begitu hasil pangan dan barang akan beragam dan secara tidak langsung akan mengangkat status perekonomian kota.

Meskipun demikian, tak selalu yang dapat diraihnya adalah hal baik. Terdengar rumor-rumor aneh seperti tentang beberapa organisasi gelap juga maraknya perbudakan di Aldewn.

"Tapi, kalau tak salah disini ada sesuatu yang disebut 'perserikatan' yang mempekerjakan para petualang."

Para petualang sendiri tidak lain bekerja karena seseorang membutuhkan pertolongan, namun tentu harus ada bayaran yang setimpal.

Mereka tak lain adalah penegakan keadilan yang bekerja dari, oleh, dan untuk rakyat.

"Pekerjaan yang cocok, tapi aku tak datang untuk itu."

Saat ini Aina ingin fokus memperbaiki senapannya dan juga generator anginnya.

Alasan kenapa Aina membawanya tak lain karena dia kehabisan material. Tentu dia bisa pergi ke tambang yang terbengkalai itu, namun alasan lainnya karena Aina ingin berjalan-jalan sedikit.

Ada beberapa hal yang hanya bisa dia dapat di kota, lagipula Aina juga tak ingin menjadi orang yang tak tau apa-apa tentang wilayah sekitar tempat tinggalnya.

Sekalipun Aina adalah pertarung yang handal, Aina setidaknya ingin tau dasar-dasar hukum saat ini.

"Sepertinya tempat ini begitu ramai. Toko senjata dimana ya?"

Aina yakin dia sudah menjelajahi cukup dalam kota, dia melihat juga berbagai toko dengan barang-barang yang menarik yang tidak Aina ketahui sebelumnya.

Dan diantara semua itu, Aina dapat melihat sebuah toko dengan papan kayu menggantung di teras dengan tulisan 'Toko Perlengkapan Aegille'.

Dari kaca etalase yang tembus pandang, Aina dapat melihat berbagai macam benda dijual diantaranya adalah apa yang Aina cari sedari tadi.

Langkah kakinya membawanya masuk. Suara lonceng berbunyi mengejutkannya. Dan disana berdiri seorang pria dewasa dengan tubuh besarnya juga kepala botaknya.

"Selamat datang ke tokoku, Nona manis. Apa kau memerlukan sesuatu?"

Mendapat panggilan dari sang pemilik toko, Aina sedikit gemetar. Langkahnya terhenti saat akan mendekati meja counter.

Tanggapan Aina membuat bingung paman tersebut. Apalagi tatapannya kini menjelajahi tubuh Aina dari atas ke bawah seolah mencari sesuatu.

Dan saat itulah paman itu mengangguk dengan mantap diikuti suara yang lebih bersahabat dibandingkan sebelumnya.

"Sepertinya kau bukan berasal dari sini. Apakah kau seorang petualang?"

"Petualang?"

"Ah, bukan ya? Tapi kau terlihat begitu cakap dengan penampilan itu. Yah, meski semua perlengkapanmu masih terbilang kasar."

Aina terkejut. Tak heran jika paman itu tau meski hanya melihatnya sekilas mata. Paman itu adalah pemilik toko senjata, tidak ada yang tak diketahuinya tentang barang-barang yang berhubungan dengan petualang.

"Dilihat dari reaksimu, sepertinya aku benar. Jarang sekali aku lihat gadis cakap sepertimu. Dalam kelompok biasanya wanita hanya digunakan sebagai pembawa barang dan medis. Melihat seorang gadis murni petarung seperti kau... ini mengejutkan."

"Apa maksud Paman?"

Tanya Aina, dia yang tak mengerti apa-apa mencoba sebaik mungkin tak menarik perhatiannya.

Meski begitu, dari pertanyaannya Paman itu langsung mengerti satu hal.

"Ah, sebelum itu. Kenapa tak lihat-lihat dulu. Perkenalkan juga namaku, Aegille. Kau?"

"Ah, ya. Euum... na-namaku Aina."

Sesingkat itu.

Aegille yang terlalu berharap kembali dibuat penasaran dan memaksanya untuk bertanya kembali.

"Hey, Nona. Bagaimana jika aku sarankan kau bergabung dengan perserikatan? Seorang pertarung apalagi jarak jauh jarang ada apalagi seorang gadis. Kau pasti akan direkrut oleh party ternama."

"Maaf Paman. Tapi aku datang kemari hanya untuk ini."

Aina mengajukan langsung alasannya datang. Dia tak ingin Aegille lebih tau banyak darinya atau mengubah alasannya datang ke kota Aldewn.

"Apa ini?"

"Senapan angin peninggalan Pa... bukan. Maksudku ayahku, nama senapan ini Brynhildr. Karena sering memakainya senapan ini rusak."

"Coba kemari, berikan padaku."

Awalnya Aina akan menggunakan 'Papa', tapi karena cukup memalukan untuk diucapkan Aina segera meralatnya.

Tidak lupa senapan angin yang dibawanya dia tunjukkan pada Aegille. Sekilas Aegille melihatnya dengan kening berkerut. Pandangannya berulang kali jatuh pada Aina juga senapan itu seolah dirinya sedang memikirkan sesuatu.

"Nah, apakah ini hanya dugaanku atau bukan, tapi... apa senapanmu ini keluaran lama? Dan lagi model ini aku sama sekali tak mengenalnya, dari mana kau mendapatkannya?"

Lagi-lagi sebuah pertanyaan yang menyatakan kalau Aina sudah terlalu ketinggalan zaman. Aina tak bisa menyangkalnya dan entah mengapa bibirnya enggan berujar.

"Tapi yah, menggunakan tekanan udara memang cocok untuk melumpuhkan makhluk hidup. Tapi dari daya hancurnya dan juga efektivitas serangannya sangat diragukan. Jika tak bisa membunuh monster tidak lebih senjata itu hanyalah mainan."

Tertunduk mendengar penjelasan Aegille, Aina bungkam. Bagaimana juga pengetahuannya hanya sebatas merakit sesuatu yang sudah ada dan saat itu, saat pelariannya, Aina hanya memiliki benda tersebut.

Jika Aegille memintanya mengganti senapan miliknya, maka Aina enggan. Dia tak ingin kehilangan satu-satunya peninggalan ayahnya.

"Nona, aku tau ini sulit untukmu. Lebih baik kau mengganti senapan milikmu. Yah, meski begitu aku sangat menyukai modelnya. Sebagai ganti diameter corongnya, kau harus memperpanjang senapannya. Juga, reaktor penyaring udara di generatornya begitu bersih untuk dapat menyaring udara masuk. Jika kau bisa mengubah pengaturan tekanan udara hingga tingkat tertentu kau juga bisa meningkatkan akselerator dan membuat angin yang lebih berat."

Komentar Aegille mengejutkan Aina. Cara paman itu berujar begitu bersemangat daripada sebelumnya. Dia sebagai ahli senjata juga pasti mengerti.

"Hmm, tapi sayangnya, kami sudah tak memproduksi suku cadangnya. Yang ada mungkin hanyalah sisa-sisa dari senapan model lama dan itu sudah berdebu. Butuh waktu hingga..."

"Aku tak masalah!"

Sebelum Aina berubah pikiran karena mungkin akan mendengar komentar Aegille lebih banyak, dia segera memutuskan.

Melihat mata yang dipenuhi minat dan semangat itu Aegille tanpa sadar tersenyum. Entah bagaimana dia merasa Aina bisa mengerti semua yang dia katakan.

"Sudah diputuskan. Tapi masih ada kendala. Kau seharusnya sudah tau sejak beberapa tahun lalu senapan mulai menggunakan debu peledak yang dimasukkan pada aluminium untuk meningkatkan daya ledaknya, karena itu produksi logam mulai meningkat. Aku mungkin bisa mengatasi suku cadangnya, tapi tidak untuk casingnya. Dilihat sekilas senapanmu ini menggunakan besi sebagai bahan dasarnya."

"Lalu, kenapa Paman?"

"Maksudku. Senapan angin sebenarnya tak cocok dengan besi atau baja, mereka terlalu berat dan mudah berkarat apabila terlalu sering terkena air. Ditambah kau harus sanggup menahan dorongan balik dari setiap udara yang kau tembakan."

"Ah. Jadi karena itu senapan sekarang menggunakan aluminium sebagai peluru. Aluminium tak mudah berkarat dan tak mudah korosi. Sebagai gantinya besi menjadi casingnya."

"Tepat. Karena itu senapan tidak cocok dengan gadis sepertimu. Namun kasusmu cukup unik, bila bagian yang terbuat dari besi ini aku ganti dengan aluminium..."

"Berat senjata akan berkurang dan akselerasinya akan bertambah. Meski stabilitasnya akan turun, tapi entah bagaimana aku akan lebih mudah menggunakannya. Lagipula generator anginnya saja sudah cukup berat."

"Itu terjadi karena turbin anginnya. Pergerakannya harus stabil. Bila terlalu pelan udara kotor akan masuk dan merusak senapan, namun bila terlalu cepat turbin akan lebih cepat rusak."

"Karena itu aku memberikan katup untuk membatasi udara yang masuk. Karena menyerap udara luar, akan lebih bagus bila putaran turbin tidak membiarkan seperti pasir atau dedaunan masuk."

"Hmm, benar juga. Mungkin itulah alasan kenapa senapan angin cepat rusak. Rupanya kau tau banyak, Nona."

Mendengar pujian dari Aegille, Aina tersipu malu. Menurutnya sangat jarang wanita mempelajari semacam mekanisme alat karena mereka tak cocok.

Namun karena pengetahuan Aina cukup melimpah, Aegille menjadi penasaran.

"Nona, sebenarnya aku cukup penasaran. Kau tau banyak tentang mekanisme, suku cadang, material, dan teknik. Jangan-jangan keahlianmu itu 'Meister'?"

"Y-ya.... Ayah sering mengatakan hal itu."

Aina cukup terkejut Aegille bisa menebak pekerjaannya yang adalah bawaan dari ayahnya.

Biasanya pekerjaan Meister sering dibandingkan-bandingkan dengan pekerjaan seperti Blacksmith yang adalah ahli logam dan Workshop yang ahli dalam memperbaiki sesuatu.

Meister bisa dikatakan sebagai perakit atau pekerjaan yang menjadikan sebuah pemikiran menjadi dasar proyek mereka.

Mereka dengan pekerjaan Meister sering menjadi seorang penemu meski alat yang diciptakannya terbilang aneh atau bahkan justru menjadi penyongsong negeri untuk masa depan yang lebih baik.

Itulah Meister. Tidak banyak orang yang kini mempelajarinya, jadi keberadaan mereka terbilang langka.

"Jadi begitu. Kau mengingatkanku pada seseorang. Tapi ya sudahlah. Ini sudah waktunya bekerja. Meski aneh rasanya seorang Meister mengandalkan tangan seorang sepertiku, tapi ini justru menjadi sebuah kebanggaan."

"Maafkan aku. Aku hanyalah pemula, memperbaiki sesuatu bukan termasuk bidang keahlianku."

"Benar juga. Sekalipun kau memiliki otak yang besar, kau juga memerlukan ukuran tangan yang serupa untuk menyeimbangkannya."

Aina harus berterima kasih pada Aegille karena mengerti dirinya.

Saat ini Aina tak lebih hanyalah seorang pemula. Dia bisa merawat senapannya selama ini karena cetak biru peninggalan ayahnya.

Mungkin butuh sedikit waktu untuk Aina dapat membuat cetak biru miliknya, jadi sampai saat itu tiba dia membutuhkan bantuan seseorang untuk menolongnya.

"Maaf Nona, meski aku akan memperbaiki senjatamu apakah tak apa-apa membiarkanmu diluar sana tanpa penjagaan?"

"Aku baik-baik saja dengan itu. Aku masih bisa menggunakan tangan dan kakiku untuk melindungi diri."

"Benarkah? Sungguh, kau ini gadis yang menarik. Kalau begitu serahkan saja padaku, aku akan membuat senapanmu ini menjadi seperti baru. Tentang aluminium yang sebelumnya, aku pasti akan mendapatkannya untukmu, tapi pasti akan membutuhkan waktu. Pastikan untuk memeriksanya tiap minggu."

"Terima kasih Paman, kalau begitu aku permisi."

Aina meninggalkan counter menuju keluar dengan perasaan lega. Sesaat dia melambai dan tersenyum pada Aegille yang membalasnya dengan senyum lebar dan usapan jempol pada jarinya.

Suara lonceng kembali berbunyi. Aina berdiri di teras depan toko Aegille dengan menghembuskan nafas beratnya.

"Susah juga jadi gadis dengan pekerjaan kasar seperti ini. Papa, Mama... apakah aku bisa menjadi seperti kalian suatu hari nanti?"

Katanya dengan memandang langit biru di atas kepalanya. Langit terus bergerak dengan udara yang berhembus mengiringinya seolah membisikkan jawaban samar di telinga Aina.

Setelah cukup lama berdiam diri, Aina lantas pergi mencari toko permata untuk menjual hasil tambangnya dan mengumpulkan uang untuk membayar pembaharuan senapan miliknya.