Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

TELABOH

heri_hensemnya
--
chs / week
--
NOT RATINGS
40.9k
Views
Synopsis
Sebuah insiden terjadi dalam sebuah upacara bendera, Lanai pingsan tepat di hadapan Maha. Peristiwa itu ternyata membawa warna bagi keduanya. Pertemuan si lelaki kerempeng dengan gadis bergingsul lucu itu tanpa mereka sadari menimbulkan perasaan saling mengagumi di usia mereka yang masih sangat belia. Usia keduanya terpaut satu tahun, Maha menjadi kakak kelas Lanai. Keduanya belajar di sekolah yang sama sejak SD hingga SMA. Interaksi mereka sempat terputus karena Maha pindah sekolah sewaktu kelas tiga SMP. Namun setelah beranjak dewasa, keduanya disatukan kembali dalam sebuah sekolah lanjutan atas, SMAN Wayhalim.
VIEW MORE

Chapter 1 - Kabau

Elanai Ras, namanya cukup aneh untuk nama seorang wanita. Si senyum malu, begitu aku memanggilnya. Perawakannya sedang, berkulit kuning langsat dengan rambut ikal mayang. Sepintas jika berpapasan dengannya, jelas sekali bahwa tidak ada hal yang istimewa darinya. Ia seperti anak perempuan belia lainnya yang kini tengah beranjak remaja. Namun apabila memandanginya secara seksama, terlihat jelas binar kecantikan yang mulai memancar dari wajahnya yang masih lugu itu.

Geli aku melihatnya. Hari ini, hari pertama masuk sekolah dan aku kini baru naik ke kelas dua sekolah lanjutan pertama. Rombongan siswa baru yang berlalu lalang itu, masih berseragam putih merah. Mereka berjalan perlahan seperti kebingungan mencari ruangan mana yang akan mereka tempati. Aku lihat dia, berjalan perlahan menuju bangunan bertingkat yang berada di belakang.

"Kak, kelas 1.A di mana ya?" Suaranya seperti berbisik namun cukup membuyarkan lamunan.

"Oh iya, di sana," jelasku gamang. Untuk menutupi nada suara yang meragu, kutarik tangannya menuju kelas yang dituju. Di sekolah yang dikelilingi pohon yang menjadi bahan baku utama sayur berkuah asam itu, aku menoreh sejarah pernah memegang tangannya. Hal itu jadi kenangan indah pertamaku dengannya. Sayangnya cuma itulah satu-satunya peristiwa waktu sekolah di SMP tentang dia yang sampai sekarang tak bisa kulupakan.

Si senyum malu, begitu aku menjulukinya. Dia nantinya mengisi hidupku dengan cerita-cerita aneh. Dia memang sudah lama aku kenal. Kami bersekolah di SD Inpres yang hanya berjarak hitungan langkah dari rumah neneknya. Sumringah wajahnya membalas jasaku yang tak seberapa. Aku antarkan dia sampai ke pintu kelas.

"Terima kasih, Kak!" Suaranya berlalu begitu cepat di telinga. Sambil menganggukkan kepala, kuseret langkah menjauh dari makhluk yang masih malu-malu itu.

Masih tersisa hangat tangannya ketika aku menggengamnya tadi. Celakanya perasaan hangat itu seolah virus yang terus menyebar ke seluruh tubuh. Lebai ya. Tapi hanya dengan cara lebai gini aku bisa membuatnya jadi istimewa. Saat itu perasaanku menggigil di dalam merasakan kehangatan. Perasaan senang itu berawal dari jari-jari tangan terus merayap lambat naik ke pundak dan pecah menyatu dengan butiran-butiran sel darah merah yang mengalir ke seluruh tubuh. Anehnya, rasa hangatnya berhenti mengalir ketika sampai di hati. Ia mengendap tak mau pergi dari sana. Suit suit, hehehehe.

Nyaris saja aku menabrak pot bunga yang berada di depan kelas. Beruntung, meski masih dalam ambang batas antara sadar dan tidak, bunyi kentongan besi tanda jam pelajaran sekolah dimulai, segera menyadarkanku dari lamunan. Kendati begitu, tak urung kaki kananku terperosok ke parit kecil yang berfungsi mengalirkan air dari atap ke tanah. Sisa air di parit kecil itu, tentu saja membasahi sepatu. Untungnya di sekolah kami, untuk menjaga kebersihan kelas, seluruh siswa diwajibkan melepaskan sepatu dan menyusunnya di rak yang ada di luar kelas.

Bergegas aku melepas sepatu basah agar airnya tidak ikut membasahi kaus kaki. Tetapi, ternyata terlambat. Air sudah lebih dulu tak mau kompromi mampir di kaki. Khawatir telat, tanpa menghiraukan kaus kaki yang basah, aku segera masuk ke dalam kelas.

Hari ini, hari pertama aku duduk di kelas dua. Nilai rata-rataku di atas tujuh koma, maka aku duduk di kelas A. Sudah menjadi kebiasaan di sekolah ini, semua murid berprestasi masuk kelas itu. Sebagian besar penghuni kelas baru ini adalah teman-teman di kelas satu dulu. Sisanya kumpulan dari kelas-kelas lain. Aku pilih duduk di urutan nomor dua dari depan. Bangku-bangku kelas di susun membentuk empat deretan, aku duduk di deretan ketiga dari kiri.

Mata pelajaran pertama, pendidikan sejarah perjuangan bangsa. Gurunya seorang wanita paruh baya beraksen khas Batak. Suaranya kencang menggelegar. Namanya Ibu Tiur. Ia dikenal guru killer. Aku pasang tampang terserius yang pernah kupunya hanya ingin nunjukin bahwa aku ini serius banget ngikutin pelajarannya.

Tiba-tiba jarinya menunjuk ke arahku. Sontak aku takut setengah mati. Dalam penglihatanku, matanya seperti hilang separuh.

"Kamu! Siapa namamu?"

"Mahali, bu guru," ujarku ketakutan.

"Hari ini kamu belajar di luar!"

"Maaf bu. Kesalahan apa yang telah saya perbuat sehingga harus belajar di luar?"

"Bau kakimu mengganggu seisi kelas. Itu artinya kamu sudah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan wajib menerima hukuman!"

"Dari mana ibu tahu jika kaki saya yang bau. Bisa jadi ada murid lain yang berkaki bau."

"Sudah pasti kamu. Ibu sudah pengalaman mengajar orang seperti kamu ini. Mana mungkin salah."

"Itu belum membuktikan tudingan ibu benar." Aku protes sambil ngedumel sadis banget ibu itu menjudgeku hanya berdasarkan pengalaman dia.

"Sudahlah kamu cepat pergi keluar sana. Jika bau menyengat ini hilang, berarti perasaan saya benar."

Dengan perlahan aku menuruti kemauannya. Aku melangkah tanpa semangat keluar kelas. Segera kucopot kaus kaki yang basah. Aku mengendus-endus apakah ada bau tak sedap dari sana.

"Wah, anjrit. Ternyata ibu itu benar!" Bau kakiku kayak aroma terasi panggang. Bersin-bersin aku dibuat kakiku sendiri.

Dari luar kelas kulihat Bu Tiur melambaikan tangannya. Aku bergegas hendak masuk kembali. Sayangnya suara dia yang keras menghentikan langkahku.

"Stop. Kamu di sana saja, ibu cuma ingin memberitahu teman-temanmu. Anak-anak, dia ini adalah contoh murid yang tidak baik. Mengurus kakinya saja dia tak mampu, jangan sampai kalian tiru kejorokan dia," Bu Tiur mengejek sehingga aku tak bisa lagi protes. Belum selesai dia bicara, aku sudah ngacir kabur jauh dari depan pintu kelas.

Akibat peristiwa hari itu, lekatlah sebuah nama baru untukku. Mahali Kabau alias kaki bau. Selanjutnya Ibu Tiur seperti lupa dengan nama asliku. Ia selalu memanggil namaku dengan nama belakang, Kabau.