Dendam Tak Sudah " Cintai aku, dan beri aku anak, maka aku akan menghapus dendamku"

🇮🇩febriani4293
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 1m
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Tembakan Maut

Green Garden House. Salah satu perumahan mewah dan megah di kota J. Berdiri tagak dan kokoh sebuah rumah dua lantai bercat warna putih dominan. Terdapat kaca besar di kedua sisi bangunan dua lantai itu. Cahaya matahari akan masuk di pagi hari saat tirai penghalang terbuka lebar. Desain rumah itu modern masa kini. Semua fasilitas di rumah menggunakan teknologi modern dan otomatis. Mulai dari pintu masuk sampai peralatan dapurnya.

Masuk seorang gadis berparas rupawan ke dalam gerbang rumahnya. Kecantikan wanita itu menjadi rebutan setiap teman lelakinya. Alona tiba di rumahnya diantar oleh sang kekasih Alvaro. Pria yang selalu setia menemaninya kemanapun. Tadinya ia ingin mengajak kekasihnya masuk ke rumah dan bertemu kakaknya. Tiba-tiba telepon masuk dari ayahnya. Ayahnya ingin berbicara hal penting tidak bisa di tunda ataupun lewat telepon. Akhirnya ia masuk sendiri dan membiarkan kekasihnya pergi.

Kakaknya Alan sedang cuti dari pekerjaannya. Hanya ia dan kakaknya saja di rumah. Semua asisten rumah tangga sedang izin pulang kampung. Penjaga keamanan pun tidak terlihat saat ia masuk.

Alona seorang permpuan berhati baik dan tulus. Sama seperti ibu yang membesarkannya. Perbedaan Alona dan ibunya adalah Alona gadis sedikit cuek dan jutek bila tidak kenal dengan orang lain. Ada kalanya ia pemalu ada kalanya juga ia konyol. Alona seorang anak perempuan kesayangan keluarganya. Alona bagaikan sebongkah berlian bagi keluarga itu. Tidak ada yang membiarkannya lecet sedikitpun. Ia di jaga sangat baik dan diperlakukan seperti seorang putri kerajaan. Bahkan nyambuk saja enggan mendekatinya. Hal itu terjadi karena saat pagi dan malam hari menjelang tidur kakak atau ibunya selalu saja mengoleskan obat nyambuk ke seluruh tubuhnya.

Matahari tidak lagi panas tapi awan tetap cerah. Tidak ada tanda-tanda hujan akan turun.

Alona memasang headset di kedua telinganya. Alona mulai menikmati musik yang mengalun merdu di telinganya. Ia kemudian berguman mengikuti setiap nada dan irama musik pop klasik kesukaannya.

Hem..., Ha-Ha-Ha..., Na-Na-Na..., La-La-La....

Tidak ada kalimat nyanyian dilirik lagunya. Alona hanya bersenandung mengunkapkan kebahagiaannya. Alona berjalan menyusuri jalan setapak menuju pintu utama rumahnya. Alona berputar-putar, merentangkan tangan kemudian menutup matanya. Alona menghirup udara segar menikmati wangi bunga melati yang ikut melayang bersama angin. Kupu-kupu berterbangan mencari serbuk sari bunga-bunga yang indah di taman depan rumahnya. Senyum Alona merekah, ketika kupu-kupu hinggap di atas pipi kanannya.

Alona terus berjalan menikmati pemandangan di pinggir jalan setapak menuju pintu utama rumahnya. Banyak bunga-bunga sedang bermekaran. Alona melihat bunga Mawar merah sedang mekar sangat indah. Keindahan kelopak Mawar itu sungguh membuat Alona ingin memetik dan memajangnya di ruang tamu rumahnya. Tanaman bonsai menyeruapi kepala Rusa, bentuk hati dan nama Alona tersusun rapih di pinggir jalan setapak. Pohon Pisang, Jambu, Mangga, Lengkeng, Durian, Jeruk, hampir semua pohon buah tropis di tanam di taman rumah Alona.

Alona memakai gaun sampai lutut berwarna salem muda, bermotif bunga, dan lengannya pendek. Rambut panjang Alona terurai sampai ke pinggangnya, warnanya hitam pekat, di bagian sebelah kiri rambutnya ia kepang panjang mengikuti uraian rambuatnya. Jepit rambut kupu-kupu di atas kepalanya, membuat Alona terlihat seperti seorang putri raja.

Hari ini sangat istimewa untuk Alona, tepat hari ini ia berumur 17 tahun. Alona sangat bahagia, mengingat dia akan segera mendapatkan kartu identitas dan surat izin mengemudi, menjadi tanda bahwa ia sudah dewasa. Bukan hanya itu saja yang membuat Alona sangat senang. Tapi janji kakaknyalah yang membuat Alona sangat senang hingga membuatnya seakan-akan terbang di awan. Kakanya Alan menjanjikan akan memanjakannya seperti seorang ratu. Artinya Alona bisa meminta apapun pada kakaknya Alan. Mengingat janji itu Alona ingin segera sampai di rumahnya. Alona berlari kecil menghampiri pintu rumahnya.

"Akhirnya aku sampai juga di rumah," pikir Alona. Alona melihat ke layar sensor wajah, kemudian pintu itu terbuka.

"Tidaaaaak!. Alona berteriak menghentikan Penembak itu. Tolong ampuni Kakak ku, jangan bunuh dia."

Usaha Alona sia-sia. Penembak itu telah menarik pelatuk pistol ketika Alona berteriak.

"Dor!" Terdengar suara tembakan yang begitu keras hingga memekikkan telinga pendengar.

Alona menagis, air matanya terus berjatuhan seperti air terjun, begitu deras. Mata Alona kini sayu, tatapan matanya kosong, pikirannya sudah bukan miliknya lagi.

Suara dentuman membuat Alona tersadar. Alona mencari sumber suara itu. Alona berlari begitu cepat seperti petir menyambar permukaan bumi. Alona menghampiri Kakaknya yang telah terjatuh ke lantai setelah terkena tembakan.

"Kakak!" Alona memanggil Kakanya. "Kak..., bangun. Jangan tinggalkan aku. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi kecuali Kakak. Alona terus menggoyangkan tubuh Kakaknya. Kepala Kakaknya ia letakkan di atas pangkuannya. Ia belai dengan lembut wajah Kakaknya yang sudah dipenuhi luka memar dan lebam, dilihatnya lekat-lekat wajah kakaknya yang sudah penuh darah. Sudut mata dan bibir kakaknya berwarna biru keunguan. Air mata Alona tidak kunjung berhenti. Ruangan itu seperti rumah duka yang hanya terdengar suara tangisan Alona. Suasana saat itu sanagat mencekam, tidak ada yang bersuara bahkan Sang Penembak masih berdiri tegak, sama seperti ketika ia menembak mangsanya.

Alona terus berusaha membangunkan kakaknya. Ia berinisiatif memeriksa denyut nadi kakaknya, kemudian Ia raih pergelangan tangan kiri kakaknya. Lalu ibu jari Alona menyusuri pergelangan tangan kakaknya mencari denyutan nadi. Alona terus berusaha mencari denyut nadi kakaknya hingga ia merasakan masih ada denyutan itu. Alona menagis bercampur tawa pilu, menggantungkan sebuah harapan keselamatan kakaknya.

"Tolong...Tuan, selamatakan Kakak ku. Aku rela melakukan apa saja, asalkan Kakak ku selamat." Alona melepaskan tubuh Kakaknya di lantai. Ia kemudian berlari menghampiri penembak itu. Alona melihat wajah Sang Penembak itu. Wajah Penembak itu ditutupi oleh topeng bercorak seperti bulu burung, warnanya hitam pekat. Kesan pada matanya membuat Alona takut, tatapan bola matanya seperti burung hantu, tidak bergerak. Pandangan matanya seperti burung elang begitu tajam menatap mangsanya, tajam pandangannya seperti pedang iblis, ketika pedang itu menghunus mangsanya maka akan mati saat itu juga.

Alona berlutut di lantai dan diraihnya kaki Sang Penembak itu. "Tuan, tolong... selamatkan Kakak ku." biarkan dia hidup. Aku akan menebus semua kesalahan Kakak ku. Apa saja syarat yang Kau ajukan, Aku akan patuh pada semua permintaanmu. Alona mengangkat kepalanya, dilihatnya lagi wajah Sang Penembak itu. "Tuan... tolong, selamatkan Kakak ku."

Sang Penembak tidak bergeming. Sikapanya pada Alona acuh tak acuh, bahkan Sang Penembak itu menganggap bahwa Alona tidak ada di hadapannya.

Alona mencoba untuk yang terakhir kalinya.

"Tuan..., tolong selamatkan Kakak ku. Aku tidak tahu dosa apa yang telah Kakak ku lakukan padamau sehingga membuatmu begitu marah. Sebagai Adiknya Aku mewakili Kakak ku.Tolong..., ampuni semua kesalahan Kakak ku. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Aku akan memenuhi semua syarat yang Kau minta."

Alona sudah kehilangan akal, sehingga ia memanggil Penembak itu dengan nada yang tinggi. "Tuan! Jika kau memang tidak berkenaan menyelamatkan Kakak ku. Tembak lah aku, sekarang juga!. Tidak ada artinya aku hidup di dunia ini."

Alona seketika itu meraih tangan Sang Penembak yang masih memegang pistol di tangannya. Ia arahkan pistol itu, tepat di atas kepalanya.

Alona mendongak menatap mata penembak di depan matanya. Tatapan matanya meyakinkan penembak itu bahwa ia bersedia melakukan apapun demi kakaknya.