Pertemuan Pertama
Ketika dua orang dipertemukan
Cerita mereka dimulai
"Horor, misteri atau… thriller?" Veryn mengulangi permintaan editornya.
"Iya, Ve. Waktunya tiga bulan, bisa?" lanjut sang editor, Feli.
"Bisa aja sih kalo genre yang lain," gumam Veryn, tak bisa menyembunyikan kekesalannya.
Feli mendecakkan lidah. "Apapun genrenya, gue yakin lo pasti bisa. Oh, dan jangan lupa naskah romance yang harus lo setor bulan depan, ya?"
Veryn memutar mata. "Lo tuh emang pinter banget ya, ngomongnya," sinisnya, membuat Feli tergelak. "Dan lo masih berani nagih gue buat setor naskah bulan depan?" desis Veryn. Feli kembali tergelak.
"Ya kan lo udah biasa megang romance. Dan minggu ini seenggaknya kirimin outlinenya dulu deh buat yang horor atau thriller itu, oke?" lanjut Feli, seolah Veryn sudah menyetujui.
Veryn memutar mata. "Bulan depan romancenya oke. Dan kalo gue udah dapet ide ceritanya, ya, ntar gue kirim."
"Biasanya sih, abis gue ngasih proyek baru gini, bahkan meskipun elo selalu make alasan, akhirnya juga ntar lo bakal ngirimin outlinenya ke gue bahkan sebelum seminggu. Taruhan deh, yang ini juga bakal sama kayak yang kemaren-kemaren," ucap Feli bersemangat.
"Kalo gue belum dapet ide, lo musti buruan cari suami dan nikah tahun depan," sahut Veryn santai.
"Ha? Apaan?" seru Feli kaget.
"Call," tukas Veryn mantap, sebelum memutus sambungan telepon. Ia mendengus geli ketika menatap ponselnya. Sekali-kali dia harus mengerjai editornya itu. Feli benar-benar nomor satu jika sudah menangani berbagai alasan Veryn.
Veryn kembali menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tadinya ia berniat mengambil libur selama setidaknya seminggu. Tapi sepertinya ia harus kembali menunda rencana liburnya itu. Veryn mendesah berat seraya kembali duduk dan menatap sekeliling kamarnya yang berantakan.
Sudah hampir sebulan ia tidak merapikan kamarnya. Tidak mengejutkan. Sepanjang tahun memang seperti ini. Sejak ia tinggal sendiri di rumah ini, ia nyaris tidak pernah merapikannya. Terkadang ia melakukannya beberapa kali dalam sebulan, jika moodnya sedang bagus. Tapi sayangnya, seringnya moodnya tidak mendukung, dan acara bersih-bersih sebulan sekali itu sudah cukup bagus, menurutnya.
Sebenarnya rumah ini tidak cukup besar. Hanya ada dua kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu, dan ruang makan yang menyatu dengan dapur. Orang tuanya membelikan rumah sederhana ini untuk Veryn agar ia belajar hidup mandiri. Veryn menempati rumah ini sejak tiga tahun yang lalu. Tiga tahun yang menyiksa karena harus melakukan segalanya sendiri. Meski setidaknya, ia bisa terbebas dari omelan orang tuanya.
Veryn menghela napas berat seraya turun dari tempat tidurnya. Sepertinya ia perlu menghirup udara segar. Ia juga harus segera menemukan ide untuk naskah horor, misteri atau thrillernya itu. Dengan enggan, Veryn mengambil jaket abu-abu, dompet dan ponselnya, lalu meninggalkan kamarnya.
Time to say hi to the world.
"Tumben keluar rumah, Ve," sapa tetangga sebelah rumah Veryn, seorang wanita seusia ibunya, ketika Veryn melewati rumahnya.
"Mau jalan-jalan, Te," sahut Veryn seraya tersenyum.
"Nah, gitu. Jangan cuma ngurung diri terus di rumah," kata tetangganya itu. "Ibu-ibu yang lain pada khawatir kamu kenapa-napa gara-gara kamu nggak pernah keluar. Kalo bukan karena Mas delivery service itu, nggak bakal ada yang tau kamu di rumah itu ada atau enggak, masih hidup atau enggak."
Veryn tergelak. "Veryn baik-baik aja, Te. tapi kalo Tante ama ibu-ibu lain pada khawatir, sekali-sekali mampir lah, bawain makanan yang banyak buat Veryn."
Tetangganya itu mencibir. "Ibumu udah ngingetin Tante buat nggak ngasih kamu makanan. Katanya, kamu harus belajar masak. Katanya, kamu itu anak cewek tapi nggak bisa masak sama sekali. Tapi Ibumu juga nggak tau ya, kalo kamu sering beli makanan di luar gitu?"
Veryn tersenyum lebar. "Tante tolong rahasiain dari Ibu, ya? Ntar Veryn bawain jeruk kesukaan Tante, deh."
Tetangganya itu tersenyum lebar dan mengangguk. "Kalo kamu udah ngomong gitu, mana bisa Tante nolak. Kamu ati-ati di jalan, Ve."
Veryn mengangguk sebelum meninggalkan tetangganya itu. Veryn mendesah berat begitu sudah melewati beberapa rumah. Inilah yang ia benci dari meninggalkan rumah. Harus menyapa orang-orang. Berbasa-basi seperti itu benar-benar melelahkan.
Veryn mendesah lelah seraya memasang earphonenya, lalu memakai tudung jaketnya. Apa perlu gue make topeng aja sekalian? Pikirnya putus asa.
Pagi ini sebenarnya ia sudah sangat beruntung karena tidak harus bertemu ibu-ibu tetangga lain yang biasanya sedang berbelanja sambil bergosip, atau bahkan hanya bergosip sambil mengelilingi penjual sayur kelilingnya. Ia benar-benar benci jika harus bertemu orang dan berbasa-basi. Dan ia lebih benci jika mendengar orang-orang bergosip. Itu hanya mengotori telinganya.
"Veryna?" suara itu membuat Veryn mengerang dalam hati, berharap ia benar-benar memakai topeng tadi.
Veryn merubah ekspresinya dengan cepat sebelum berbalik dan menghadapi penyapanya itu.
"Hei," sahut Veryn seraya mengamati dua wanita yang mengenakan stelan kantor di hadapannya itu.
"Lo beneran… Veryn?" wanita yang berambut keriting tampak gembira.
"Kayaknya sih… iya," Veryn meringis, seraya berusaha mengingat-ingat di mana ia bertemu dua wanita ini.
"Jangan bilang lo nggak inget kita," wanita yang berambut lurus menyipitkan mata curiga.
Veryn kembali meringis. "Gue mungkin bakal inget kalo lo nyebutin nama lo."
"Gue Nania," si rambut keriting berbicara.
Veryn mengerutkan kening. Nania? Ia mengabsen teman-teman SD, SMP, SMA hingga kuliahnya satu-persatu dalam kepalanya, tidak banyak yang bisa ia ingat, dan dari sedikit nama yang bisa ia ingat, ia tak menemukan nama itu.
"Nania siapa, ya?" Veryn berusaha tampak semenyesal mungkin ketika menatap wanita berambut keriting itu, membuat wanita itu melongo.
"Nania Gita," si rambut lurus berbicara. "Kalo lo nggak inget ama dia, lo juga pasti nggak inget gue juga, kan?" tuduhnya.
Veryn tak punya pilihan lain selain memberikan senyum menyesal pada wanita itu.
"Gue Liana. Eliana. Masih nggak inget juga?" wanita itu tampak kesal.
Veryn menyipitkan mata ketika teringat sesuatu. Dua sahabat yang selalu bersama-sama saat SMA. Ah, benar. Si rambut keriting dan si rambut lurus, Nania dan Liana. Veryn punya kenangan tersendiri dengan dua anak ini.
"Gue inget sekarang," cetus Veryn. "Kalian yang pas SMA ke mana-mana mesti bareng itu, kan?"
Liana mendengus kecil sementara Nania mengangguk seraya tersenyum.
"Ingetan lo tuh bener-bener payah," komentar Liana.
"Hei… lagian, mana mungkin gue bisa inget empat puluh murid dalam tiga kelas semasa SMP, ditambah empat puluh murid dalam tiga kelas semasa SMA, ditambah lagi temen-temen kuliah? Itu kebanyakan," Veryn membela diri.
"Tapi kita masih inget elo bahkan meskipun elo dandan model begini," cibir Liana seraya menarik tudung jaket Veryn hingga menutupi matanya.
Veryn merengut seraya membenahi tudung jaketnya. "Sori, sori. Tapi… kalian kok bisa ada di sini? Oh, kalian juga udah kerja? Kalo ngeliat dari pakaian kalian itu… wah…"
"Udah hampir tujuh tahun nggak ketemu dan cuma itu reaksi lo?" Liana masih tidak terima.
"Apa gue mesti nebar bunga juga buat lo?" gerutu Veryn kesal.
Nania tersenyum geli. "Kayaknya dia sama sekali nggak berubah."
Liana mendengus. "Bener. Masih aja nyebelin."
Veryn mendesis kesal ke arahnya. "Gue cuma nggak inget nama kalian, jangan digede-gedein, lah," ia kembali membela diri.
"Cuma, lo bilang?" desis Liana. "Lo juga nggak pernah ikut reuni SMA, kan?"
Veryn meringis. "Gue… sibuk."
"Bener, dia sibuk banget, Li. Dia penulis novel sekarang. Lo tau nggak, udah berapa banyak novelnya yang ada di toko buku? Beberapa bukunya juga udah diangkat ke layar lebar, lho," terang Nania bangga.
Liana memutar mata. "So what? Toh kenyataannya dia nggak punya temen."
Veryn mencelos. Bukan tidak punya, tapi tidak mau. Tapi mengatakan itu pada Liana sama saja menggali kuburan sendiri. Liana akan menggilasnya karena itu. Ah, seharusnya ia menggunakan nama pena saja daripada memakai nama aslinya. Tapi percuma saja. Hal paling bodoh yang ia lakukan adalah, memberikan informasi nama lengkap, tanggal lahir, dan bahkan tentang sekolahnya di novel pertamanya. Mungkin Nania juga tahu dari itu.
Tapi setidaknya selain itu, Veryn bisa menjaga informasi tentang dirinya yang lain. Ia tidak ingin dikenal, ataupun mengenal banyak orang. Ia bahkan tidak pernah berpartisipasi dalam talk show ataupun gathering bersama penerbitnya.
"Eh, sori nih, tapi gue lagi sibuk banget, deh. Tapi ntar kalo gue udah punya waktu luang, gue pasti bakal ikut acara reuninya," Veryn mengalah.
Nania mengangguk seraya tersenyum lebar, sementara Liana lagi-lagi mendengus. Ia mengulurkan tangannya, membuat kening Veryn berkerut bingung.
"Apa?" tanya Veryn tak mengerti.
"Hape lo," sahut Liana.
"Hape gue kenapa?" curiga Veryn.
"Nomer lo," gusar Liana.
"Gue sebutin aja deh," balas Veryn santai.
"Nggak," tolak Liana. "Gue nggak percaya lo bakal ngasih nomer lo. Gimana bisa nggak satu orang pun temen-temen SMA kita tau nomer lo?"
Veryn lagi-lagi meringis dan tak punya pilihan lain selain menyerahkan ponselnya pada Liana. Ia hanya bisa menonton dengan pasrah ketika Liana memanggil nomornya sendiri dengan ponsel Veryn.
"Jangan ganti nomer tanpa pemberitahuan," Liana mengingatkan seraya mengembalikan ponsel Veryn. "Lo pindah rumah dan nggak ada yang tau alamat baru lo, ataupun kabar lo. Lo emang udah niat ngilang atau apa, Ve?"
Veryn bergerak tak nyaman di tempatnya. "Orang tua gue pindah keluar kota, dan gue tetep di sini, tapi gue pindah ke rumah yang lebih kecil," jelasnya.
"Terserah. Pokoknya, jangan ganti nomer lo tanpa sepengetahuan gue," kata Liana tegas, sebelum ia berlalu. Dia bahkan tidak repot-repot bertanya kabar dan hanya mengomeli Veryn. Dia juga tidak berubah.
Veryn membalas senyum dan lambaian tangan Nania dengan canggung, sebelum ia kembali berbalik dan melanjutkan acara memilih buahnya. Ia mengerang frustasi. Seandainya tadi dia tidak pergi ke supermarket ini untuk membeli buah untuk tetangganya, ia tidak akan bertemu dengan Liana dan Nania.
Dan kenapa pula mereka ada di sini? Kenapa mereka tidak bekerja? Benar-benar…
Veryn mengambil beberapa jeruk dengan acak, lalu pergi ke rak coklat dan mengambil selusin coklat, sebelum akhirnya pergi ke antrian kasir. Di antara sekian banyak teman, kenapa ia harus bertemu dengan Liana yang seagresif itu? Mungkin kejadiannya tidak akan separah ini jika tadi ia hanya bertemu dengan Nania.
Benar-benar mengesalkan.
Veryn baru saja memasuki taman di dekat rumahnya ketika terdengar teriakan peringatan dari lapangan di samping taman itu. Veryn menoleh ke arah teriakan dan terbelalak mendapati sebuah bola sepak melayang ke arahnya. Sebelum Veryn sempat melakukan apapun, ia merasakan seseorang menarik lengannya, menyelamatkan wajahnya dari hantaman bola.
"Sori, Kak, sori," ujar seorang anak laki-laki berseragam putih abu-abu yang berlari ke arahnya untuk mengambil bola.
"Sori, sori…. Lo pada nggak bisa main bola, ya?" omel Veryn pada anak itu. "Kalo nggak bisa main bola, nggak usah sok main bola!"
"Sori, Kak," ulang anak itu seraya membungkuk ke arah Veryn.
Veryn mendesis kesal ke arah anak itu. "Kalo sampe tuh bola kena gue lagi, bakal gue hancurin tuh bola," ancamnya.
Anak laki-laki itu hanya mengangguk, lalu pergi untuk mengambil bolanya dan kembali ke teman-temannya di lapangan.
Veryn masih menatap anak-anak itu dengan geram seraya mengomel, "Seriusan deh tuh anak-anak… pagi-pagi gini udah bikin masalah. Di mana sih, sekolah mereka? Pada bolos mesti. Liat aja ntar, kalo sampe bola itu kena gue lagi, bakal gue iris-iris tuh bola ampe jadi debu."
"Apa nggak sulit banget tuh ntar?" suara itu mengalihkan perhatian Veryn dari anak-anak yang sudah kembali bermain sepak bola tadi.
Veryn menoleh dan akhirnya menyadari bahwa orang yang menyelamatkannya tadi masih di sana. Tampaknya dia juga anak SMA, melihat dari seragam putih abu-abunya. "Lo ngomong ama gue?" tanya Veryn.
"Ngiris-iris bola sampe jadi debu. Masuk akal, gitu?" cibir anak itu.
Veryn melotot kesal. "Nih, liat nih… anak-anak sekarang tuh emang kurang ajar dan nggak tau sopan santun," desisnya. "Lo juga bolos pasti, kan?" tuduhnya.
Anak laki-laki itu mendengus. "Harusnya lo ngomong makasih karena udah gue tolong. Tapi lo malah ngata-ngatain dan nuduh gue sembarangan." Cowok itu lalu menatap Veryn dari atas ke bawah, dan melanjutkan, "Ngeliat penampilan lo sih, nggak heran juga ama sikap lo ini," sinisnya.
"Apa?" Veryn melotot. "Lo… heh, elo!" seru Veryn ketika cowok itu berbalik dan meninggalkannya begitu saja. "Ish… anak-anak sekarang luar biasa banget ya kurang ajarnya?"
Veryn terus saja mengomeli anak tidak sopan yang meskipun telah menolongnya tadi, ternyata sama kurang ajarnya dengan anak-anak yang lain. Veryn duduk di ayunan dan mengambil sebungkus coklat.
"Kesialan emang selalu berlanjut," gerutunya seraya merobek bungkus coklat itu dengan kasar. "Anak kurang ajar tadi bener-bener…"