Aku berjalan menyusuri koridor sekolah baruku. Hari ini adalah hari pertamaku menjadi murid baru di SMA Pelangi, hatiku berdegup kencang karena rasa senang yang membuncah ini. Aku berpindah ke SMA Pelangi karena ayahku berpindah tugas ke daerah sini. Saat di sekolah yang dulu aku tidak memiliki terlalu banyak teman karena sifatku yang pendiam, sehingga aku harap aku dapat memiliki lebih banyak teman di sini. Aku ingin merubah semua sifat yang kurang dariku dan melakukan semua hal yang belum pernah aku lakukan.
Dentuman piano yang berasal dari salah satu ruangan di koridor ini membuatku lebih memilih mengikutinya dibanding mencari kelas baruku. Aku terus berjalan mengikuti langkah kakiku kemanapun ia mau berjalan, hingga kakiku berhenti begitu saja di depan sebuah ruangan yang bertuliskan 'Ruang Seni Musik'. Dengan perasaan yang begitu penasaran, aku mengintip dari jendela dan melihat seorang murid dengan seragam sama sepertiku sedang memainkan sebuah piano di dalam sana sendirian. Aku terkagum melihatnya, bagaimana dirinya yang tenang dengan jari-jari tangannya yang bergerak begitu saja menekan tuts piano, menimbulkan suara indah yang membuatku merasakan candu.
"Hey!"
Aku terlonjak saat seseorang menepuk bahuku, saat berbalik ternyata sedari tadi ada siswa lain di belakangku. Ia memperlihatkan senyumannya yang menimbulkan lesung pipi di wajahnya.
"Ngapain di sini?" tanyanya. Matanya memperhatikan dari bawah hingga ke atas, membuatku sedikit risih dibuatnya.
"Murid baru ya?" tanya dia lagi yang aku balas dengan anggukan.
"Siapa nama lo?"
Aku menyelipkan beberapa helai rambutku ke belakang telinga. "Airin. Airin Fradella."
"Gue Jehan Reynand." Dia balas memperkenalkan diri. "Kelas lo di mana? Siapa tahu mau gue antar?"
"Kelas 10-2."
"Wah pas dong, itu kelas gue. Ayo bareng kalau gitu."
Aku hanya menangguk menyetujui ucapannya. Baru saja akan melangkah, pintu ruang musik tadi terbuka dan menampilkan siswa pemain piano itu. Matanya yang bulat, bibirnya yang berbentuk layaknya hati, dan cara berpakaiannya yang rapi membuatku cukup terkagum sesaat. Namun saat dia berbicara aku dapat menangkap aura dingin dari dirinya.
"Ngapain kalian ada di sini?"
"Ini Kak Dio dia anak baru, tadi nyasar." Jehan menunjukku, untungnya dia tidak membocorkan bahwa aku sedari tadi sedang memperhatikannya.
"Oh."
Siswa tadi yang dipanggil oleh Jehan 'Kak Dio' langsung melenggang pergi, sebenarnya aku sedikit kecewa. Dari wajahnya, aku pikir dia orang yang ramah.
"Dia kakak kelas 11-1. Ketua OSIS, pinter banget lagi. Makanya lumayan jutek."
Aku hanya menangguk mendengar penuturan Jehan. Kami meneruskan perjalan kami menuju kelas baruku, kelas 10-2. Di sana aku disambut oleh seorang siswi bernama Yelin, dia sangat ramah dan ceria sekali, berbeda denganku. Bibirnya yang lucu seperti karakter donald duck begitu menjadi poin menariknya untukku.
"Kita harus jadi teman dekat ya, Rin."
Aku mengangguk menjawab ucapan Yelin. "Iya, aku mau banget bisa punya teman dekat kayak kamu."
"Ah bisa aja, aku tahu emang aku ini keren." Yelin berpose layaknya model amatir.
Aku tertawa karena candaan Yelin. Asik sekali punya sifat menarik seperti Yelin, sepertinya aku harus banyak mencontoh sifat-sifat positif milik Yelin.
"Eh kamu udah kenal sama Ketua OSIS sekolah ini belum? Keren banget loh."
"Kak Dio?" tebakku.
"Tuh kan kamu aja murid baru udah langsung tahu dia." Yelin berucap dengan heboh. "Gimana? Ganteng kan?"
Aku tersenyum malu sebelum menjawab. "Lumayan lah."
•••
Pertemuan pada saat itu, aku tidak tahu akan berpengaruh pada saat ini. Sudah lewat setahun sejak aku pertema kali bertemu dengan Kak Dio, dia masih sama seperti dulu, pria berkharisma yang dingin tapi memiliki sisi hangatnya tersendiri. Satu hal yang membuat semuanya berbeda adalah dia kini menjadi kekasihku. Aku tidak tahu, tapi semuanya berjalan bagai sebuah cerita yang telah dirangkai sedemikan rupa.
Aku masih ingat jelas saat pentas seni tahun kemarin, Kak Dio dengan kerennya bernyanyi sembari bermain piano, sama seperti saat aku melihatnya pertama kali. Selesai pentas seni, aku sebagai panitia ikut membantu membereskan dan Kak Dio selaku Ketua OSIS tentu ada di sana. Saat itu aku memberanikan diri menyatakan perasaanku pada Kak Dio, membuat kita saat ini mendapat sebuah sebutan, yaitu pasangan.
Apa aku bahagia? Tidak.
Semua hal kebahagiaan layaknya negri dongeng hanya aku rasakan sesaat, karena debaran layaknya roller coaster itu sudah tidak ada lagi. Semuanya telah terhenti sejak lama. Aku tidak merasa bahagia dengan Kak Dio yang selalu acuh tak acuh padaku. Kak Dio selalu lebih sibuk dengan urusan pribadinya, entah itu OSIS, tugas, atau klub musiknya. Dia hanya menjadikan aku sebagai pelabuhan terakhir setelah rasa lelahnya.
Aku tahu aku ini gadis yang bodoh. Sehingga aku berharap bisa memutar balikan waktu. Aku tak akan pernah mencoba untuk bertemu dengannya, aku akan menjalani semuanya secara normal. Seandainya saja aku bisa melakukannya.
Setelah rasa lelah yang kurasakan hari ini, aku memutuskan untuk merebahkan tubuhku di kasur kesayangan. Aku memeluk boneka satu-satunya pemberian Kak Dio. Bine pinguin yang begitu mengingatkanku pada Kak Dio.
"Seandainya waktu bisa terulang, ayo kita jangan saling bertemu satu sama lain."
Rasa kantuk yang terus menyerangku membuatku memutuskan untuk menyerahkan tubuhku pada alam mimpi yang telah menunggu.