Chereads / Libra: Broken Heart / Chapter 1 - Bab 1: Bertemu Kembali

Libra: Broken Heart

Riku_Boyan
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 5.2k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bab 1: Bertemu Kembali

Sosok pemuda urak-urakan keluar dari ruangan pengap nan terpencil. Di bahu kanannya terdapat tali tas jinjing yang kembung akan isi. Rambut hitam yang terurai panjang nampak berantakan tak terawat, bahkan wajah kotornya ditumbuhi kumis dan janggut. Iris merahnya mengkilat menatap sosok berseragam biru.

Pria itu terus berjalan dengan kepala menunduk, menapaki kakinya di dunia lama yang fana. Ia merindukan oksigen berbau dedaunan segar yang tercampur asap kendaraan. Ia merindukan penduduk yang berjalan lalu lalang memenuhi lintasan zebra cross. Tentu yang lebih utama ia merindukan sosok wanita muda yang pernah ia sakiti.

Sosok berwajah bulat dengan iris coklat yang selalu memancarkan keceriaannya, menutup kekelamannya dengan sempurna. Sosok bertubuh kerdil dengan rambut coklat melambai-lambai diterpa angin.

Pria jangkung ini mendongak, melihat cerahnya langit oranye dan awan berserakan bak bekas sobekan kapas. Sang Raja siang bersembunyi di sana, di awan-awan itu. Apakah dia takut padanya? Ia merasakan dirinya dijauhi oleh semua makhluk hidup, termasuk benda luar angkasa.

Ia sangat merindukan.

Dalam benaknya, apakah beliau merindukannya juga?

Mungkin jawabannya adalah tidak bagi gadis yang pria itu maksudkan. Garis bawahi.

Sebuah ruangan kubus serba putih itu dihuni oleh empat orang: satu wanita muda berjas dokter, sepasang suami-istri paruh baya, dan sosok anak laki-laki berwajah pucat.

"Bagaimana keadaan anak saya, Dokter Mika?" Suara lembut berkesan cemas keluar dari mulut keriput wanita paruh baya. Tangannya mengelus-elus rambut anak semata wayangnya.

Mula-mula wanita bersurai coklat seleher itu menulis sesuatu di kertas resep obat, dengan senyuman manisnya mampu menenangkan sang ibunda pasien. "Tenang saja, Nyonya. Dia hanya mengidap demam dan flu ringan, alangkah lebih baiknya bila dia istirahat yang banyak dan absen sekolah selama 3 hari."

"Benarkah dia harus absen sekolah selama 3 hari?" Kini sang ayahanda yang angkat bicara.

Mika melirik dan mengangguk sekali, lantas beralih pada anak laki-laki yang terus menyedut angin guna ingusnya tak keluar. Tangan kurus Mika menangkup dan mengelus-elus pipi pasien. "Itupun kalau adik kecil ini mau minum obat secara rutin."

"Tapi Dokter Mika," Wanita paruh baya itu melirik anaknya, "dia kalau minum obat suka susah."

Mika tertegun sesaat sebelum ia tersenyum kembali menatap pasien. "Kamu suka makan apa, selain makanan ringan, Adik kecil?"

Mula-mula pasien bersin sebelum berkata, "Aku suka pisang, Dokter."

Mika tertawa kecil. "Kamu suka pisang? Coba kamu makan pisang bersamaan dengan obat yang Dokter berikan. Kalau bisa, kamu ke sini berikan laporan pada Dokter. Nanti Dokter kasih kamu es krim atau permen kalau kamu sembuh. Mau?"

Wajah pucat anak itu berubah cerah, dis mengangguk mantap. "Aku akan makan pisang sambil minum obat!"

Kedua orang tua ini berdecak kagum dengan usaha Mika yang tak biasa. Sungguh dokter yang peduli dengan kesembuhan sang pasien!

"Baiklah!" Wanita berkulit kuning langsat ini merobek ujung atas kertas resep dan menyerahkan pada orang tua pasien. "Ini resep obatnya. Usahakan diminum secara teratur."

Setelah perbincangan pasal kesehatan pasien tadi, lantas mereka bertiga mengucapkan banyak terima kasih dan keluar dari ruang periksa. Gadis beriris coklat ini melepaskan jas dokter dan memakaikannya di kepala kursi kantor, berjalan menuju jendela hanya sekedar melihat keadaan di luar sana.

Hari ini sinar senja menyilaukan mata, menyelimuti seluruh tubuh yang sekedar mengenakan kaos lengan lonceng dengan rok sebetis. Sinarnya begitu merah, membuat dirinya teringat akan masa lalu.

"Hentikan!"

Ah, bila mengingatnya kembali, entah kenapa hatinya terasa sakit. Insiden yang begitu melukai hati Mika terlalu dalam, sukar untuk disembuhkan. Semakin memori itu ditayangkan di otaknya, tatapannya semakin tajam dan berkaca-kaca.

Pria itu, sudah membuat dirinya nyaris terbunuh. Sudah 15 tahun dirinya tak melihat pria itu, apa kabar keadaannya sekarang?

Mika mendesah panjang. "Hari ini kau bebas dari penjara, ya." Mika berbalik dan mengambil koper bekas ia sekolah dulu, lantas keluar dari ruang pekerjaannya. "Aku ingi tahu seberapa menderitanya dirimu setelah memasuki dunia fana ini."

Langkah demi langkah Mika lalui dengan senyum sehangat senja. Celingak-celinguk ia melihat toko-toko dan orang berlalu lalang serta kendaraan umum yang melaju dengan kecepatan sedang.

Langkahnya terhenti begitu tatapannya tertuju pada boneka manekin di toko sebelah dirinya. Boneka itu terpajang memperlihatkan gaun motif buah ceri selutut tanpa lengan. Mika mengerling ke atas, berusaha menimbang-nimbang antara gaun dengan kecocokan dirinya.

Mika tersenyum lembut, lantas menunjuk boneka manekin sambil berkata, "Awas saja bila kau memberikan gaun itu pada pembeli! Aku sedang berusaha mengumpulkan uang untuk membeli gaun yang kau pakai, kau tahu itu!"

Wanita kerdil bersurai seleher ini kembali berjalan ke rumahnya. Ya, rumah yang tak terlalu besar dan mewah namun memiliki banyak kenangan. Semua kenangan manis ada di sana, termasuk kenangan pahit berupa insiden pembunuhan.

Mika tak mau mengingatnya lagi.

Ia ingin memori itu buang jauh-jauh, alangkah lebih baiknya bila memori itu terhapus di otak Mika.

Langkahnya terhenti lagi. Kini ia berhenti di ambang pintu pagar kayu. Tatapan Mika yang melembut pun mulai menanam dan berkaca-kaca seperti kejadian di ruang kerja. Di depan pintu rumahnya, sosok pria bersurai hitam kusut tengah duduk dengan kepala menunduk. Tas jinjingnya dibiarkan ditaruh di dekatnya.

Mika langsung berlari untuk segera menyingkir sosok yang ia benci itu. Bunyi ketukan alas sepatu selopnya menarik perhatian pria itu. Tapi terlambat, Mika sudah mendorong pria urak-urakan itu ke pekarangan penuh bunga, tak peduli potnya pecah akibat serangan dorongan dari Mika.

"M-mika," pria itu bangkit dan berusaha menggenggam kedua tangan Mika, namun Mika refleks melepasnya dengan kasar, "k-kumohon, izinkan aku tinggal di sini. Aku tak punya uang untuk—"

"Pergi!" Tangisan bercampur teriakan sungguh membuat hati Mika pecah bagaikan insiden mengerikan itu. "Kenapa kau malah ke sini? Kau ingin menyakitiku lagi? Kau ingin membuatku terpuruk lagi? Jahat sekali kau, Kashima."

"M-mika, kumohon beri aku kesempatan kedua—"

Gadis itu langsung masuk dan mengunci pintunya. Lantas Kashima mengetuk-ngetuk pintu, selama Mika masih mengunci pintu ini. Di dalam rumah, nampak Mika yang merosot menutup kedua daun telinga dengan erat. Tangisannya kian menjadi-jadi. Dalam benak Mika, apakah Tuhan kembali mengujinya?

Mika masih tak mau percaya dengan kata-kata manis Kashima.

Berhari-hari Mika berangkat dan pulang yang disambut oleh Kashima. Setiap hari ia harus melihat pria urak-urakan yang tetap duduk di depan pintu dan mendengar ketukan keras. Hingga di hari itu, Mika baru mempercayai perkataan Kashima.

Malam itu Bintang bertaburan layaknya pasir. Mika melalui semua malam itu dengan ketukan pintu beserta teriakan memohon dari mulut Kashima. Tidak saat makan malam, ganti baju dengan piyama motif titik, hingga menonton TV.

"Mika, kumohon beri aku kesempatan kedua!" Ya, Mika mendengar teriakan ini. Tapi kali ini, entah kenapa teriakannya menarik perhatian wanita bergelar dokter spesialis anak ini. Suatu permohonan yang disertai tangisan.

Mika melirik ke belakang—ke lorong menuju pintu depan. Lantas ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju pintu depan, mendengar semua ucapan dari mulut pria yang Mika benci. Ia menempelkan salah satu daun telinganya bersamaan dengan kedua telapak tangan.

"A-aku janji aku akan berubah menjadi lebih baik, Mika. Aku ... akan menjadi pria yang baik untukmu. Aku—aku akan mengabulkan semua permintaanmu! Tak peduli seaneh apapun permintaannya!" Dan pada akhirnya pria itu menangis menjadi-jadi, terdengar seperti tangisan rasa bersalah.

Seketika iris coklat Mika berubah sendu. Mendengar semua ucapan Kashima barusan, ia merasa dirinya begitu egois. Lantas Mika membuka pintu, memperlihatkan sosok pria berambut kusut tengah menangis sesegukan. Matanya ditutupi dengan punggung tangan, tak memungkinkan air mata terhalangi begitu saja.

"Baiklah, kau boleh tinggal di sini selama kau mau." Dibalik kalimat itu, gadis berpemilikam leher pendek ini menyusun rencana yang memungkinkan Kashima untuk berubah. []