Chereads / Items of Time Travel / Chapter 3 - Bab 3. Kembali

Chapter 3 - Bab 3. Kembali

Saat Sean berdiri di barisan paling depan, langit yang semula gelap gulita perlahan dihiasi oleh kilauan cahaya yang jatuh bagaikan serpihan bintang. Hujan meteor berjatuhan satu per satu, menorehkan jejak bercahaya yang membuat malam seakan terselimuti keajaiban. Ini kali pertama bagi Sean menyaksikan pemandangan seperti ini membuatnya terpukau. Namun disaat sean tersihir akan keindahan yang disaksikannya, tiba-tiba saja gelang yang saat itu sedang dikenakannya, perlahan-lahan mengeluarkan cahaya yang menyilaukan seperti saat pertama kali gelang itu membawanya pergi dari lab milih Ohm.

"Gelang ini bercahaya? Apakah karena hujan meteor? Apakah gelang ini akan membawaku kembali?" pikir Sean, penuh tanya. Namun, berbagai pertanyaan itu berputar tanpa jawaban, menghantui benaknya yang semakin bimbang.

Kilauan gelang itu semakin intens saat hujan meteor berlanjut, seolah beresonansi dengan setiap kilatan cahaya di langit. Tapi ketika meteor terakhir mulai memudar, cahaya dari gelang itu pun perlahan meredup dan pada saat itu juga, tubuh Sean mulai memudar, menghilang dari tempatnya berdiri.

Dalam sekejap, Sean mendapati dirinya kembali ke tempat semula, di mana suara berita dari papan iklan digital kembali menyentak telinganya, seolah waktu tak pernah bergerak sejak kepergiannya.

"Malam ini, Kota Kanaki bersiap menyaksikan sebuah keajaiban alam yang jarang terjadi yaitu hujan meteor yang diperkirakan akan menghiasi langit malam dengan pesona yang tak tertandingi. Badan Pengamat Antariksa telah mengonfirmasi bahwa fenomena ini akan dimulai tepat pada pukul 7.30 P.M., menjadikannya hujan meteor pertama di tahun ini

Kota Kanaki, dengan latar belakang pegunungan yang megah, telah menjadi tujuan bagi ribuan pengunjung yang bersemangat untuk menyaksikan peristiwa langka ini. Suasana di sekitar lokasi sangat antusias, dengan keluarga dan kelompok teman yang berbondong-bondong membawa perlengkapan untuk menikmati momen yang mungkin hanya terjadi sekali dalam beberapa tahun. Para astronom amatir dan profesional juga hadir, membawa teleskop dan kamera, siap mendokumentasikan keindahan yang akan segera menghampiri mereka.

Bagi Anda yang berencana untuk menyaksikan keajaiban malam ini, kami sarankan untuk segera berangkat menuju Kota Kanaki. Siapkan diri Anda untuk merasakan keajaiban alam semesta yang luar biasa. Nikmati setiap detik dari pertunjukan langit ini, dan tetaplah bersama kami untuk informasi dan berita terbaru." Ucap presenter berita

"Kenapa gelang ini membawaku kembali ke tempat di mana aku pertama kali tiba? Apakah ada sesuatu yang terlewatkan, atau mungkin… ada tugas yang harus kuselesaikan sebelum aku benar-benar bisa pulang?" Sean bertanya dalam hati, merasa bingung dan sedikit gelisah. Pertanyaan-pertanyaan itu berputar dalam benaknya, menggantung tanpa jawaban, menambah beban misteri yang terus mengekangnya sejak pertama kali gelang itu membawanya ke dunia ini.

"Entahlah… mungkin sekarang yang bisa kulakukan hanyalah pasrah," gumam Sean pelan. "Lebih baik aku menenangkan diri dulu." Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju sebuah kafe kecil di ujung jalan bernama Alcocha.

Tring~ Suara lonceng yang tergantung di pintu menyambut saat sean membuka pintu masuk, membiarkan aroma kopi segar dan kehangatan ruangan menyelimutinya.

"Selamat datang di Alcocha Cafe, All About Coffee Cha. Ada yang bisa kami bantu? Kami memiliki menu kopi dan teh," sambut seorang pelayan yang segera menghampirinya dengan buku menu terbuka.

"Saya pesan satu iced americano," jawab Sean singkat.

"Baik, totalnya 23.000," ujar pelayan, mencatat pesanan Sean. Ia mengeluarkan dompetnya, mengambil uang, dan menyerahkannya kepada pelayan.

"Ini bukti pembeliannya, Tuan. Mohon tunggu sebentar," kata pelayan itu sebelum beranjak menyiapkan pesanan Sean.

Pelayan itu segera menuju ke mesin kopi di belakang meja. Dengan cekatan, ia mengisi portafilter dengan biji kopi yang baru digiling, lalu menekan kopi dengan hati-hati sebelum memasangkannya ke mesin espresso. Setelah beberapa detik, cairan kopi pekat mengalir keluar, jatuh ke dalam gelas bening. Kemudian, pelayan menambahkan es batu hingga penuh, menuangkan espresso di atasnya, menciptakan perpaduan warna yang kontras. Setelah selesai, ia membawa iced americano itu ke meja tempat Sean menunggu. "Iced americano-nya sudah siap. Terima kasih, silakan datang kembali."

Sean mengangguk dan mengambil minumannya. "Terima kasih," ujarnya sambil melangkah menuju pojokan kafe yang tenang. Di sana, ia memilih tempat duduk dekat jendela, memandangi jalan sambil sesekali menyesap kopinya, membiarkan pikirannya mengalir perlahan.

"Kali ini aku tidak akan pergi ke kota bernama kanaki itu, aku tidak akan melihat hujan meteor yang menghiasi langit hitam itu juga. Kira-kira apa yang akan terjadi pada gelang ini."

Sean menatap jam besar yang menggantung di dinding kafe, warna mencoloknya menarik perhatian di antara dekorasi ruangan yang tenang. Jarum jam terus berdetak, memberi isyarat bahwa waktu terus berlalu.

"Sudah lima menit berlalu, tapi gelang ini sama sekali tidak bereaksi," gumam Sean sambil memutar-mutar gelang di pergelangannya, mencoba memahami keanehan benda itu. "Apakah gelang ini hanya terhubung dengan meteor?"

Namun saat tatapannya beralih ke luar jendela, ke langit malam yang kini sunyi. Tiba-tiba, kilau halus muncul dari gelang itu. Sebelum Sean sempat mencerna apa yang terjadi, tubuhnya lenyap dalam sekejap—dalam kilatan cahaya terakhir, ia kembali terhempas ke waktu dan tempat di mana semuanya bermula, seolah perjalanan itu hanya berjalan ditempat saja.

"Sial, kenapa aku kembali lagi ke sini? Ini benar-benar membuatku frustrasi," Sean mendesis, menatap gelang di pergelangannya dengan kesal. "Ayolah, jangan persulit aku. Setidaknya beri aku petunjuk untuk menemukan jawabannya—"

"Permisi, Tuan?" suara seseorang menyela tepat saat Sean melontarkan kekesalannya.

Sean menoleh, sedikit terkejut. "Ya… ada apa?"

Orang asing itu tersenyum tipis. "Apakah Anda seorang penjelajah waktu?"

"Hah?" Sean menatapnya, bingung.

"Maksud saya, apakah Anda sedang melakukan perjalanan waktu?" pria itu mengulangi pertanyaannya, kali ini dengan nada lebih serius.

Sean membatu, pikirannya kalut. "Bagaimana dia bisa tahu?" gumamnya tanpa sadar, terlalu kaget untuk menyembunyikan reaksinya.

Pria itu tertawa kecil. "Hehe… itu karena gelang di pergelangan Anda," ujarnya sambil melirik gelang milik Sean.

"Gelang ini?" Sean menatap gelangnya, masih belum sepenuhnya percaya.

"Benar. Gelang itu adalah salah satu alat yang memungkinkan perjalanan waktu," jawab pria itu dengan tenang.

Pria itu melanjutkan, "Bagaimana kalau kita lanjutkan pembicaraan ini di kantor saya? Tepat di seberang sana—bangunan dengan papan iklan digital besar itu."

"Oh, bangunan itu. Tentu," Sean menyetujui, penasaran yang mulai tumbuh mengalahkan keterkejutannya.

Sesampainya di ruangan, pria itu membuka pintu dan berkata, "Ini kantorku… anggap saja seperti kantor sendiri." Ia mengisyaratkan Sean untuk masuk.

"Oh iya, aku belum memperkenalkan diri," lanjut pria itu, merogoh saku jasnya dan mengeluarkan kartu nama. "Namaku Mike Luken, dan pekerjaanku tertera di sini."

Sean menerima kartu nama itu dengan anggukan singkat. "Dan aku Sean Buffer. Panggil saja Sean. Maaf, aku tidak punya kartu nama."

Mike tertawa kecil. "Tidak masalah. Silakan duduk."

Sean pun duduk di sofa empuk yang berada di sudut ruangan, matanya menelusuri detail kantor itu yang sederhana namun elegan.

"Kalau boleh tahu, apa pekerjaanmu? Peneliti?" tanya Mike, menatap Sean dengan tatapan penuh arti.

"Tidak, aku seorang dokter," jawab Sean.

Mike mengangguk, tampak sedikit terkejut. "Kalau begitu, kenapa kamu bisa memiliki gelang itu?"

Sean merasakan kewaspadaan mengendap di benaknya. Apa yang harus kukatakan? Bagaimana kalau pria ini hanya ingin menjebakku dan merebut gelang ini? pikirnya, berusaha tetap tenang.

Akhirnya, ia menjawab, "Sahabatku menemukannya… dan menjadikanku kelinci percobaannya."

Mike tertawa, penuh pemahaman. "Haha, tampaknya temanmu tidak begitu setia kawan. Tapi aku lihat kamu sedikit curiga padaku. Tenang saja, aku tidak punya niat jahat. Aku hanya ingin meminta bantuanmu. Ash, pemilik gelang ini sebelumnya, telah menghilang dan tampaknya gelang itu sampai ke tangan sahabatmu."

"Meminta bantuan?" Sean mengerutkan kening, rasa ingin tahu mulai mengusir keraguannya.

"Dimensi perjalanan waktu kita saat ini sedang rusak," jelas Mike dengan nada serius. "Seseorang telah mengendalikan dimensi ini demi kepentingan pribadinya. Itu sebabnya, alat perjalanan waktu tidak boleh jatuh ke tangan orang yang serakah dan berpikiran sempit."

"Makanya aku selalu berakhir di tempat yang sama?" tanya Sean, mulai memahami keanehan yang dialaminya.

"Benar. Orang itu telah mengunci waktu pada tanggal 22 Februari 2022. Siapa pun yang mencoba keluar dari waktu itu akan terus diputar kembali. Jika kamu bersedia membantuku, aku akan memberitahumu cara kembali ke duniamu," Mike menegaskan, pandangan matanya lurus dan tajam.

Sean tidak perlu berpikir panjang. "Baik, aku akan membantumu. Sekarang, katakan caranya aku bisa kembali."

Mike mengeluarkan selembar dokumen dari laci mejanya, lalu menyodorkannya pada Sean. "Sebelum itu, tanda tangani ini dulu. Ini hanya memastikan bahwa kamu akan bekerja sama denganku untuk mengumpulkan benda-benda perjalanan waktu yang diperlukan untuk memperbaiki dimensi ini."

Sean mengangguk, mengambil pena, dan menandatangani dokumen itu tanpa ragu.

"Baiklah," kata Mike, puas. "Redire Universum. Itu kalimat yang harus kamu ucapkan jika ingin kembali ke duniamu."

Sean menatap Mike sesaat, lalu mengucapkan kalimat itu dengan tegas. "Redire Universum."

Dalam sekejap, tubuhnya diselimuti cahaya terang, dan ia pun menghilang dari ruangan itu.