Jakarta, 06 Desember.
Aku melirik jam yang melingkar di lengan. Sudah tiga puluh menit menunggu, tetapi Papa tak kunjung datang. Les Biola yang kutekuni sudah selesai sejak tadi.
Sekian lama berdiri, akhirnya sinar lampu mobil kini menyilaukan mata. Ini bukan Papa, melainkan kakakku.
Meskipun tak suka, tetapi aku tetap terima. Daripada harus menunggu lama.
"Papa?" tanyaku tanpa basa-basi saat mendaratkan bokong ke kursi mobil.
"Dapet tugas. Kamu, tuh, ngerepotin papa mulu."
Mobil mulai bergerak. Aku cukup kesal jika Abang sudah seperti ini. Ia selalu saja menegurku untuk tidak terlalu merepotkan Papa.
"Abang, kok, sewot."
Satu-satunya saudaraku. Kevin, namanya. Ia kini sedang menjalani koas di salah satu rumah sakit di ibu kota.
"Kan, kamu tahu, Dek, papa polisi dia pasti banyak tugas luar."
Aku manyun di tempat. Papa selalu ingkar janji jika ada tugas mendadak. Salah satunya ini.
"Tuh, Papa di sana."
Abang menunjuk kerumunan yang membuat jalanan macet. Ada kecelakaan lagi, inilah penyebab mengapa Papa tidak menjemputku.
Aku condongkan tubuh untuk melihat lebih dekat ke kerumunan di jalan, meski kini aku dan Abang tak ada jarak lagi, karena jendela yang bisa kami pakai melihat hanya bagian yang ada di sebelah bangku kemudi.
"Kenapa, Bang?"
"Tabrak lari."
Aku mengangguk. Dorongan pada bahu kurasakan, Abang menyuruh untuk duduk lagi.
"Pake seatbelt-nya," titah Abang.
"Ih, turun bentar, Bang," rengekku, "kita lihat dulu, lagian juga di sana ada papa, 'kan?"
Aku cukup penasaran, padahal saat keluar mobil nanti, jelas akan ada penyesalan karena mencium bau amis darah.
"Nggak, ya, nggak." Abang segera menyetir mobilnya menjauh dari sana.
Aku hanya bisa cemberut di tempat. Jika Abang adalah adikku, sudah pasti saat ini bentuknya telah kubuat menjadi peyek.
Sudahlah, lagi pula aku bisa menanyakan hal ini pada Papa besok. Beliau akan menjelaskan lebih detail.