Pada hari itu juga mereka menuju Airport dan membeli tiket ke desa itu.
" Excuseme, saya ingin memesan dua tiket ke Ikavol Village, " ujar James mengeluarkan kartu ATM dari dompet kulit berwarna coklat.
" Tiketnya seharga 3000 real dari Brasilia ke ISF airport menempuh waktu kurang lebih satu jam setengah. Bagaimana anda setuju ? Jika setuju saya akan melakukan transaksi. " keterangan perempuan maskapai di airport.
Jerome terbelalak kaget mendengar mereka harus turun di ISF yang letaknya sangat jauh dari desa Ikavol.
" Tidak ada airport yang lebih dekat lagi ?" tanya Jerome.
" Maaf pak, tidak ada airport terdekat di daerah Ikavol. Kecuali airport ISF (International Airport Salgado Filho) " jawab perempuan maskapai berparas elok dengan sopan.
Mereka berdua hanya mengangguk bertanda setuju.
Usai melakukan pengecekan tiket, data diri, dan menuju gerbang keberangkatan perasaan Jerome getar-getir. Sampai waktu, semua penumpang dipanggil untuk menaiki pesawat. Mereka mencari tempat duduk yang sesuai tertera di tiket.
Pramugari kini berdiri dihadapan mereka, memperhatikan demo tentang keselamatan pada saat hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Antisipasi semisal ada apa-apa selama diperjalanan, amit-amit.
Ketika take off perasaan Jerome kembali tenang. Ia begitu menikmati pemandangan diatas 35.000 kaki. Melihat pemandangan gumpalan awan begitu dekat.
Munculah pemberitahuan bahwa pesawat siap leanding di ISF. Saat itu penumpang diminta tenang dan menggunakan sabuk pengaman, menegakan sandaran kursi, melipat meja, dan menaikan penutup jendela karena pesawat akan mendarat. Pendaratan berjalan baik walaupun sedikit kasar. Pesawat semulanya cepat menjadi lambat. Mereka tak menunggu proses pengambilan barang dari bagasi karena barang bawaan mereka tidak banyak.
Setelah satu setengah jam lamanya di pesawat, terbang dari bandara internasional presiden menuju bandara ISF tak membuat mereka jenuh. Dan akhirnya mereka sampai di airport tujuan.
" Nanti kita naik transportasi apa ? dari airport menuju desa berjarak 30 KM. " tanya Jerome sambil meneguk secangkir coffe.
UHUK
James tersedak oleh minuman yang ia tenggak.
" Lihat saja nanti. " jawabnya dengan singkat.
Kata penduduk setempan, mereka harus menaiki bus Ikavol selama 15 minut dan berjalan sejauh 6 KM.
Mereka melakukan hal yang dikatakan oleh penduduk dan akhirnya sampai di sebuah desa yang bernama ikavol. Desanya masih asri. Pemandangannya indah. Dan asri.
Didepan gerbang bambu ada sekelompok orang yang siap menyambut mereka. Sekitar 5 orang penari melenggak lenggok memperagakan tari Samba. Seorang lelaki lansia berjalan kearah mereka. Sepertinya ia ketua suku di daerah setempat. Ia membawa semangkuk Moqueca (makanan seafood berbahan dasar ikan ).
" selamat datang wahai tamu kehormatan kami " ucap lelaki itu sambil menghidangkan banyak makanan laut.
Wajar saja karena desa ini begitu dekat dengan laut timur. Makanan disini begitu sedap. Sampai tak sadar James menghabiskan 3 piring mentung nasi. Maklum mereka belum makan selama 10 jam.
" Mari kesini anak muda. Kalian akan tinggal disini sementara selama kalian berada didesa kami. Semoga kalian betah ya " ucap Mbah Artur, ketua adat yang meninggalkan mereka di sebuah gubuk tua.
Tanpa berpikir lama mereka menuju rumah tua yang dimaksud warga setempat. Ditemani oleh seorang warga. " Saya antar sampai sini aja ya ". Warga tersebut langsung bergegas pergi seperti sangat ketakutan.
Rumah itu nampak seperti rumah tua pada umumnya. Kumuh, dan kotor karena sampah berserakan dimana-mana menambah kesan seram.
" Rumah yang besar tetapi berkesan horor. " ucap James berkacak pinggang meratapi rumah tua itu.
" Jika bukan karena bayaran tinggi aku tidak mau datang ke desa terpencil untuk melakukan penyelidikan. " gerutu Jerome tersenyum sinis.
James tidak memperdulikan umpatan demi umpatan yang keluar dari mulut partner kerjanya itu.
James melakahkan kakinya mendekati gerbang besi berkarat rumah itu. Sebuah rantai berkarat melingkar kuat di gerbang membuatnya mengerutkan keningnya.
" Bagaimana kita membuka ini ?" tanya James kepada Jerome yang sudah menghilang disebelahnya.
" JEROME ! WHERE ARE YOU ?"
James membelalakkan matanya melihat bayangan hitam berjalan mendekatinya dengan sebuah benda tajam di tangannya.
" Oh My God, tolong aku tuhan. " lirih James memejamkan matanya.
Pundak James terasa berat seperti ada suatu hal bergelantungan di pundak kekarnya.
" Hey bro ! "
James membuka matanya perlahan dan melihat Jerome yang tertawa terbahak-bahak.
" Penakut sekali Lo, " sindir Jerome.
" Siapa yang penakut ? Seorang James king tidak pernah takut. " tepis James memamerkan otot tangannya.
Jerome menaikan sebelah sudut bibirnya dan menancapkan kapak besar di rantai berkarat. Rantai itu berhasil hancur berkeping-keping setelah sepuluh kali hantaman benda tajam.
" Dari mana lu dapat kapak besar itu ?" tanya James penasaran.
" Dari situ.. " Jerome menunjuk sebuah sisi rumah besar itu.
James manggut-manggut, mengerti.
Jerome membuka perlahan gerbang kokoh besar rumah itu.
" AGH !" Pekik keras Jerome dan James bersamaa.