Pulang sekolah aku mengajak teman-teman dekatku, seluruhnya. Advan, Evcoss, Oppo dan Hua Wei datang ke rumahku untuk merayakan acara mitoni, tingkeban, atau tujuh bulanan.
Mitoni merupakan suatu prosesi adat Jawa yang ditujukan pada wanita yang telah memasuki masa tujuh bulan kehamilan. Mitoni sendiri berasal dari kata 'pitu' yang artinya adalah angka tujuh. Meskipun begitu, pitu juga dapat diartikan sebagai pitulungan yang artinya adalah pertolongan. Karena acara mitoni ini merupakan sebuah doa agar pertolongan datang pada si bunda yang sedang mengandung. Selain mohon doa akan kelancaran dalam bersalin, acara ini juga disertai doa agar kelak si anak menjadi pribadi yang baik dan berbakti.
Aku dan kawan-kawan tiba di rumah. Ibu dan Bang Sam menyambut kami dengan senyuman hangat. Tak hanya mereka, tapi juga ada kedua orang tua Bang Sam yang turut hadir pada acara ini. Beruntung aku dan kawan-kawan bisa menyaksikan prosesi acara mitoni yang akan segera dimulai.

Siraman
Prosesi ini sebagai awal pembukaan acara. Di mana Ibu akan melakukan ritual mandi menggunakan air yang berasal dari 7 sumber air yang berbeda. Biasanya air sumur, air sungai, air danau, air terjun, air hujan, air ledeng dan air laut.
Brojolan
Selesai siraman prosesi selanjutnya adalah Brojolan. Prosesi yang menjadi simbol doa keselamatan bagi kelahiran sang jabang bayi. Di mana ibu mengenakan jarik (kain batik panjang) dan sebuah tali yang disebut dengan tali letrek. Ritual ini dilakukan bersama nenek __ Ibunya Bang Sam. Nenek itu memasukan telor dan kelapa gading lewat bagian atas pakaian jarik Ibu. Sehingga benda-benda itu akan menggelinding dan brojol ke bawah. Saat telor dan kelapa gading itu brojol dengan sigap nenek menangkapnya kembali. Setelah benda-benda itu berada di tangan nenek, berikutnya nenek menyerahkan semuanya ke tangan Bang Sam. Kemudian Bang Sam memotong tali letrek dengan menggunakan pisau. Konon proses pemotongan tali tersebut sebagai simbol bahwa calon ayah akan selalu memberantas rintangan. Melindungi keluarganya dari berbagai alangan dan rintangan kehidupan.
Angreman
Usai prosesi Brojolan, ritual selanjutnya adalah angreman. Di mana ibu dibawa ke kamar dan diberi tujuh kain jarik. Hanya satu yang dikenakan Ibu sementara keenam jarik yang lain digunakan sebagai alas tempat duduk. Mengengrami. Seperti induk ayam yang mengengrami telor-telornya. Saat Ibu duduk, saat itulah Bang Sam memberikan suapan nasi tumpeng dan bubur merah putih. Katanya, ritual itu sebagai simbol, bahwa sang ibu yang akan selalu menjaga anak-anaknya. Sedangkan sang ayah bertindak akan selalu memberikan nafkah bagi keluarganya.
Mecah kelapa
Setelah prosesi angreman, acara dilanjutkan dengan ritual belah kelapa. Ritual ini dilakukan oleh Bang Sam. Dia akan membelah kelapa gading yang sudah diukir dengan gambar wayang. Kamajaya dan Kamaratih. Dua tokoh wayang yang terkenal dengan ketampanan dan kecantikannya. Bang Sam memilih kelapa yang bergambar Kamajaya. Hal itu berarti, Bang Sam berharap bahwa Ibu akan melahirkan seorang bayi laki-laki. Seorang jagoan yang tampan. Seperti bapaknya.

Dodolan rujak
Sebagai akhir dari acara mitoni adalah ritual dodolan rujak/jualan rujak. Ibu akan berjualan rujak, di mana yang menjadi pembelinya adalah semua para tamu undangan yang hadir. Termasuk aku dan teman-temanku. Kami membeli dodolan rujak ibu dengan menggunakan kereweng (pecahan genting yang terbuat dari tanah liat). Prosesi dodolan rujak merupakan simbol harapan agar si anak mendapatkan rejeki yang banyak, melimpah dan luas. Tentu, untuk dirinya dan juga kedua orang tuanya.
Akhirnya acara mitoni pun kelar sudah. Para tamu undangan berangsur-angsur pergi meninggalkan rumah. Hingga menyisakan sanak dan saudara saja yang masih betah bercengkrama. Teman-temanku juga satu per satu berpamitan. Setelah menikmati hidangan makan siang dan mencicipi rujaknya. Benar-benar SMP mereka. Sesudah Makan Pulang, hehehe ... Hanya Hua Wei yang masih setia menemaniku.

''Vivo ... Ibumu masih terlihat muda dan sangat cantik sekali, pantas saja kalau kau memiliki wajah yang manis kinyis-kinyis. Ternyata wajahmu menurun dari ibumu. Buah memang tak jauh dari pohonnya.'' celoteh Hua Wei di saat kami duduk di serambi rumah yang letaknya agak menjauh dari keramaian.
''Hehehe ... masa' seeh,'' timpalku.
''Iya, Vo ... kamu ganteng manis seperti boneka barbie ....''
''Terima kasih, tapi aku gak punya recehan buat menyawermu, Wei ...''
''Hahaha ... aku gak butuh recehan, Vo, tapi yang lembaran aja!''
''Wkwkwkw ... dasar!''
Aku dan Hua Wei tertawa.
''Aku senang melihatmu tertawa begini, Vo ... aura ketampananmu lebih terpancar. Seperti kembang sedap malam. Harumnya tiada tara."
''Mulai ya, jurus rayuan mautnya.''
''Hehehe ... bukan begitu, Vo ... aku ngomong serius. Kamu jadi terlihat menarik kalau tersenyum begini daripada manyun dan cemberut. Muram kayak kuburan. Iiih ... menyeramkan!"
''O, ya, hahaha ....''
''Ya ...'' Hua Wei menatapku dengan pandangan mata yang syahdu. Aku jadi tersipu. Malu-malu. Aku tak berani menatap bola matanya lama-lama, karena di sana ada sebuah pancaran yang tak biasa. Pancaran serupa yang terdapat dalam bola mata Bang Sam. Pancaran rasa ketertarikan yang menimbulkan getaran-getaran aneh. Mungkinkah Hua Wei seorang laki-laki yang memilki orientasi seksual yang melenceng juga seperti aku? Jika benar ... aku harus bersikap bagaimana? Mengapa aku selalu dikelilingi orang-orang yang 'SAKIT' (dalam tanda kutip).
Apakah ini takdir?
__Ya, Tuhan, jika menjadi seorang gay adalah sebuah dosa. Mengapa Engkau ciptakan hamba dengan orientasi seksual yang berbeda? Aku harus bagaimana?