permisi... pendatang baru mau ikut berkarya. baru nyoba tapi semoga bisa sesuai sama selera readers... makasih udah mau mampir, lebih makasih kalo ninggalinn jejak. *peace*
Cermin besar, menggantung memantulkan bayangan ku. Dari ujung rambut, hingga ujung hak sepatu. Gaun pastel sepanjang mata kaki, dengan desain tertutup bertengger dari bahu. Kalung dengan mata shapire sebesar kuku kelingking senada dengan manik mataku menghias leher. Manik indah yang kudapat dari Ayah. Tubuh tinggi semampai dengan kaki jenjang, rambut pirang sedikit gelap yang mirip dengan ibuku. Lengkungan dibibir mengguratkan senyum manis, menunggu ayah memanggilku dan memperkenalkanku pada seorang yang kan memimpinku.
Kurang dari 48 jam setelah ini, adalah hari ulang tahunku yang ke 18. Disini, sudah menjadi adat bagi kami untuk mengenalkan diri pada calon pangerannya masing-masing. Dengan harapan cinta akan mekar dan hari indah akan terjadi. Tak terbayang berapa lembar buku diary yang akan kuhabiskan setelah mengenal tunanganku nanti.
"jika nanti kau menyesali kata yang kau tulis, jangan berfikir untuk menghapusnya, tapi biarkan untuk menjadi lembaran berawan bagai langit sempurna" itulah yang selalu ibuku katakan. Dan telah menjadi kata pengantar hariku setiap ku menatap bayangan dari cermin di pagi hari.
"Eve, apa kau sudah selesai? Tuan muda Vin sudah tiba." Suara merdu Ibu terdengar lembut dari balik pintu.
"ya, aku akan segera keluar." Balasku sedikit lebih lantang, suara kecil takkan menembus pintu kayu tebal itu. Setelahnya tak terdengar apapun, hanya langkah ibu yang menjauh. Aku tau, dia pasti sedang menegakkan kemuliaannya. Itulah satu-satunya yang tidak ibu wariskan. Karena secara logika aku tidak suka suatu yang formal.
Kutelusuri tangga menuju lantai bawah, yang langsung terhubung dengan ruang aula utama. Hanya terlihat beberapa pelayan wanita dan pria yang berdiri menyambut dengan membungkuk, sisanya mengepel lantai dan menyapu debu di tiap inchi rumah dengan wajah tertunduk, beberapa yang sedang mengobrol mendadak membuang pandangannya kelantai.
2 pelayan membawaku menuju tempat dimana Vin dan orangtua ku berbincang. Dua pintu besar mematung, lampu terlihat menyala dari sela-selanya. Pelayan lelaki berjas hitam mengetuknya dengan berirama. Hingga jawaban yang menandakan kami di perbolehkan masuk membuka pintu kayu tersebut. Aku sungguh gugup.
Dari umur 9 tahun aku dan putra sulung keluarga Gilbert sudah dihubungkan dalam ikatan pertunangan, tapi ini pertamakalinya bagiku melihat tuan Gilbert. Tentu karena sudah mencapai masa yang cukup untuk bertemu hatiku yang lain.
Mereka menyambutku dengan senyuman hangat. Semua lamunanku tertutup seiring dengan pelayan yang menutup pintu dengan sedikit hentakan yang menimbulkan suara dentum yang cukup kencang dalam suasana yang sepi ini.
"Eve... kemarilah..." ajak lelaki yang kutebak adalah Vin Gilbert, dengan sangat lembut walau terdengar sedikit perintah dibalik itu semua. Ayahku slalu mengajariku tatakramah untuk menanggapi lawan bicara, perbedaan antara memerintah, atau mengajak adalah awal dari pembelajaranku. "Tentu..." terimaku dengan sedikit senyuman
Tidak lama setelah basa-basi singkat hingga kami diberikan waktu untuk saling mengenal berdua.
"Baiklah tuan muda Gilbert, sebaiknya kami membiarkan kalian berdua.." ayahku bicara dengan senyum seramah mungkin sampai kumis pirangnya melengkung jelas. Vin membalas dengan singkat sambil membungkuk hingga akhirnya suasana menjadi legang menyisakan kami dan 4 cangkir yang belum tersentuh.
Vin kembali menempatkan dirinya agar duduk dihadapkan yang sambil memasang wajah mencari topik untuk dibicarakan. Kaki kananya bertumpu pada kaki kirinya. Tangannya yang terlihat berotot, terbalut kemeja putih dilapisi rompi coklat menumpu pada meja. Tulang rahangnya terbentuk sempurna, dengan manik emerald yang menyala.
Sibuk mencari kesan pertama apa yang harus aku berikan, kucoba mencari topik acak "Anting itu..." Tanya ku terputus dengan jawabannya.
"Ini? Aah, ini hanya... permata ini adalah peninggalan dari kakaku dia memilih untuk berkelana dibandingkan dengan mengurus bisnis rumah. Ini adalah tanda warisan keluarga Gilbert." ujarnya dengan selingan tawa.
"Hmm..." aku hanya dapat tersenyum. Bukankah putra sulungnya yang akan dijadikan tunanganku? "boleh ku Tanya siapa nama kakak mu?"
"tidak perlu se takut itu untuk bertanya, kakak ku adalah Steve Gilbert yang sangat maniak dalam pengetahuan, tapi entah mengapa, suatu hari dia bertengkar dengan ayah dan meninggalkan rumah. Apa kau kecewa mendapati putra kedua yang menjadi tunanganmu?" dia terkekeh mendapatiku menggeleng kuat. Tentu saja aku mau, dengan kebaikan yang sudah dia tunjukan.
Kami hanya berbincang kecil, membahas tentang kerjasama antara keluarga kami. Tak jarang dia menunjukkan betapa luasnya wawasan yang dia miliki. Namun tak jarang dia selipkan topik bagaimana ayahnya jika marah, atau bagaimana cerobohnya pelayan disana, aku menikmati setiap menitnya. Sampai saat ini pun aku tak tahu apa motifnya tapi yang ku tahu, aku merasa nyaman didekatnya. Cinta buta.
"Jadi miss... bagaimana jika kali ini kau yang bercerita? Aku penasaran denganmu"
"Hnn? Aku? Kau tau kan? Aku tidak pernah melakukan hal lain kecuali berdansa dan belajar dan berlatih sedikit pertahanan diri. Ayahku, dia tidak terlalu mengizinkanku untuk terjun kedunia sosial agar aku slalu menjadi harta Roseini" Tanganku bertumpu di meja hingga aku sedikit membungkuk.
"Begitu hmm, kupikir tidak buruk. Tugas seorang gadis memang itu kan?" ujarnya diselingi pertanyaan. Senyumnya melengkung ramah.
Larut dalam suasana, membuatku aku cukup lebih banyak tertawa dibandingkan biasanya. Kekehan kecil juga terdengar kala sesekali pemuda tersebut menaburkan bumbu canda di kata-katanya. Tidak jarang ia melakukan candaan itu, dan tidak jarang juga candaan tersebut menjadi sedikit kaku. Namun ah, hal itu juga yang mmbuatku tertawa. Entah humorku yang rendah, atau apa.
Senja bangkit dengan menyambut malam baru, menyemburkan warna merah kekuningan di langit yang hampir gelap. Percakapan kami baru saja kami akhiri dengan tanpa kesimpulan.
Kini tuan muda Gilbert terlihat tengah merapikan pakaianya menghadap cermin besar di sisi ruangan. Surai coklat gelapnya ia biarkan terbuka. Sepertinya ia mengalami sedikit kesulitan membenahi surai panjangnya. Melihat itu aku sedikit tertawa kecil, sambil mengusulkan agar ia memotong surai yang cukup panjang. Namun ia berkata, bahwa surainya adalah lambang kejayaannya. Tidak lama hingga akhirnya ia hanya mengikat asal rambutnya dibawah. Membiarkan sisa rambut di sampingnya bergelayut bebas di sekitaran gurat wajahnya yang tegas.
"Sayang sekali... sepertinya kita harus berpisah" ujarnya setelah berbalik dan meraih cardigan hitamnya. Tentu dengan hormat aku melangkah mengantarnya untuk keluar mansion. Langkah kakinya berirama, hentakan sepatu kulit terdengar rapih di lantai batu mengkilat ini.
"Akan ku antar sampai ke depan tuan..." sebenarnya aku tidak harus menawarkan hal itu, sebagai balasan, ia hanya tersenyum. Saat ia membuka pintu wajahnya masih tersenyum melihatku.
Disitu dibalik pintu itu, kulihat seorang bersetelan hitam dengan kacamata hitam berdiri didepan. Sepertinya ia salah satu pelayan keluarga Gilbert, itu kesan dua detikku saat wajah tuan mudanya malah tampak terkejut, bahkan mencoba kembali menutup pintu namun terlambat.
BANG!!
Suaranya terdengar nyaring hingga membuatku terpaku. Tidak. Bukan suara itu yang membuatku terpaku. Sungguh tidak ada apa-apa dibandingkan dengan rasa terkejutku melihat Vin yang terhantam peluru.