Hari-hariku akhir-akhir ini berjalan seperti biasa, pergi melancong atau main bersama Steve sekaligus mengerjakan proyek kami berdua. Hingga suatu saat tak ada kabar dari steve selama 2 hari. Tentu saja aku heran dengan itu. Ada apa dengan Steve?
Paris, 3 April 2016
12.15, Steve : "Hans kau free hari ini? bisa kita bertemu?"
Kupikir pasti ada sesuatu yang tak beres, jarang sekali ia bertanya seperti ini tanpa memberitahu apa yang ingin ia katakan kepadaku. Aneh untuk seorang Steve.
"Ya aku free hari ini, aku ke rumahmu sekarang."
"Trims!"
..............................
"Ma aku pergi ya." Kataku dari depan pintu sambil memakai sepatuku
"Mau kemana?" jawab Mama menghampiriku.
"Biasalah, kemana lagi."
"Steve? Tumben tiba-tiba, ya hati-hati."
"Iya tenang saja, Love You mom!"
Aku peluk ibuku lalu pergi. Aku pergi begitu terburu-buru.
..............................
Entah mengapa istana keluarga Steve terlihat agak suram hari ini. Aku memencet bel dan menunggu Steve membukakan pagar. Tak biasanya aku dibiarkan menunggu lebih dari lima menit seperti ini. Akupun melihatnya, berjalan berlagak seperti bocah pincang atau pemabuk yang sedang mengalami hari yang buruk.
"Hey, ada apa bocah kecil?" aku agak khawatir dengannya setelah tiba dan langsung melihat steve yang tampak berantakan.
"Kenapa kau? Stress UN bentar lagi?" lanjutku.
Dia tetap tak menjawab. Dia hanya menarikku ke halaman belakang. Bukan untuk duduk dan saling berbicara di gazebonya, malahan ia tarik 2 kudanya dan berkata. "Naik". Tentu saja aku terkejut, aku tak bisa naik kuda.
"tenang saja, kemistri kedua kuda ini lebih kuat dari ikatan manusia, kudamu akan mengikuti kemanapun kudaku pergi."
Aku ikuti saja maunya, daripada aku melihatnya berubah menunjukan sisi monster dibalik sisi kepangerannya. Ini pertama kalinya aku naik kuda sendiri. Dulu aku ingin mencobanya di bromo, tapi setelah melihat temanku terjungkal bersama kudanya, aku pikir bagaimana jika aku yang menaikinya, sudah berapa kali aku mencium tanah.
"Steve."
"Iya?"
"Bukankah ini rumah Rachma?" Steve mengangguk. Kudanya memimpin kami kesini. Untuk apa? Untuk apa mengajakku kalau ingin berkencan?
"Ada apa steve?" tanyaku heran.
"Dia meninggalkanku."
"Maksudmu?"
"Dia meninggalkanku."
"Ada apa? Kau berpisah dengannya?"
"Iya."
Ini pertama kalinya aku tidak melihat adanya senyum di wajahnya. Walau memang dia tidak selalu tersenyum, bahkan garis ujung bibirnya tidak melengkung ke atas. Semuanya tertekuk, pipinya juga seakan tak memiliki otot yang menariknya ke atas. Semua bagian di wajahnya jatuh terjun bebas ke bawah.
"Apa katanya?" tanyaku berhati-hati.
"Katanya... sebaiknya kita tidak bersama lagi, dia butuh fokus untuk ujiannya..."
Aku tau itu bukan alasan sebenarnya, atau mungkin bisa saja. Tidak ada satupun orang yang bisa tau pasti apa orang lain bohong atau tidak. Yang orang bisa lakukan hanya memilih antara percaya atau curiga. Itu kenapa jika kau tertangkap berbohong, semua yang sudah kupercaya darimu akan berbalik menjadi jutaan pertanyaan untukmu. Dan mungkin kepercayaan ini tak akan kau dapatkan lagi. Seperti Steve sekarang.
"Kau percaya?" tanyaku lagi.
"Hhhh... aku tidak terlalu mempermasalahkan percaya atau tidaknya... yang pasti dja telah meninggalkanku..." Steve tak pernah sekalipun mengalihkan pandangannya dari rumah itu.
"Apa salahku? Kita belajar bersama untuk ujian, aku selalu memberi waktunya untuk belajar, kita sama-sama datang ke tempat les untuk belajar, mungkin yang sebenarnya ia mau bukan itu, tapi ia mau aku hilang dan tak mengusiknya lagi." Lanjutnya, lalu air matanya perlahan menetes.
"Apa kau ingin balikan dengannya?"
"Iya, sangat. Aku sudah berkali-kali menghadapi ini."
"Maksudmu?"
Ia berhenti sejenak, seakan berpikir apakah ia harus memberi tahunya kepadaku. Aku telah meyakinkannya, jika ini terlalu privasi untuk dibuka, itu tidak masalah. Sementara ia diam seribu bahasa, larut dengan kesedihannya yang tak bisa digambarkan meski air telah menetes, aku hanya memandanginya dengan sedikit rasa iba namun tertarik untuk menguaknya lebih dalam lagi. Sebagian dari dirinya mulai bergerak, tapi bukan seperti yang kuharapkan. Bukan mulutnya, melainkan ia kagetkan kudanya hingga mulai berjalan.
"Sebaiknya kita pergi." Ucapnya lalu membawa kami pergi menjauh.
"Ada apa?"
"Dia tau kita ada disini."
Katanya sambil terus memacu kudanya pelan. Aku bingung darimana dia tau sedangkan daritadi dia hanya melihat dengan tatapan kosong tapi penuh rasa berharap.
"Ini sudah jam dia pergi belajar. Kebiasaannya sebelum meninggalkan rumahnya, dia akan membuka tirai yang besar itu(di tengah rumahnya, bila dibuka maka seisi bagian tengah rumahnya akan terlihat), membiarkan cahaya matahari masuk, baru berpamitan lalu pergi. Dan daritadi handphoneku bergetar, pasti dia memberitahu temannya untuk menyuruhku pergi. Dia mengusirku, dia tak ingin melihatku ataupun aku melihatnya."
"Darimana kau tahu?"
"Aku sudah hafal." Katanya sambil merogoh isi kantungnya lalu menunjukan notifikasi di handphonenya. Tertulis Debo : "Steve sebaiknya kau pergi, Rachma tak mau melihatmu.". Dia benar. Dia benar-benar telah dicampakkan, dia sudah dibuang.
"Oiya soal yang tadi... maksudku sebenarnya aku bukan baru sekali putus dengannya... ini yang ketiga kalinya."
"Ha? Bagaimana mungkin?"
"Alasannya selalu sama, yaitu orang tuanya."
Aku tidak kaget mendengarnya, kedua alasan yang perempuan itu buat, adalah 2 alasan bohong terkejam yang pernah ada. Jika memang orang tuanya tak membolehkannya berhubungan, untuk apa ia menerima Steve. Untuk apa ia memulai sesuatu yang ia tau takkan berjalan dengan baik. Dia pembohong, Steve telah dibuang.
"Aku tau apa yang ada dipikiranmu... Itu mengapa aku berani mendatangi orang tuanya, untuk mengetahui apa benar itu yang menjadi alasannya. Dan ternyata tidak. Orang tuanya baik kepadaku, atau mungkin ibunya baik. Dan walaupun agak terlihat galak dan risih, aku yakin sebenarnya ayahnya baik. Setelah itu baru Rachma menerimaku kembali."
Aku tidak menyangka. Steve bukan seorang pangeran yang manja. Ia cocok untuk menjadi salah satu pangeran untuk princess disney, memperjuangkan cintanya, tampan, dan bijaksana, pujaan anak-anak. Entah mengapa aku jadi membenci Rachma, sekejam apa ia tega memperlakukan Steve seperti ini.
Aku tak tega melihatnya seperti ini, aku nekat memacu kudaku pelan tanpa tahu bagaimana mengendalikannyan. Steve tampak bingung tapi pasrah. Ia sempat membuka mulutnya, aku yakin ia ingin bertanya mau kemana kita. Tapi sepertinya ia mengerti aku tahu apa yang kulakukan, dan aku takkan menyakitinya seperti yang jalang itu lakukan.
Kubawa ia ke Les Deux Magots. Salah satu kafe tertua dan ternama disini. Aku Berharap adanya ilham yang turun untuk menenangkannya, berharap dengan menyruput kopi yang sama seperti yang diminum picasso akan membuat mendung di otaknya berubah menjadi pelangi indah yang penuh akan inspirasi. Dia anak yang cerdas, berbakat. Tapi dengan keadaan seperti ini pasti dia tak bisa melakukan apa-apa, dia seperti mau mati. Tak ada semangat sama sekali.
"Hey! Ayolah jangan seperti seekor kambing yang dibacakan ayat suci, kau belum berakhir! Ingat 7 hari lagi akan datang 4 hari terpenting untukmu, kau gagal, 3 tahunmu terbuang sia-sia untuk terjebak dalam gedung penuh persepsi itu. (Maksudku, ya sekolah memang menjadi sumur harapan bagi orang-orang yang percaya bahwa disanalah masa depan mereka disimpan, mungkin teman-temanku akan memasukkanku ke dalam golongan orang-orang itu, tapi yang aku rasakan sebenarnya sama dengan kebanyakan anak. Malas, ngantuk, serasa berada di neraka yang memiliki pendingin ruangan, aku yakin jika kamarku di dekorasikan seperti ruangan kelas ditambah poster foto guru tergalak disekolahku, aku akan terlelap sepanjang waktu ahaha)"
"Tapi aku tak bisa gunakan akal sehatku untuk mengerjakan 1 soalpun, semuanya terkunci jauh di dasar sana seakan ada yang menghalangiku untuk mengambilnya."
"Kau yang menguncinya! Bodoh!" bentakku. Aku tidak bermaksud menyakitinya.
"Kenapa aku? Aku hanya korban." Tanyanya tak terima.
"Rachma hanya memberimu gembok, itu keputusanmu untuk menggunakannya atau tidak. Terkunci atau tidaknya kau dalam keadaan seperti ini, kau yang menentukan. Bangun! Sadarlah!"
"Kau berkata seperti itu... karena kau tidak merasakannya..."
Semua sunyi setelah ia mengatakannya. Aku tau bukanlah keputusan yang baik jika aku berdebat kusir kembali dengannya. Ia sedang kacau.
"Barang apa yang paling berharga dan kau bawa saat ini?"
Ia berfikir sejenak dan mengambil sesuatu dari saku celananya.
"Ini. (sambil menunjukkan sebuah arloji tua) ini pemberian dari sahabat-sahabatku dulu di Indonesia."
Aku melepas jam tangan yang sedang kupakai. Aku membandingkan kedua jam itu. Mirip, pikirku. Tapi memang milik Steve lebih klasik dan terlihat mewah. Aku memasukkan jamku ke kantung celanaku.
Melihat tangannya yang lemas menggenggamnya, aku langsung merebut arloji itu dari tangannya dan berlari secepat mungkin, menaiki kudaku dan memacunya secepat mungkin walaupun aku tau aku tak bisa mengendalikannya. Steve benar-benar memiliki reflek yang lambat. Butuh beberapa detik hingga ia mulai mengejarku. Ditambah dengan larinya yang sama lambatnya dengan kura-kura, aku dua langkah lebih unggul darinya.
"Hey! Berhenti!"