Bulan purnama, cahayanya menerangi kapal Jung yang tengah berlayar. Tak terasa sudah delapan purnama mereka dalam perjalanan membelah laut Jawa menuju selat Malaka. Tujuan pelarian keraton Djipang adalah tanah Palembang yang berada di pulau sisi kiri sebelum Selat Malaka. Kapal Jung keraton Djipang bersiaga ketika memasuki muara Sungai Musi. Ya, sikap hati-hati itu mengingat di sekitar muara sungai Musi masih terdapat banyak perompak dari Hokkian.
Di masa Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming, para perompak tersebut telah ditumpas dan pemimpinnya ditangkap serta dihukum pancung. Setelah peristiwa tersebut, para perompak Hokkian tidak sepenuhnya musnah, tetapi mereka dalam kelompok-kelompok kecil tetap beroperasi merompak kapal pedagang dan menjarah muatannya.
Benar saja, dari kejauhan di saat dini hari itu nampak perahu kecil perlahan mendekati kapal Jung keraton Djipang. Dengan cekatan penumpang perahu itu melempar tambang dan bergelantungan berupaya naik ke atas kapal. Dalam waktu singkat ada dua orang perompak telah berdiri di geladak. Sayangnya kehadiran mereka tidak diketahui oleh penjaga. Dengan mengendap-endap mereka berhasil menyelinap masuk ke dalam.
Mereka berhasil melumpuhkan dua orang prajurit yang tengah berjaga di depan sebuah bilik mewah. Dengan hati-hati dua orang perompak bermata sipit itu masuk ke dalam bilik Raden Kuning. Saat itu Raden Kuning tengah terbaring tidur. Dengan mudah dua orang perompak berhasil menotok jalan darahnya dan membawa Raden Kuning menuju perahu kecil yang bersandar di dinding kapal Jung Djipang. Tanpa kesulitan, mereka berhasil menawan Raden Kuning. Sepertinya para perompak itu ingin menjadikan Raden Kuning sebagai sandera.
Ketika sandera sudah berada pada jarak aman, muncullah kapal perompak bertonase sedang berbendera beraksara kanji. Suara-suara mereka bergemuruh membelah keheningan malam yang gelap. Beberapa diantaranya ada yang melepas anak panah ke arah kapal Jung Djipang. Mendapat serangan mendadak dari para perompak, Punggawa Kedum yang berjaga di kemudi kapal segera memberikan peringatan. Dengan tangkas ia menyiapkan pasukan untuk berjaga-jaga jika ada musuh yang berhasil menyelundup.
"Seluruh prajurit segera bersiap, kita diserang." Perintahnya langsung ditindaklanjuti oleh seluruh prajurit Djipang.
Para perompak Hokkian itu salah memilih sasaran. Mereka tidak pernah berpikir jika kapal Jung yang diserangnya ini adalah kapal perang milik kerajaan Demak yang pernah malang melintang di Selat Malaka berperang melawan pasukan asing Portugis. Meskipun tidak disertai atribut perang, tetapi sejatinya kapal Jung keraton Djipang ini adalah kapal perang. Ada bedil yang diletakkan tersembunyi di geladak kapal. Punggawa Tuan kemudian bersiap mengisi mesiu ke dalam laras bedil. Ia dibantu oleh beberapa prajurit Djipang yang telah banyak asam garam berperang di lautan.
"Dar, dar, dar!" Suara bedil meletus mengarah ke kapal musuh. Melihat lawannya memiliki peralatan perang hebat, kapal perompak hokkian tersebut ciut dan segera berbalik arah melarikan diri. Dengan cepat kapal itu masuk ke sungai Musi dan menghilang di dalam pekatnya malam.
"Hentikan tembakan. Musuh sudah mundur." Punggawa Tuan memerintahkan prajuritnya untuk berhenti menembaki kapal musuh. Di saat itulah menyambar panah menyasar tubuhnya. Beruntung prajurit pilih tanding Djipang itu dengan sigap berhasil mengelak. Panah itu meleset dan melesat menancap di dinding kapal. Bergegas seorang prajurit Djipang melihat anak panah yang menancap itu. Ternyata setelah didekati, anak panah itu berisi pesan dalam bahasa Melayu.
"Serahkan tebusan satu peti emas, jika tidak kami akan membunuh sandera!"
Bagian 49
Raden Kuning baru tersadar jika dirinya tidak lagi berada di kapal Jung Djipang. Ruangan yang ditempatinya gelap, tanpa cahaya. Ia tak tahu saat itu siang atau malam. Meski matanya terbuka, tetapi semua nampak berwarna hitam. Setelah beberapa saat tersadar, ia mulai dapat melihat sekelilingnya. Ruangan sempit itu mirip dengan ruang tahanan. Raden Kuning mahfum jika kini dirinya menjadi tawanan. Meski kedua tangannya tidak terikat, tetapi kaki kanannya dalam keadaan dirantai sehingga ia tidak bisa berjalan.
"Apa gerangan yang terjadi terhadapku. Mengapa aku bisa berada di ruang tahanan ini?"
Pertanyaan itu akhirnya terjawab ketika ada suara kaki melangkah mendekat. Pintu dari kayu itu berbunyi mendecit pertanda didorong dari luar. Cahaya dari lampu teplok membuat tempatnya terbaring menjadi sedikit terang. Akibat kehadiran cahaya itu, Raden Kuning sempat menutup matanya karena silau.
Orang yang datang ini berperawakan sedang, dan berkulit putijh. Orang itu memiliki mata yang sipit dan berambutĀ lurus. Ia langsung mendekati tubuh Raden Kuning dan mengguyur tubuh yang masih tertidur itu dengan seember air. Ternyata ada dua orang yang datang saat itu.
"Hei, cepat bangun bocah. Sudah cukup lama engkau tak sadarkan diri. Kami khawatir belum sempat nyawamu ditukar emas, engkau sudah keburu mampus!" Pria berbadan ceking itu membentak Raden Kuning. Kakinya dijejakkan ke lantai kayu. Keduanya lalu terbahak.
Raden Kuning memperhatikan gerak langkah kedua orang yang baru datang itu. Mereka tak lebih dari orang-orang kasar yang tidak memiliki kepandaian. Jika saja ia mampu menggunakan tenaga dalamnya, akan mudah sekali dirinya memutuskan rantai dan menghajar mereka. Namun dengan kondisinya saat ini, Raden Kuning tak mau gegabah. Ia terpaksa menerima penghinaan dua orang kasar itu karena sadar kondisinya masih sangat lemah.
"Uh, kalian siapa dan mengapa mengurungku di tempat yang gelap ini?"
"Hahahaha.... Kami adalah malaikat maut yang akan mencabut nyawamu!" Kembali si pria ceking bicara. Gayanya dibuat-buat seolah-olah mereka adalah hantu yang menakutkan.
"Jangan kalian mempermainkan aku. Ketahuilah jika aku ini mengidap penyakit menular. Jangan sampai kalian menyentuh tubuhku." Raden Kuning menakuti mereka. Dalam taksirannya, kedua orang ini pastilah pekerja kasar di tempat itu. Benar saja setelah mendengar tawanan itu mengaku memiliki penyakit menular, keduanya sontak kaget dan mundur dua langkah.
"Penyakit menular apa yang engkau derita. Jika perkataanmu memang benar, awas kau jangan dekat-dekat dengan kami." Pria mata sipit berkepala plontos buka bicara.
Saat itu giliran Raden Kuning yang terbahak. Benar saja perkiraannya. Dua orang yang membangunkannya secara paksa itu tak lagi berani mendekat kearahnya. Dari jarak cukup jauh mereka akhirnya buka suara.
"Engkau kini jadi sandera. Kami adalah penguasa di sungai Musi ini. Semua kapal yang lewat, harus membayar upeti. Kapal kalian tidak mau bayar upeti, kami malah kalian tembaki. Engkau kami culik untuk ditukar dengan uang tebusan. " Kepala plontos itu menghardik Raden Kuning.
"Hihihihi.... Bilang dengan pimpinanmu, tak mungkin junjungan kami mau menukar aku yang penyakitan ini dengan upeti. Ah, kalian hanya membuang-buang tenaga saja menculikku. Pasti tidak akan ada yang perduli dengan diriku yang tinggal menunggu kematian ini." Raden Kuning tertawa terkekeh-kekeh. Ia juga tak mengerti mengapa di saat ini hatinya senang sekali mempermainkan dua perompak tolol ini.
"Janganlah engkau main-main dengan kami berdua, bocah kurang waras. Sekali lagi engkau mentertawakan kami, maka jangan salahkan kami sepasang perompak sadis penguasa sungai Musi ini memenggal kepalamu. Eh, tetapi apakah engkau ini waras?" Kepala plontos bertanya seraya wajahnya menatap kawannya yang masih memegang lampu teplok.
"Aku juga khawatir tahanan ini kurang waras. Bagaimana mungkin dia yang sekarang menjadi tahanan kita tetapi ia masih tertawa-tawa kegirangan. Gila pemuda penyakitan ini!" Si ceking menjawab sendiri pertanyaan kawannya.
"Aku sesungguhnya tidak gila, tetapi wue....dan. Cepat lapor kepada pimpinanmu, segera mereka menghadap aku disini. Jangan lupa bawakan aku makanan enak!" Kali ini suara Raden Kuning mentereng. Lagaknya seperti seorang raja yang memerintah bawahannya. Belum sempat keduanya bereaksi, Raden Kuning kembali terbahak-bahak. Kedua orang itu akhirnya tak tahan dengan kelakuan Raden Kuning. Mereka kemudian pergi dari ruang sempit itu dan kembali menutup pintunya rapat-rapat.
Dalam kegelapan, timbul ide dari Raden Kuning. Bagaimana jika ia berpura-pura mati. Pasti mereka akan membawanya ke luar ruangan. Sebelum kedua orang bermata sipit itu pergi jauh, Raden Kuning berteriak kencang.
"Hei pria sipit, tolong aku. Nafasku sesak. Sepertinya aku akan segera mati!" Raden Kuning kemudian menutup tujuh titik jalan darahnya. Ia lupa jika tenaga inti bumi yang menjadi dasar untuk membuatnya mati suri tidak lagi dimilikinya. Ketika tenaga liar bersifat dingin itu yang bereaksi menutup tujuh aliran darahnya, dirinya benar-benar kolaps. Nafasnya menjadi sesak, dan jantungnya seolah berhenti berdetak.
Kedua orang anak buah perompak tadi segera membuka kembali pintu ruang tahanan. Mereka terkejut melihat Raden Kuning yang semula sehat saat itu dalam keadaan kritis dan susah bernafas. Tak mau kesalahan, mereka segera membuka rantai pengikat kaki dan menggotong tubuh prajurit keraton Djipang itu ke ruang atas. Sekujur tubuh Raden Kuning sontak menjadi dingin seperti es. Bibirnya membiru, tanda ia kekurangan oksigen.
Dengan tergesa-gesa, anggota perompak itu membawa tubuh yang telah berubah kaku itu ke atas geladak. Rupanya mereka masih berada di atas kapal perompak. Melihat sandera mereka kepayahan, anggota perompak yang lain segera melapor kepada pemimpin mereka. Orang yang menjadi pemimpin perompak di sungai Musi itu bernama Litantong. Perawakannya sedang, di atas bibirnya ada kumis tipis yang dibiarkan panjang tak beraturan. Pria yang juga bermata sipit itu kira-kira berusia setengah abad. Yang menonjol dari dirinya adalah tubuhnya yang ramping dan kekar. Sorot mata orang itu juga mentereng, pertanda ia memiliki tenaga dalam yang besar.
"Hei, mengapa dengan sandera kita. Cepat letakkan ia di geladak, aku akan periksa nadinya!" Litantong segera menghampiri tempat di mana Raden Kuning diletakkan. Pemimpin perompak itu kaget karena tubuh tahanannya itu dingin seperti es. Keningnya terlihat berkerut karena nadi Raden Kuning tidak lagi berdenyut.
"Eh, apa yang kalian lakukan. Kenapa orang ini bisa seperti ini dan kenapa pula badannya basah kuyup. Siapa yang membuatnya seperti ini!" Suaranya terdengar marah.
"Saya Achen dan Cuncun yang membawanya ke atas. Tadi kami hanya membangunkan pria ini dengan menyiram air ke tubuhnya. Tadinya orang ini sehat dan bahkan tertawa-tawa seperti orang kurang waras. Tetapi saat kami akan meninggalkannya, ia berteriak minta tolong. Mungkin orang ini kesambet hantu penunggu sungai!" Kepala plontos bicara, sedangkan si mata sipit yang ternyata bernama Cuncun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Plak!" Kedua anak buah perompak itu mundur satu langkah. Litantong yang murka baru saja menampar pipi mereka.
Pemimpin perompak itu kemudian menaruh jari telunjukknya di kedua lubang hidung Raden Kuning. Kendati tidak lagi ada hembusan nafas di sana, tetapi orang yang telah malang melintang merompak kapal itu juga memiliki kepandaian yang tinggi. Ia masih tak percaya jika Raden Kuning benar-benar telah meninggal dunia. Litantong segera mengambil kuda-kuda, sepertinya ia akan memberi pukulan maut ke tubuh Raden Kuning. Di dalam benaknya, hanya satu yang terpikirkan. Jika telah benar-benar mati, pastinya Raden Kuning menerima saja pukulan darinya. Tetapi jika sebaliknya, maka Raden Kuning pasti akan menangkis pukulannya.
"Buk!" Pukulan disertai pengerahan tenaga dalam itu singgah ke tubuh Raden Kuning. Setelah menerima pukulan yang juga bersifat dingin, tubuhnya memberikan respon. Jika sebelumnya tubuh Raden Kuning terbujur kaku, tetapi setelah menerima tenaga pukulan Litantong tubuh Raden Kuning merespon. Raden Kuning yang sebelumnya mati suri lantas membuka matanya dan segera melompat berdiri. Matanya menyorot tajam ke arah para perompak, lalu ia terkekeh.
"Whahahahaha.... Ternyata kalian ini tikus-tikus liar!" Sorot matanya ganjil. Tingkahnya pun seperti orang kurang waras.
(Bersambung)
Yang mau double up, minimal 10 komen, lanjutan langsung di update š