"Tak usahlah Kang Mas mengikuti tantangan Sutawijaya itu. Dia hanya diperalat oleh Jaka Tingkir," selanya sembari meletakkan surat tantangan dari kertas kayu itu ke meja batu di hadapan Penangsang.
Dirapatkannya kedua belah tangan dan ditundukkan kepalanya sebagai tanda penghormatan. Arya Mataram kemudian bersimpuh di bawah tahta kakaknya.
"Jika aku tak memenuhi tantangannya, maka wibawa keraton Djipang ini menjadi taruhannya. Empat utusan yang aku kirim ke Hadiwijaya bahkan mendapat penghinaan. Keris Kyai Kober milik ayahanda guru Sunan Kudus bahkan disitanya. Aku harus menyelesaikan urusan ini segera," jawab lelaki gagah yang masih duduk di kursi kebesarannya itu.
Perlahan diangkatnya bahu adiknya yang masih bersimpuh. Dipeluknya lelaki yang selama ini menjadi adik, sahabat dan penasehatnya itu.
"Jika terjadi sesuatu terhadapku, aku minta engkau menyelamatkan diri. Garis keturunan Raden Sekar Seda Ing Lepen ini harus engkau teruskan. Aku perintahkan engkau dan keluargamu segera pergi dari sini sekarang juga. Naiklah kapal keraton Djipang, telusuri wilayah leluhur kita di Palembang. Aku mengandalkanmu!"
Dialog itu masih terngiang di telinga Arya Mataram yang kini terpisahkan jarak dan waktu dari keraton yang pernah menempanya dengan segala ilmu pengetahuan dan ilmu agama itu. Tak terasa air mata berlinang di pelupuk matanya yang tajam itu. Ketika telik sandi yang ditugaskannya mencari informasi tentang keluarga Penangsang pulang membawa kabar duka itu menghilang dari pandangannya, air matanya makin deras membasahi pipinya.
Arya Mataram lalu memanggil istrinya Mimi Aisyah. Langkah kakinya putri keturunan Tionghoa itu terasa ketika kakinya yang putih lentik tersebut menaiki tangga rumah kayu di kala sore saat sinar matahari terpantul dari air sungai Ogan yang jernih.
Khabar duka ini harus kusampaikan kepada istriku dan kerabat di Lubuk Rukam, begitu batinnya.
"Kang Mas Penangsang jadi korban ambisi Joko Tingkir. Keris Kyai Kober telah jadi keris setan haus darah setelah dimantrai musuh. Bagaimana keluarga Kang Mas Penangsang, adakah telik sandi yang Kakang kirim telah kembali dari tanah Jawa?" tanya Mimi sambil bercucuran air mata.
"Tak tahulah ada yang selamat atau tidak. Anak Kakang Penangsang tercerai berai. Istrinya ikut terbunuh karena tidak mau tunduk dengan Pajang. Kerabat kita ada yang mengungsi ke Ampel Delta, Purabaya dan Lasem. Begitu laporan telik sandi yang baru pulang dari tanah Jawa, Mi!"
Percakapan keduanya itu tanpa disadari mereka menjadi titik tolak hapusnya sejarah kebesaran Kerajaan Demak di Djipang. Di tanah pelariannya ini, Arya Mataram telah berubah nama menjadi Arya Belanga, prajurit yang berasal dari Demak, Pulau Jawa. Masyarakat setempat tidak tahu jika rombongan yang mengaku dari Demak itu adalah keturunan Raja-raja Majapahit.
Di tempat barunya di Lubuk Rukam Arya Mataram menjadi penyiar Islam. Putra dan beberapa pengikut setianya beberapa punggawa Keraton Djipang kini tinggal dan menetap di Desa Lubuk Rukam, OKU, Sumatera Selatan, sebuah wilayah perdikan pemberian kerabatnya keturunan Sultan Arya Damar yang memimpin kesultanan Palembang. Arya Mataram tinggal di sebuah rumah kayu di dekat aliran sungai Ogan yang mengingatkan ia akan Sungai Bengawan Sore.
(Bersambung)