Setelah lamaran itu, aku dan Mas Aris memutuskan untuk menemui keluarga kami masing-masing untuk membicarakannya. Karena kebetulan saat itu sedang libur panjang sehabis ujian, jadi kami pulang ke Indonesia untuk menghabiskan masa liburan kami, sekaligus melepas rindu dengan keluarga kami disana.
Setibanya dirumah, aku tidak sabar untuk segera memberitahukan Papa mengenai Mas Aris dan lamarannya. Namun, dirumah.. aku melihat banyak orang sedang berkumpul. Aku mengenal mereka semua. Ya, mereka adalah para karyawan diperusahaan papa. Lalu, diruang tamu, aku melihat Bi Ijah sedang melayani mereka dengan kue dan beberapa minuman. Aku langsung mendekatinya sembari bertanya, sedang ada acara apa dan kenapa banyak orang kantor yang datang. Bi Ijah menjelaskan kalau papa sedang sakit, jantungnya kumat beberapa hari yang lalu kemudian para karyawan datang untuk menjenguknya. Mendengar hal itu, aku kemudian lari bergegas menuju kamar papa. Papa terharu melihatku kemudian tersenyum. Papa terlihat sangat senang dengan kedatanganku, dan aku pun kemudian memeluk papa dengan erat sambil menangis. Dengan kondisi papa saat itu, aku mengurungkan niat untuk membicarakan lamaran dari Mas Aris.
Beberapa hari telah berlalu dan kondisi kesehatan Papa juga sudah mulai membaik, namun, disaat aku baru ingin menceritakannya, Papa tiba-tiba mengatakan sesuatu padaku. Papa mengatakan perusahaan sedang mengalami goncangan. Ada salah seorang karyawan, tangan kanan Papa, Pak Zuriawan yang menggelapkan dana perusahaan. Perusahaan benar-benar dalam kondisi kritis sehingga jika Papa tidak menemukan investor baru maka perusahaan kami terancam bangkrut. Papa sangat berharap agar aku bisa membantunya mengatasi krisis diperusahaan dan aku pun mengiyakannya tanpa berpikir panjang, tanpa tau kalau aku termasuk salah satu strategi Papa untuk mendapatkan investor tersebut.
Hari itu malam sabtu, sepulang Papa dari kantor, Papa mengajakku untuk makan malam bersama di sebuah restoran keluarga tidak jauh dari kantor. Papa bilang, agar aku memakai baju yang rapi dan juga berdandan cantik karena nanti akan bertemu dengan salah satu calon investor. Awalnya aku tidak menaruh curiga sama sekali, sampai ketika aku melihat dimeja Papa, ada duduk beberapa orang yang terlihat seperti satu keluarga yakni ayah, ibu, dan seorang laki-laki muda yang kemungkinan adalah anaknya, kemudian aku pun mulai tersadar. Aku baru paham maksud papa yang mengatakan bahwa aku bisa membantu masalah krisis diperusahaan. Dan aku yakin bahwa ini merupakan acara perjodohanku dengan orang tersebut. Saat itu, aku mulai merasa enggan untuk duduk dimeja itu.
Seperti yang ku kira, Papa memang berniat menjodohkan kami. Keluarga mereka terlihat antusias dan senang sekali saat melihatku. Mereka mengatakan bahwa aku gadis cantik, berpendidikan, serta dari keluarga terpandang, sangat cocok untuk dijadikan mantu mereka. Jika perjodohan ini berjalan mulus sampai nanti pernikahan, mereka tidak hanya memberikan dana investasi ke perusahaan kami tetapi juga akan melakukan marger dengan perusahaan kami, dengan tetap menjadikan Papa sebagai direktur utamanya yang mengontrol seluruh operasional perusahaan. Tentu saja, Papa semakin antusias untuk menjodohkan kami. Namun, disisi lain, saat itu, aku.. aku hanya memikirkan Mas Aris. Ingin sekali rasanya aku pergi meninggalkan meja itu lalu menangis sejadi-jadinya ditoilet, tapi sebisa mungkin aku tahan karena aku tidak ingin mengecewakan papa.
Selesai makan malam, setibanya kami dirumah, aku kemudian menceritakan semuanya kepada papa. Mulai dari hubunganku dengan Mas Aris yang telah berjalan 2 tahun, serta lamaran Mas Aris yang telah aku terima. Mendengar hal tersebut Papa marah, Papa tidak setuju, terlebih Mas Aris hanya dipandang Papa sebagai seorang mahasiswa biasa yang belum matang, belum mapan, dan belum pantas untuk dijadikan sebagai calon suami bagiku dan menantunya. Papa bahkan sempat berkata jika aku menikah dengan Mas Aris, Papa tidak akan memberikan restu dan tentu saja Papa mempersilahkan aku untuk keluar dari rumah jika aku tetap bersih keras memilihnya.
Hatiku sakit.. kecewa mendengar penolakan papa terhadap Mas Aris. Ingin rasanya saat itu juga aku lari keluar dari rumah, tapi mengingat kesahatan papa yang baru pulih, aku mengurungkan niatku itu. Aku tidak sanggup membayangkan jika nanti penyakit jantung papa kumat lagi karna ulahku. Aku bingung apa yang harus ku lakukan. Disatu sisi aku ingin menikah dengan Mas Aris tetapi disisi lain aku tidak ingin melihat Papa jatuh sakit karena kondisi perusahaan yang bangkrut, jika aku menolak menikahi anak calon investor itu. Haruskah kujelaskan semua masalah ini kepada Mas Aris. Bagaimana cara penyelesaian masalahnya agar semua orang tidak merasa kecewa dan sakit hati. Sambil memikirkan hal tersebut, aku pun tanpa sadar tertidur dengan air mata jatuh membasahi kedua pipiku.