Chereads / Albert The Justice / Chapter 2 - Line 1 (Bagian 2) : Penyusup

Chapter 2 - Line 1 (Bagian 2) : Penyusup

"Ada apa dengan luka ini?!"

"Hanya kecelakaan dari penyelidikanku semalam,"

Albert mengatakannya dengan ringan, walaupun tubuhnya jelas tidak sependapat dengan sikap pemuda itu. Luka itu memang tidak begitu dalam, tetapi tetap saja sebuah luka yang tidak dapat dianggap remeh.

Albert sudah kehilangan cukup banyak darah, bahkan walaupun sebelumnya ia sudah berusaha menghentikan pendarahannya, tetap saja masih ada sedikit darah yang keluar dari luka di pinggang kanannya.

Shawn menatap Albert dengan panik dan segera membantu pemuda itu naik ke atas ranjang. Lily pun juga tidak tega melihat buruknya luka yang di derita pemuda yang telah menolong dirinya itu dan ia menawarkan bantuannya kepada Shawn. Tetapi sebelum Shawn menjawab tawaran Lily, Albert mengambil alih pembicaraan.

"Tidak usah ikut campur, Shawn bisa melakukannya seorang diri. Lebih baik kau membawa anak itu pergi. Dia tidak boleh melihat hal mengerikan seperti ini," ucap Albert yang telah berbaring di atas ranjang pemeriksaan.

"Baiklah Tuan," Jawab Lily dengan mimik khawatir yang terlihat jelas di wajah cantiknya yang mulai keriput. Ia pun pergi dari ruangan itu bersama Rechelle yang masih menutup kedua matanya.

Setelah Lily dan Rechelle meninggalkan ruangan itu, Shawn mulai memeriksa keadaan Albert. Dibukanya perban putih dengan bercak darah yang melilit pinggang pemuda itu. Luka tikaman yang tidak begitu dalam terlihat di pinggang putih milik Albert. Dengan segera Shawn mengambil sebuah jarum suntik yang sudah berisi cairan morfin dan bersiap untuk menyuntikkannya kepada Albert. Tetapi, sebelum jarum suntik itu tertanam di pinggangnya, Albert segera menghentikan Shawn.

"Ti-tidak, jangan beri aku morfin!" Seru Albert, sembari tangan kanannya menahan tangan Shawn, "aku yakin, ada yang lebih membutuhkannya. Lagipula, aku tahu klinik ini hanya punya sedikit morfin,"

"Tapi, bagaimana aku bisa menjahit lukamu Tuan Muda? Kalau tidak memakainya, kau akan merasa kesakitan," ucap Shawn dengan khawatir. Ia meraih tangan Albert dan berusaha melepaskan tangan pemuda itu dari tangan kanannya. Tetapi, pemuda berambut pirang itu tetap mencengkram tangan Shawn dengan erat.

"Tuan Muda, lepaskan tanganku,"

Albert mendengus kesal, lalu ia memalingkan wajahnya dari dokter pribadinya, "Tidak akan! Jika kau masih terus memaksaku, jangan berharap aku akan melepaskan tanganmu! Jadi, kau masih berniat menjahit lukaku atau tidak?" ucapnya sembari menggantung sebuah seringai.

Shawn terdiam. Ia menatap luka di pinggang Albert, lalu sepasang mata hazel-nya menatap sepasang mata biru milik Albert yang terlihat enggan menatapnya. "Huh...," Shawn menghela nafas dengan kasar, lalu ia menarik tangan kanannya yang tengah membawa jarum suntik, dan kembali meletakkannya di meja.

"Baiklah, aku tidak akan menggunakan morfin. Tapi gunakan ini Tuan Muda!" Shawn memberikan sebuah sapu tangan kepada Albert. "Gunakan untuk menyumpal mulutmu, Tuan Muda! Kau tidak ingin mereka mendengar teriakan mengerikanmu'kan?"

Albert mengambil sapu tangan tadi dan langsung memasukkannya ke dalam mulut, kemudian menggigitnya dengan kuat. Setelah itu, Shawn mengambil peralatan medisnya dan mulai menjahit luka Albert. Saat jahitan pertama hingga jahitan kedua, pemuda berambut pirang itu dapat menahan rasa sakit yang menusuk di pinggangnya. Tetapi, begitu sampai ke jahitan ketiga, erangan kecil mulai terdengar dari mulutnya. Keringat dingin pun keluar dari pori-pori kulitnya. Sedangkan air mata pemuda itu masih tertahan di balik kelopak matanya.

Shawn sempat menawarkan Albert untuk menggunakan morfin tadi sebagai obat pereda rasa sakit. Tetapi ia tetap saja keras kepala dan menyuruh Shawn untuk melanjutkan pekerjaannya.

Setelah beberapa menit, akhirnya Shawn selesai menjahit luka di pinggang Albert dengan lima buah jahitan. Albert pun bisa bernafas lega karena tidak perlu merasakan tusukan-tusukan menyakitkan itu lagi. Dengan perlahan pemuda itu duduk, lalu ia mengambil sapu tangan tadi dari mulutnya. "Ya Tuhan, tadi itu sungguh mengerikan...." ucap Albert, sembari menyeka keringat di dahinya.

"Kalau kau kesakitan sampai seperti itu kenapa masih menolak memakainya, Tuan Muda?" tanya Shawn yang tengah membereskan peralatannya.

"Alasanku masih sama. Aku hanya berpikir, masih banyak orang yang lebih membutuhkannya,"

Begitu selesai membereskan peralatannya, Shawn mengambil pakaian Albert, dan membantu pemuda itu untuk mengenakannya. Dengan perlahan Shawn membantu Albert memakai kemeja putihnya, lalu mengancingkannya. Kemudian disusul dengan dasi biru laut, dan jas hitamnya.

"Sudah selesai."

"Terima kasih. Sekarang kita bisa membiarkan Lily dan anaknya masuk," Albert turun dari ranjangnya dan berniat untuk mempersilakan Lily dan Rechelle masuk. Tetapi, sesaat sebelum ia melangkahkan kaki menuju pintu, Shawn menghentikannya.

"Tunggu Tuan Muda," Shawn berdiri di hadapan Albert dan menatap menyelidik kepadanya, "Sebelumnya aku lupa untuk menanyakannya, tapi...," Shawn memberikan sedikit jeda pada perkataannya, lalu ia melanjutkan, "Bagaimana kau mendapatkan luka itu Tuan Muda?"

Albert memegang kepalanya yang terasa pening, "Huh... kau itu, kepalaku masih terasa sakit, dan kau memintaku untuk berdongeng?"

"Tenang saja, itu karena tekanan darahmu turun setelah kehilangan darah. Jika kau mau, aku bisa melakukan tranfusi Tuan Muda. Sayangnya, itu tidak mungkin, kau tahu'kan, Tuan Muda?"

"Baiklah, kau benar," Albert berjalan menuju sofa tua yang berada di pojok ruangan itu dan duduk di atasnya, lalu ia melanjutkan, "Kalau kau memang penasaran, duduklah," pemuda itu menepuk bagian sofa yang kosong, "Aku akan menceritakan semuanya kepadamu, Shawn...."

***

Malam hari, London, 27 Maret 1816.

Saat itu, London merupakan kota yang sangat berbahaya di waktu malam. Hampir semua jenis kriminal dapat ditemukan di kota ini. Bahkan, Jack The Ripper belum juga tertangkap. Seharusnya di dalam kondisi seperti itu, semua orang memilih untuk menghindari pekerjaan di malam hari. Tetapi tidak dengan sebuah toko herbal yang berada cukup jauh dari kebisingan kota London.

Nama toko herbal itu adalah, Xio Lee. Nama toko itu diambil dari nama pemiliknya yang merupakan seorang pria berdarah Cina, yang menetap di London. Toko herbal itu bukanlah toko herbal biasa, melainkan sebuah toko ilegal, yang berbisnis dalam pasar gelap.

Seharusnya, Scotland Yard dapat mengendus aktifitas ilegal Xio Lee dengan mudah. Sayangnya, karena kurangnya bukti Scotland Yard harus lepas tangan dari mereka.

"Ha-ha-ha! Para Scotland Yard bodoh itu tentu saja tidak akan bisa membuka kedok kita!" gelak seorang pria berbadan kekar yang tengah mengangkat sebuah tong besar berisi gingseng.

Pria berambut hitam yang tengah membantunya membawa sekarung alang-alang menyeringai, lalu menjawab, "Ya, itu karena toko herbal Xio Lee yang satunya,'kan?"

"Benar sekali, Alrence! Benar-benar hebat,'kan?"

Pemuda yang dipanggil sebagai Alrence itu kembali menyeringai. Kemudian ia meninggalkan pria bertubuh kekar itu dan masuk ke dalam toko. Pemuda itu—Alrence—meletakkan sekarung alang-lang itu ke dalam sebuah ruangan yang difungsikan sebagai gudang penyimpanan. Lalu, diam-diam ia pergi menuju lantai dua toko itu, tempat sang pemilik toko, dan istrinya tinggal.

Saat itu, toko cukup sepi karena Xio Lee tengah melakukan perjalanan ke luar kota. Jadi, tidak ada satupun orang di lantai dua saat itu. Dengan perlahan, Alrence berjalan memasuki sebuah ruangan membaca yang cukup besar, dengan ornamen merah menyala disegala penjurunya. Ia melihat kesekeliling. Di sana tidak ada siapapun. Lalu pemuda itu menyeringai senang dan mulai memeriksa sebuah rak besar berornamen naga yang ada di pojok kanan ruangan itu. Ia mengambil beberapa buku dan membukanya dengan tergesa-gesa. "Di mana dia meletakkannya?"

"Apa yang kau lakukan, anak muda?" tiba-tiba saja, terdengar suara wanita yang sangat lembut dari arah pintu ruangan itu. Alrence pun menolehkan kepalanya dan ia menemukan seorang wanita berpakaian khas Cina, tengah menatapnya dengan sebuah senyuman yang melengkung cantik di bibir merahnya.

"Apa yang kau lakukan di ruangan Xio?" wanita itu kembali bertanya.

Alrence mengerjapkan mata birunya beberapa kali, lalu ia meletakkan buku yang ia bawa, dan menjawab, "Maaf Nyonya, aku hanya sedang membereskan buku-buku milik Tuan Lee,"

"Hmmm...," wanita tadi berjalan mendekati Alrence, sepatu berhak tingginya mengeluarkan suara ketukan nyaring seiring langkahnya. Lalu ia menyentuh dagu pemuda itu dengan seduktif begitu berada di hadapan pemuda yang tengah terduduk itu, "Kau... pembohong yang buruk. Kau tahu... yang boleh masuk ke ruangan ini, hanyalah aku, dan Xio saja," wanita itu tersenyum, dan melingkarkan tangannya di tubuh ramping Alrence, lalu sepasang mata hitam wanita itu menatap tajam pada buku-buku yang berserakan di hadapan pemuda itu. "Hmmm... kalau kau mau menjadi milikku, aku akan membantumu menemukan benda yang kau butuhkan...."

"Tapi, apa untungnya untukmu?" Alrence bertanya sembari sepasang mata birunya menatap dalam sepasang iris hitam wanita itu.

"Kasih sayang," tangan kanan wanita itu berpindah dari dagu Alrence menuju pundak pemuda itu, "Kau tahu, walaupun Xio sangat kaya raya, tapi dia tidak memberikan kasih sayang apa pun kepadaku. Huh... dia selalu saja sibuk dengan bisnis obat-obatan bodohnya!" suara wanita itu meninggi, wajah cantiknya pun terlihat geram. Terlihat jelas jika wanita itu cukup membenci suaminya.

"Hmmm... baiklah, aku akan melakukannya jika aku bisa mendapatkan apa yang aku mau."

Jawaban Alrence membuat wanita itu senang. Seketika, sebuah senyuman manis terukir di bibir merahnya. Lalu, wanita itu melepaskan kedua tangannya dari Alrence, dan ia memerkenalkan dirinya kepada pemuda itu. "Benar juga, kau belum tahu siapa namaku," dengan sopan, wanita berdarah Cina itu membungkukkan badannya, dam melanjutkan, "Namaku Juan Lee. Siapa namamu, anak muda?"

Alrence memajang senyum menawannya dan membungkuk dengan sopan, layaknya seorang pria berada. "Namaku Alrence, aku hanya kuli di sini. Walaupun begitu, kuharap kau puas denganku," pemuda itu kembali berdiri dengan tegak, lalu ia menatap sekeliling ruangan itu sembari berkata, "Jadi, untuk permintaanku, aku ingin kau membantuku mencari sebuah berkas. Berkas itu berisi bukti pemasukan uang dari kerajaan, dan juga pembelanjaan uang itu. Bagaimana? Kau tahu sesuatu, Nyonya Juan?"

"Hmmm... bukti pemasukan ya? Aku rasa aku tahu sesuatu," Juan meraih tangan kanan Alrence dan menggiringnya menuju sebuah meja membaca yang ada di pojok kiri ruangan itu. "Di laci meja ini... Xio meletakkan berkas tebal yang aneh. Dia tidak pernah membiarkanku melihat isinya. Padahal, selama ini dia selalu meminta saranku tentang pekerjaannya," ucap Juan, sembari meraih gagang laci itu dan menariknya dengan perlahan. Tetapi, begitu laci itu terbuka, tidak ada apa pun di sana.

Sontak, Juan menjadi pucat, dan kebingungan. "Ke-kenapa?! Aku yakin ada di sini! Sungguh!" serunya sembari menatap laci kosong itu tidak percaya.

"Tenang, Nyonya. Jika kau terlalu keras...,"

"Tuk...!"

Tiba-tiba saja liontin kalung milik Juan terjatuh ke dalam laci itu dan menimbulkan bunyi yang nyaring. Kedua mata biru Alrence mengerjap karena kaget. Tetapi, lebih dari itu, sebenarnya ia telah menyadari keganjilan yang ada pada laci itu.

Alrence menyeringai senang, lalu meraih liontin milik juan, dan menyerahkannya kepada wanita dua puluh tahunan itu, "Ini, jangan sampai jatuh lagi...."

"Terima kasih," ucap Juan dengan wajah yang memerah.

"Tidak masalah,"

Setelah memberikan liontin itu kepada Juan, Alrence kembali pada laci tadi. Ia mengetuk bagian dalam laci itu beberapa kali, dan seperti dugaannya, terdengar suara nyaring.

"Kalau begitu...,"

Alrence memasukkan tangan kanannya ke dalam laci itu dan berusaha menggeser bagian dalamnya. Tetapi, ternyata menggeser bagian dalam laci itu tidak semudah dugaannya. Beberapa saat kemudian, akhirnya ia dapat menggeser bagian dalam laci itu. Dan ternyata, di dalamnya terdapat sebuah ruangan yang berisi berkas yang Juan maksud.

Juan terbelalak kaget begitu melihat isi dari laci itu. Ternyata ia benar, Xio memang menyembunyikan berkas itu di dalam laci.

"Bagaimana bisa...,"

"Juan, urusanku sudah selesai denganmu." Alrence mengambil berkas tebal itu dari dalam laci dan melangkah menjauh dari Juan. Tetapi, sebelum Alrence benar-benar pergi, Juan meraih tangan kiri pemuda itu untuk menghentikannya.

"Tunggu! Apa maksudmu dengan selesai?! Bagaimana denganku?" marah Juan.

Alrence melempar tatapan tajam pada wanita itu, "Denganmu? Jujur saja... aku tidak peduli. Lagipula bagaimana bisa aku bersama kupu-kupu malam sepertimu?" lalu ia menggantung sebuah seringai yang terlihat sinis, "Melihatmu saja rasanya sudah jijik,"

"Kupu-kupu malam? Jijik...? A-apa maksud...,"

"Kau kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan, Juan?" potong Alrence sembari melepaskan tangan wanita itu dari pergelangan tangannya, "Kau adalah pendiri rumah pelacur di kota London, benar'kan, Juan Lee?"

"Kau... apa apaan kau? Scotland Yard?" ucap Juan yang gemetaran dan hampir tidak dapat menopang tubuhnya.

Alrence membalikkan tubuhnya, "Kau akan segera tahu," kemudian ia melangkahkan kaki, menjauh dari wanita yang telah kehabisan tenaga itu, dan keluar dari ruangan itu.

Tetapi, begitu Alrence keluar dari ruangan itu, ternyata lima orang asia bertubuh kekar telah menunggunya.

"Hei, bocah! Menyerahlah jika kau tidak ingin terluka!" ancam pria bertubuh kekar dengan tato naga di tangan kirinya.

Alrence menatap mereka dengan dingin, kemudian tanpa berkata apa pu, Alrence mengeluarkan sebuah tendangan yang cukup kuat, sehingga pria bertato naga di hadapannya kehilangan keseimbangan. Pemuda berambut hitam itu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, dan berlari menerjang keempat pria lainnya yang tengah lengah. Tetapi, tidak semudah yang ia bayangkan, dengan cepat pria asia yang lainnya mengejar dirinya.

"Berhenti! Berhenti kau!" teriak seorang pria, sembari mengacungkan sebuah pisau berukuran sedang ke arah Alrence.

"Benar-benar menyusahkan!" dengan sekuat tenaga, Alrence berlari menuju lantai satu. Saat ia menuruni tangga, kedua mata birunya mencari keberadaan pintu gudang yang sebelumnya ia masuki. Seperti yang ia ingat, gudang memang dekat dengan tangga. Ia benar-benar beruntung.

Dengan segera Alrence berlari memasuki gudang, tetapi ia masuk kedalamnya bukan dengan maksud untuk bersembunyi.

"Jika begini terus, pada akhirnya aku akan tertangkap," ucapnya sembari kedua tangannya sibuk menggeledah karung-karung berisi tanaman herbal. "Huh! Mana alang-alang tadi?!"

"Drap... drap... drap...."

Suara langkah kaki para pria tadi semakin dekat. Alrenc sudah tidak punya banyak waktu lagi. Ia menelan ludah dengan kasar, begitu kedua mata birunya melihat keempat pria bertubuh kekar tadi sudah berada di ambang pintu. Mereka menyeringai dengan mengerikan kepada Alrence yang mematung di dekat tumpukan karung herbal.

Salah satu dari pria itu melangkah mendekati Alrence, "Ternyata kau penyusup yang bodoh ya? Bagaimana seekor tikus bisa masuk ke sarang para kucing seperti ini? Ha-ha-ha!" pria itu mengeluarkan sebuah pisau dari balik pakaian lusuh miliknya. Lalu ia mengarahkannya kepada Alrence, "Serahkan berkas yang kau ambil! Jika tidak, benda ini akan membelahmu jadi dua!" ancamnya dengan seringai mengerikan yang menghiasi wajah buruk rupanya.

"Huh!" Alrence mendengus kesal, dan menatap pria di hadapannya dengan tatapan tajam, "Kau kira, benda kecil itu bisa membelahku menjadi dua?" ucapnya, kemudian ia menyunggingkan sebuah seringai, "Kuberi kau sepuluh detik. Jika kau bisa melukaiku dalam waktu sepuluh detik, akan kuberikan berkas ini padamu, bagaimana?"

"Apa hakmu membuat permainan seperti itu?!"

Alrence membuat pose berpikir yang dibuat-buat, "Tidak ada. Tapi, manusia harus melakukan apa pun untuk menyelamatkan dirinya. Baik dari manusia lain, maupun dunia ini. Benar,'kan?"

"Apa maksudmu dengan menyelamatkan diri? Kami berempat dan ka- ...,"

"Berempat? Aku hanya menawarkannya padamu, mengerti?"

Pria itu berdecak kesal. Lalu dengan enggan ia menyetujui permainan yang dibuat Alrence. Saat ini, mereka sudah berdiri di tengah-tengah ruangan itu. sedangkan ketiga pria lainnya menonton di pinggir ruangan.

Pria bertubuh kekar itu sudah menyiapkan pisaunya. Alrence pun juga telah bersiap siap menghindari serangan yang akan datang padanya. Lalu, tiba-tiba saja pria itu mulai menyerang. Ia mencoba untuk menikam pemuda di hadapannya dengan pisaunya yang tajam. Tetapi, pemuda itu—Alrence—dapat menghindar dengan mudah. Pria itu mencobanya sekali lagi dan kali ini ia mencoba bergerak lebih cepat. Tetapi tetap saja ia tidak dapat mengenainya.

"Waktumu hampir habis...," ucap Alrence memanas-manasi.

"Sial!" pria itu melemparkan lirikan aneh kepada ketiga pria lainnya. "Tidak masalah, ayo kita lanjutkan, bocah!"

"Baiklah kalau...," tiba-tiba saja sepasang tangan berotot mengunci tubuh Alrence. Lalu, tanpa membuang waktu pria kekar dengan pisau itu mengarahkan pisaunya kepada Alrence, dan berhasil melukai pinggang pemuda itu.

"Kau... curang...," ucapnya sembari menahan rasa sakit. Tiba-tiba saja Alrence membungkukkan badannya.

Pria dengan pisau berlumuran darah itu tersenyum angkuh dan mengira jika Alrence memohon ampunan kepadanya. "Ha-ha-ha! Tadi kau sangat sombong dan sekarang... kau mau minta ampun?! Benar-benar...,"

"Minta ampun?" ulang Alrence dengan suara yang lirih, lalu tiba-tiba saja, pemuda yang tengah membungkuk itu memegang kedua kaki pria yang tengah mengunci tubuhnya. Kemudian ia menarik kaki pria itu dalam sekali tarikan yang keras, dan membuat pria itu terjatuh bersamanya dengan siku yang menghantam badan pria itu. Alrence pun berhasil membuat pria itu tak sadarkan diri. Tapi, ia juga kesusahan karena luka tadi.

"Kau... beraninya kau...," pria dengan pisau itu mendorong tubuh Alrence hingga pemuda itu terjatuh ke tumpukan karung herbal. Ia—Alrence—mengeryit begitu sesuatu yang keras membentur tubuhnya ketika ia terjatuh.

"Ini...," Alrence menyeringai, lalu ia kembali memanas-manasi pria dengan pisau yang sudah melukainya. "Sayang sekali, aku yang akan menang...." ucapnya sombong.

"Apa?! Kau masih bisa berkata seperti itu dengan keadaanmu? Ternyata kau benar-benar bodoh, bocah!" pria itu mengayunkan pisaunya dengan cepat ke arah Alrence. Tetapi...,

"Tiiing!"

Terdengar suara benturan logam yang memekakan telinga. Dan ternyata pisau pria itu menghantam sebuah tongkat. Lebih tepatmya, besi tajam yang berada di antara celah yang ada pada tongkat itu.

"A-apa apaan itu!?"

"Tongkat... tidak, maksudku, sebuah rapier," tiba-tiba saja Alrence mendorong tubuh pria itu dengan kuat, hingga pria itu mundur beberapa langkah dari pemuda itu. lalu ia mencabut rapier miliknya dari dalam sarung berbentuk tongkatnya dan langsung menikam pria itu, hingga membuatnya jatuh pingsan.

Alrence menatap dua pria lain yang menatapnya dengan takut. Lalu ia berjalan mendekatinya, dan berkata, "Aku tidak ingin mengotori tanganku dengan darah lagi, jadi pergilah! Aku juga sudah lelah."

Kedua pria itu pun pergi dalam diam. Diikuti dengan Alrence sendiri, yang juga pergi meninggalkan toko herbal itu dengan sebuah berkas tebal, yang akan membawa kejahatan ke balik jeruju besi.

***

Mansion keluarga Clarence, 30 Maret, 1816.

"Apa yang kau tulis, Tuan Muda?" tanya Shawn yang membawakan teh dan makanan kecil untuk Albert yang masih beristirahat di atas ranjang empuknya, sembari menghadap selembar kertas, di atas meja keci di hadapannya, dengan sebuah pena di tangan kanannya.

Albert tersenyum, lalu menjawab, "Undangan untuk sebuah pesta,"

"Pesta?" Shawn mengerjap.

"Iya, pesta. Yang pasti, pesta ini akan sangat meriah...,"