"Jadi ini tempatnya?"
Aku meraba-raba dinding batu besar di hadapanku, berusaha mencari petunjuk mengenai keberadaan pintu masuk ke dalam goa tersembunyi... Nah itu dia, karena ini adalah goa 'tersembunyi', tentu saja pintu masuknya juga akan tersembunyi.
Aku menerusuri batu yang ku tebak merupakan pintu masuknya. Sebuah celah batasan antara batu itu dengan mulut goa sangatlah sempit, sehingga aku tidak bisa mengintip isi di dalam goa itu dan juga celahnya sudah ditutupi lumut dan tumbuhan merambat, berarti pintu ini sudah lama tidak digunakan. Jika saja aku bisa menggunakan sihir, akan sangat mudah membuka pintu ini. Tapi, tanpa lengan kananku, mengalirkan energi sihir menjadi hal yang mustahil.
Setelah beberapa saat mencari, aku berhasil menemukan sepasang tuas yang tertutup semak-semak di kedua sisi pintu batu ini. Tuas itu sudah sangatlah tua. Bahkan, ini merupakan keajaiban jika tuas itu tidaklah patah tertiup angin.
Angin berhembus menerpa wajah dan rambutku.
~Crack.....~
Aku benar-benar harus menutup mulutku.
Untung saja aku memiliki solusi untuk kerusakan tuas ini. Aku keluarkan sebuah toples dari kantung mantel yang ku gunakan. Isi dari toples itu adalah getah kacang pisonia yang sangat lengket dan dapat dijadikan perekat. Untuk apa aku memilikinya? Lebih baik kau tidak usah tanyakan. Getah ini bagus untuk menjahili seseorang. Muehehehe...
Setelah meneteskan getahnya di celah retakan tuas, lalu membiarkannya untuk mengering selama beberapa menit, aku mencoba mencoba menarik tuas yang bagian kanan, namun tidak terjadi apapun. Ketika aku melepaskan tuas itu, tuas itu segera kembali ke posisi semula. Aku mengerti sekarang, bagaimana cara membuka pintu ini. Dengan jarak segini, akan terlambat bagiku jika berlari untuk menarik tuas yang bagian kiri setelah menarik tuas yang bagian kanan. Normalnya, pintu ini membutuhkan dua orang untuk mengoperasikan tuas agar ditarik secara bersamaan. Tapi aku, bukanlah orang yang normal.
Dengan menggenggam batu di tanganku dan menggunakan kaki kanan untuk menarik tuas bagian kanan, aku posisikan tubuhku ke pose siap melempar dengan menghadapkan tubuh ke arah tuas bagian kiri. Sebenarnya, sangatlah rumit untuk menggerakkan tuas dengan melempar batu. Karena tuas hanya bisa bergerak ke arah kiri dari posisi sekarang. Jika batu bergerak secara garis lurus dan mengenai tuas, bukannya bergerak, melainkan tuasnya akan patah. Untungnya aku memiliki teknik untuk melakukan ini. Aku hanya berharap tuas itu tidak akan patah.
Aku lemparkan batu ke arah tuas itu. Pada saat batu hampir lepas dari genggaman, jari telunjukku memutar batu ke arah kiri. Batu itu pun melengkung ke kanan lalu pada saat kedudukan batu dan tuas hampir sejajar, batu itu. membelok tajam ke kiri. Aku tarik tuas bagian kanan dengan kakiku.
~Grekkk...~ Pintu besar itu bergerak menunjukkan pintu masuk goa yang tersembunyi di belakangnya.
Sebelum masuk aku memeriksa permukaan tanah di mulut goa untuk memastikan tidak ada yang pernah melewati pintu ini dalam waktu yang lama. Tidak ada salahnya kan, jika lebih berhati-hati sedikit. Setelah memastikan semuanya aman, aku segera memasuki goa itu.
~Grekkk~ pintu goa bergerak menutup di belakangku. Menghalangi sinar cahaya dari luar goa, masuk ke dalam.
2
Secara ajaib, obor-obor yang ada di dalam goa menyala dengan sendirinya, menjadi satu-satunya alat penerangan di dalam goa yang gelap. Dapat kurasakan jiwa-jiwa petualang di dalam tubuhku menjerit. Ya, inilah saatnya berpetualang.
**********
~Whoooos~ Aku menunduk menghindari tebasan pedang ke arah kepalaku.
Dari arah tangan kiriku, sebuah pedang terhunus dan dengan cepat memenggal kepala skeleton yang berusaha menyerangku tadi. Skeleton itupun jatuh dan berubah jadi debu.
"Ini sudah skeleton yang ke 100" Gumamku lalu menyarungkan kembali pedang di punggungku, "dan sudah sejam aku bergerak menyusuri goa ini." Lanjutku, "Tapi belum ada tanda-tanda ujung goa maupun benda yang aku cari."
Aku terus berjalan memasuki goa ini semakin dalam. Tidak sekalipun aku menurunkan penjagaanku. Walaupun dari tadi hanya bertemu prajurit skeleton yang lemah, bisa aja tiba-tiba muncul ksatria skeleton. Dari arah depan, empat prajurit skeleton bergerak ke arahku.
Dengan cepat aku berlari ke arah mereka. Sebelum mereka bisa bersiap menyerangku, pedangku sudah lebih dulu menghabisi dua di antara mereka berempat. Skeleton ketiga menebas secara horizontal. Berhasil mengelaknya, ku tendang dada skeleton itu lalu ku tusukkan pedang ke skeleton keempat yang ada dibelakangku. Melihat pedangku berada di sela-sela tulang rusuknya, ku angkat skeleton itu lalu ku lemparkan ke arah skeleton ketiga yang sedang berusaha mengangkat tubuhnya. Sebelum kedua skeleton berhasil bangkit, kepala mereka ku injak hingga hancur, dan tubuh merekapun berubah jadi debu.
Aku sarungkan kembali pedangku dan melanjutkan penelusuran. Sepanjang perjalanan, aku bertemu tiga skeleton lainnya dan berhasil mengalahkan mereka dengan mudah. Setelah beberapa saat berjalan, aku akhirnya sampai di hadapan sebuah pintu besar. Entah kenapa, aku merasakan sebuah bahaya di balik pintu itu. Aku mengambil waktu luang sejenak untuk istirahat, memeriksa ketahanan armor dan ketajaman pedang.
Setelah merasa cukup beristirahat, aku segera bangkit lalu menyiagakan pedang di hadapanku dan membuka pintu besar itu.
~Creak~
Aku memasuki sebuah ruangan yang sangat besar. Sebuah singgasana terletak di ujungnya dengan sebuah patung iblis hitam, duduk di atasnya. Dua buah patung raksasa berdiri di sisi kanan dan kiri, seakan-akan tengah melindungi patung iblis hitam itu. Tangan kanan patung iblis itu mengeluarkan aura kelam dan berwarna lebih hitam dibandingkan anggota tubuh yang lainnya. Tangan itulah yang aku incar untuk menggantikan peran tangan kananku dalam mengalirkan energi sihir.
Tiba-tiba kedua patung besar itu bergerak dan mengacungkan tombak batunya ke arahku. Aku pun menegangkan otot-otot lengan dan mengambil kuda-kuda bertarung. Patung pertama segera bergerak mendekat dan menusukkan tombaknya yang aku elak ke kanan. Namun, aku segera melemparkan tubuhku yang nyaris saja tertusuk tombak patung kedua.
Setelah menggulingkan tubuhku, aku segera bangkit dan berlari ke arah patung kedua. Aku menurunkan tubuhku hingga hampir menyentuh lantai tanpa mengurangi kecepatan, untuk menghindari ayunan tombak patung kedua. Begitu mendekatinya, aku segera menebaskan pedang ke tumitnya patung itu, tapi hanya sebuah goresan sedalam 2 inci saja yang terbentuk. Untuk patung sebesar ini, goresan ini tidak ada apa-apanya.
Aku segera salto ke belakang. Sebuah perisai batu menghantam tempat aku berdiri tadi, menghembuskan debu ke segala arah. Patung pertama mengayunkan tombaknya ke arahku, yang berhasil ku hindari dengan memutarkan tubuhku ke depan. Namun, tombak itu menghantam perisai dari patung kedua. Aku tersenyum, sekarang aku tau bagaimana cara mengalahkan kedua behemoth ini.
Aku segera menyarungkan pedang agar tidak menghalangiku dan berlari ke arah kaki kanan patung pertama. Dan benar saja, aku dapat merasakan sebilah tombaknya patung kedua mengejar di belakangku. Bisa ku rasakan ujung tombak itu sudah di belakang tengkukku. Sebelum tombak itu bisa mengenaiku, aku segera menggulingkan tubuhku ke samping. Tombak itu pun melesat melewatiku lalu menusuk serta menghancurkan kaki kiri patung pertama. Sukses menjatuhkan patung pertama.
Awan debu tidak menghentikan langkahku, aku segera melompat dan berlari di atas tubuh patung pertama menuju wajahnya. Teknik langkah kakiku membuat setiap langkah yang ku ambil, tepat dan tidak meleset. Beberapa kali juga aku menghindari hantaman tangan patung pertama yang berusaha menjadikanku peyek ikan asin.
Segera setelah mencapai wajah patung pertama, aku segera melompat pergi. Sesaat setelah melompat, tombak patung kedua melesat menusuk wajah patung pertama. Hantaman tombak dan wajah patung pertama begitu kuat, menghasilkan gelombang hingga membuatku yang sedang di udara terhempas jauh.
Aku melihat tubuh patung pertama mulai retak lalu hancur lebur menjadi pasir. Aku tersenyum, "Satu sudah jatuh, tinggal satu lagi musuh yang aktif dan satunya berkemungkinan merupakan musuh."
Untuk mengalahkan patung kedua sangatlah mudah, dikarenakan tidak adanya patung pertama. Aku segera berlari ke arah kaki patung kedua. Menghindari setiap serangan tombaknya, lalu menebas bekas goresanku tadi, menghindari hantaman perisainya, dan mengulanginya lagi terus menerus hingga kakinya patung itu terputus satu. Karena kehilangan satu kakinya, patung ini terjatuh membenturkan kepalanya ke lantai. Aku segera menyerang leher patung itu terus menerus, beberapa kali menghindari serangan dari telapak tangannya. Patung itu masih berusaha berdiri namun terus terjatuh menghantamkan kepalanya ke lantai. Akhirnya patung itu berubah jadi pasir, karena telah menghancurkan kepalanya sendiri, sebelum aku berhasil memutuskan lehernya.
"Huh, huh. Tidak bisa menggunakan sihir, benar-benar merepotkan." Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku bersyukur bahwa patung-patung itu sangatlah bodoh, tapi yang masih ku khawatirkan adalah patung iblis hitam di singgasana itu. Aku yakin dialah boss sebenarnya, sedangkan kedua payung itu hanyalah minion. Atau kah creep, atau mob? Benar saja, patung iblis hitam itu menghilang.
Setiap inci otot-ototku menjerit agar aku segera menghindar. Dengan mengandalkan insting, aku menghunuskan pedang ke depan dadaku, menahan tebasan pedang dari iblis hitam itu. Pedangku patah, namun waktu yang dicuri oleh pedangku membuat aku berhasil menghindar ke belakang. Terimakasih kasih pedangku, kau telah menyelamatkan nyawaku. Aku menunduk menghindari tebasan horizontal, lalu melangkah memasuki area bertahannya iblis itu dan menusukkan pedangku ke dadanya. Iblis itu meluncur ke belakang meninggalkan afterimage yang masih tertancap di pedangku. Dia pun meluncur ke depanku lalu melakukan tebasan overhead yang berhasil ku elak.
Aku menendang samping perutnya yang berhasil ia tahan menggunakan kakinya, lalu dia meninju wajahku yang aku hindari dengan memiringkan kepala. Dia berusaha menebas dadaku yang ku tahan menggunakan pedangku. Kami berdua saling melemparkan serangan satu sama lain. Untuk beberapa saat kami berada dalam kondisi seimbang. Namun aku membuat kesalahan. Aku mencoba menyundul kepala iblis hitam ini, tapi bukannya dia kesakitan, tapi kepalaku yang mengeluarkan darah karena menghantam kepalanya yang keras. Untuk sedetik aku terhuyung dan kesempatan itulah yang dia manfaatkan.
Dia menendang tepat di ulu hatiku yang membuatku memuntahkan darah dan terlempar sejauh tujuh meter ke belakang. Aku dengan cepat menyeimbangkan tubuh. Tapi di sudah berada di depan wajahku dengan pedangnya melesat ke arah leherku. Dan sekali lagi, terimakasih kepada instingku yang berhasil membuatku menarik leherku ke samping. Aku melakukan tendangan roundhouse ke perutnya, membuatnya sedikit terpukul mundur.
Sepertinya aku harus mengubah taktik. Aku gigit pedangku lalu mengambil sebilah belati dan melemparkannya ke wajah iblis hitam itu. Dia memiringkan kepalanya ke kiri. Aku mengendalikan belati itu menggunakan benang tipis yang terikat di gagangnya. Iblis itu menarik kepalanya ke belakang, menghindari tebasan dari belati. Namun itu sudah cukup untuk mengalihkan perhatiannya.
Pedangku bukanlah pedang biasa. Walaupun sekarang aku sedang tidak bisa menggunakan kemampuan sihirnya, bukan berarti pedangku mudah untuk di patahkan.
Patahan pedang ini sedang bergerak untuk menyatukan diri dengan tubuh utamanya dan kepala iblis itu, menghalangi jalannya. Ketika iblis itu menyadari kehadiran patahan pedangku, semuanya sudah terlambat. Patahan itu sudah berada di belakang kepalanya dan menancap hingga menembus ke wajah depannya. Akhirnya....
Iblis itu masih berdiri tegak. Mataku melebar karena menyadari bahwa iblis itu masih belum dikalahkan.
"Hahahahahahaahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahshahahshahahshshshshahahahahahaha." Untuk pertama kalinya sejak kami bertarung, iblis itu akhirnya mengeluarkan suara dan suara itu merupakan tawa yang sangat menyeramkan atau mungkin menjijikkan karena adanya patahan pedang yang mencuat keluar.
Aura kegelapan mulai berkumpul di tangan kanannya lalu menyelimuti seluruh tubuhnya. Suaraku yang menelan ludah, terdengar sangat nyaring di dalam kepalaku.
Aku mengangkat tanganku.
"Eh... Damai?"
Iblis itu berhenti tertawa dan menatap tajam ke arahku. Aura membunuh memenuhi ruangan.
"Sepertinya, jawabannya adalah tidak?"
Iblis itu menghilang dan muncul di hadapanku sambil mengayunkan pedangnya yang nyaris tidak berhasil ku tepis.
"Sialan!!!"