Harry menatap Voldemort dalam diam. Meskipun tubuhnya dipenuhi luka-luka dan tubuhnya dibasuh oleh hujan darah, ajaibnya ia merasa tenang dan juga damai. Sisi spiritualnya terpenuhi. Mentalnya kuat, siap menerima semua konsekuensi dari pilihannya, terlepas menang ataupun kalah.
Harry masih mengawasi Voldemort dengan kesiagaan tinggi dibalik posenya yang sekilas terlihat sembrono tanpa penjagaan. Genggaman pada tongkat sihirnya stabil tepat menunjuk Voldemort. Akan tetapi, ia tidak memulai serangan terlebih dahulu. Ia menunggu dengan sabar serangan terakhir dari musuhnya sebelum melakukan counterattack.
"Avada Kadavra!"
Akhirnya, setelah menunggu sekitar satu seduhan teh, Voldemort mulai meluncurkan serangan pamungkasnya.
"Expelliarmus.."
Mantra ini bukan mantra serangan. Sebaliknya, ini adalah mantra pertahanan yang fungsinya untuk melucuti senjata lawan. Jangan memandangnya sebelah mata hanya karena ia bukan mantra serangan yang kuat. Berkat mantra ini, Harry telah berulang kali lolos dari cengkeraman malaikat maut. Karena itulah, Harry berlatih keras untuk menguasainya hingga tingkat master.
Selain itu, Harry juga berniat menguji teorinya dan sekaligus teori Profesor Dumbledore. Jika...
Mantra Voldemort bertemu dengan mantra Harry. Namun, alih-alih menyerangnya. Mantra Avada Kadavra berbalik arah menyerang balik Voldemort. "Pemilik tongkat Sakti Elder yang legendaris adalah Draco Malfoy. Tapi, berminggu-minggu sebelumnya, Draco sudah aku kalahkan." Kata Harry berbisik lirih yang hanya bisa didengar oleh Voldemort. Ia menunjukkan tongkat sihirnya pada Voldemort. "So. Akulah pemilik tongkat Elder sekarang." imbuhnya.
Voldemort terbelalak lebar. Ia tidak percaya dengan semua. Semua kerja kerasnya. Kerajaan Sihir Hitamnya yang ia bangun belasan tahun runtuh begitu saja untuk kedua kalinya di tangan orang yang sama. "Harry Potter!" desisnya geram. "Meskipun aku kalah, tapi kau juga tidak bisa menikmati Kemenangan mu. Karena kau..."
Harry tersenyum tipis. "Tidak semua orang takut pada kematian sepertimu. Beberapa diantaranya dengan senang hati merangkul kematian. Karena kematian bagi mereka juga bagiku adalah sebuah pembebasan."
Harry sudah siap. Ia tahu setelah duel terakhirnya dengan Voldemort, hidupnya sudah di ujung tanduk. Waktu hidupnya di dunia sudah habis. Meski demikian, ia tidak merasa sedih apalagi menangis pahit. Sebaliknya, ia merasa dibebaskan. Ia bisa bertemu dengan orang-orang yang dikasihinya.
Harry rebah di atas lantai. Ia berbaring telentang menghadap ke atas langit-langit aula kastil Hogwarts yang berlubang menganga lebar sehingga ia bisa melihat bintang-bintang yang bertaburan di atas langit. Bibirnya mengulas senyum simpul sebelum memejamkan kelopak matanya, bersiap merangkul Dewa Kematian.
Kegelapan menarik Harry sangat dalam. Ia tidak tahu berapa lama karena di tempatnya tidak ada hitungan waktu. Yang ada hanyalah kegelapan nan pekat tanpa batas.
Setelah menunggu untuk waktu yang rasanya seperti seumur hidupnya, Harry ditarik oleh tangan-tangan tak kasat mata. Jiwa Harry pasrah mengikuti. Ia pikir jiwanya dipimpin ke sebuah ruangan tak bernama yang di matanya seperti stasiun kereta api seperti sebelumnya sambil menunggu orang-orang terkasih yang sudah meninggal menjemputnya. Tapi nyatanya, ia terlempar ke sebuah ruangan super sempit yang mengingatkannya pada kamar pribadinya yang berada di bawah tangga yang dihuninya hingga ia masuk Hogwarts.
Perut Harry bergolak tidak nyaman. Ia ingin muntah, memuntahkan seluruh isi sarapannya saat merasakan ruangan itu bergoyang-goyang, berjalan maju.
Harry mengernyitkan dahinya. "I-ini dimana?" pikirnya bingung. Ia menundukkan kepalanya, menatap baju aneh yang dikenakannya. "I-ini..." Ia pernah melihat model baju ini sekali seumur hidupnya. Baju ini mengingatkannya pada model baju orang tua Cho Chang, mantan kekasihnya.
Harry menggigil ketakutan. Seumur-umur, baru kali ini, ia merasa takut. Pikirannya berantakan. Berbagai macam dugaan berterbangan di kepalanya. Di saat bingung, ia merasa kepalanya seperti ditusuk dan dibelah. Sakitnya tak terhingga hingga ia merintih kesakitan. Rasa sakitnya melebihi rasa sakit akibat kutukan Cruciatus Bellatrix Lestrange.
"Jangan-jangan.... Jangan-jangan Voldemort mau menginvasi kepalaku dan lalu mengambil alih kendali tubuhku.." gumamnya ketakutan. Ia mengerahkan segenap kekuatannya untuk menolak invasi tak diundang di kepalanya menyebabkan serangan asing itu menjadi terfragmentasi.
"Tuan!" Sapa seorang pemuda. Entah siapa yang dipanggilnya. Harry mengacuhkannya. Kepalanya terlalu sakit hingga ia kehilangan kendali tubuhnya. Ia hanya bisa mengertakkan rahangnya kuat-kuat, mengeraskan tekadnya untuk mengusir invator.
"T-tuan! Apa Tuan baik-baik saja?" tanya pemuda itu lagi terdengar panik.
Harry masih mengacuhkannya. Ia tidak kuat menahan gempuran serangan mental pada kepalanya. Fragmen-fragmen memori yang tadinya berantakan kini membaur menjadi satu dengan memorinya sendiri, memaksa Harry melihat scane demi scane kenangan asing di kepalanya seolah-olah itu kenangannya sendiri. Di akhir putaran slideshow memori asing, mental Harry sudah runtuh. Ia pun ambruk.
Zhou Ji nama pemuda yang memanggil Harry dari luar ruangan, matanya terbelalak ketakutan, mendapati suara erangan tuannya berhenti. "Tuan...!" panggilnya lagi, namun hanya keheningan yang membalas panggilannya.
Zhou Ji menyingkap kain yang membatasi ruangan. Rupanya, ruangan sempit yang ditempati Harry adalah sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda. Ini menunjukkan jikalau identitas Harry bukanlah orang biasa. Mungkin ia seorang tuan muda dari keluarga kaya atau bahkan seorang bangsawan. Ini juga bisa berarti ia seorang pejabat pemerintah yang strata kedudukannya lumayan tinggi.
Zhou Ji melihat tuannya terkapar di lantai kereta. Rasa takut yang amat sangat menembus hingga ke sumsung tulangnya. "Tabib! Cepat selamatkan Tuan!" Jerit Zhou Ji memanggil tabib Wei, tabib yang menyertai perjalanan tuannya ke Kabupaten Xiantang, sebuah kabupaten miskin dan terbelakang yang berbatasan langsung dengan suku Utara.
Tabib Wei merupakan tabib yang tergolong baru lulus magang di bawah tabib Dong, tabib yang duduk di klinik medis milik klan Li. Tabib Wei dikirim sebagai bentuk bantuan klan untuk tuannya.
Tabib Wei bergegas mengambil denyut nadi Tuan hakim Li. Kerutan di dahinya berkurang setelah ia mengambil denyut nadi. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tuannya hanya merasa tidak nyaman karena harus menempuh perjalanan panjang dari Ibukota Beijing ke pelosok negeri. "Tuan hanya kelelahan. Sebaiknya istirahatkan dahulu. Aku akan menggoreng obat untuk mengisi tubuhnya." Kata Tabib Wei membuat Zhou Ji dan para pengawal lainnya merasa lega.
Jika sampai terjadi sesuatu pada Tuan Hakim Li dalam perjalanan tugas, maka nyawa mereka tidak bisa dijamin. Minimal dipecat dari posisinya dan maksimal dieksekusi dengan tuduhan lalai dalam tugas.
Harry bangun dari pingsannya saat bulan di atas kepala. Ia memeriksa tubuhnya. Tubuhnya lemah dan juga kelelahan. Tungkainya terasa lembut seolah tak bertulang. Tapi, secara keseluruhan, tubuhnya terbilang sehat. Tidak ada luka dalam yang mengancam.
"Tuan! Anda sudah sadar?" Sapa seorang pemuda bertubuh kurus dengan tinggi kira-kira setinggi George Weasley, salah satu kakak Ron, sahabat baiknya.
Menurut ingatan asing yang menyerbu dan menguasai kepalanya, pemuda itu berbagai Zhou Ji. Ia pelayan pribadi yang mengurus keperluannya khususnya keperluan selama proses belajarnya. Zhou Ji ini pemberian Li Yi Tong, ayah kandungnya.
Li Yi Tong anak ketiga dari garis utama klan Li. Ayah Li Yi Tong merupakan anak sah dari Li Wu Shuang, Kakek Harry yang kini memegang tampuk kekuasaan klan Li. Dari sisi ayah, status Harry cukup bagus. Sayangnya status ibu kandungnya rendah hati.
Ibunya hanyalah selir yang diambil ayahnya dari rumah pelacuran dalam perjalanan ke Jiangnam. Untungnya ibunya Li Shaoran, nama tubuh yang ditempati Harry ini sangat pandai. Ia berhasil meraih dukungan nyonya Shen, istri resmi Li Yi Tong. Karena itulah, di klan Shaoran tidak dianiaya.
Shaoran diijinkan untuk belajar. Dengan ketekunan dan kelihaiannya ia berhasil lulus ujian. Meski tidak menempati posisi pertama, ia masih diakui dan bulan kemarin diangkat sebagai pejabat resmi. Ia menjadi hakim kabupaten.
Harry mengernyitkan dahinya, merasa sedikit masam. Ia pikir setelah pertarungannya dengan Voldemort, ia akan bisa bergabung dengan orang-orang terkasihnya. Siapa sangka jika nasib mempermainkannya. Ia dikirim di dunia parallel yang asing.
Meski demikian, ia tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Tidak ada gunanya berkeluh kesah. Lebih baik mempersiapkan diri sebaik-baiknya dan menjalani kehidupan keduanya dengan lebih baik lagi.
"Tuan!" Zhou Ji menyela lamunan Harry.
"Aku baik-baik saja." Ujar Harry.
Zhou Ji menganggukkan kepalanya, paham. "Tabib Wei sudah merebus obat. Silakan diminum selagi hangat."
Harry menerima mangkuk dari tangan Zhou Ji. Sebelah tangannya yang menganggur melambai, memberi isyarat agar Zhou Ji mundur. Zhou Ji dengan sopan meninggalkan tenda.
Harry mengangkat mangkuk ke mulutnya. Ia mencium komposisi obat. Meski ia tidak seahli Hermione dalam mengolah ramuan, namun kemampuannya tidak buruk-buruk amat. Setidaknya dari dua percobaan, ia masih berhasil meramu. Ia juga cukup ahli dalam melihat komposisi ramuan. Terlebih untuk ramuan sederhana ini. Dengan tutup mata pun, ia masih bisa membedakannya.
Bahan obat yang digunakan Tabib Wei adalah ginseng, jahe, daun mint, beberapa bahan pendukung dan madu yang fungsinya untuk mendukung tubuhnya. Harry meneguknya dalam satu tegukan. Setelah minum ramuan, ia merasa tubuhnya lebih hangat dan bertenaga.
Harry merasa lega. Sesudahnya, ia merasa ngantuk. Ia pun memilih tidur untuk mengonsolidasikan tubuhnya. Istirahatlah adalah obat mujarab untuk menyembuhkan penyakitnya.