Chereads / Asphyxia / Chapter 2 - STARTED

Chapter 2 - STARTED

Di bagian depan sebuah mansion bergaya klasik, seorang gadis yang kecantikannya mampu menyamai Dewi Aphrodite, sedang berdiri dengan anggun sembari menyerahkan bukti undangan kepada penerima tamu. Rambutnya yang panjang dan ikal berwarna senada dengan gaun hitam tanpa kerah yang membalut tubuh eloknya.

Usai melihat identitas gadis itu, sang penerima tamu pun membungkuk dengan sopan dan membukakan pintu kembar berwarna cokelat gelap kepadanya. Begitu sepasang kaki jenjangnya melangkah masuk, telinga gadis itu langsung diserbu suara percakapan orang-orang.

Tempat itu bukan lagi tempat pertemuan, melainkan tempat perlombaan. Setiap orang di dalamnya berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik dengan pakaian, perhiasan, serta riasan yang melekat di tubuh mereka.

Gadis bergaun hitam itu tidak punya waktu untuk hal-hal semacam itu. Ia hanya perlu menjalankan tugasnya; mencari orang-orang yang paling berpengaruh di tempat itu. Statusnya sebagai seorang putri dari salah satu keluarga bangsawan mempermudahnya dalam menjalankan misinya. Ia harus cepat-cepat mencari tahu keberadaan ketiga targetnya dan juga rute berjaga para penyidik. Dan yang terpenting, ia harus memastikan betul bahwa para penyidik itu terpisah dari pimpinan mereka, Antoni Barier, kepala keluarga Marquess Barier.

Akan tetapi, gadis itu tidak boleh bertindak gegabah. Ia harus bersabar dan tetap mempertahankan sandiwaranya, lantaran ada saja orang-orang yang mengenalinya dan menyapanya dengan nama.

"Juni!"

Satu sapaan.

"Selamat malam, Lady Juni."

Dan satu lagi, hingga akhirnya menumpuk sampai tak terhitung jari.

Juni tidaklah bodoh untuk dapat tertipu oleh segala kepalsuan mereka. Bibir mereka melukiskan senyuman, namun yang sebenarnya tertoreh adalah cibiran.  Mereka seperti cermin, tersenyum ketika orang lain tersenyum, tak punya pendirian, hanya mengikuti refleksi orang lain. Dan sekarang, Juni harus tahan memainkan perannya menjadi salah satu dari mereka.

Juni membalas tumpukan sapaan itu dengan senyuman, lantas segera mengedarkan pandangan. Tak sengaja tatapannya tertumbuk pada jendela besar yang berjejer di salah satu dinding. Jendela itu disandari oleh tiga buah punggung yang dilapisi jubah berwarna hitam.

Mata hitam Juni lantas meredup. Ia lalu berbicara kepada seseorang lewat wireless yang tersemat di telinganya.

Di saat yang sama, tepat satu jam sebelum mimpi buruk itu terjadi, masing-masing pemilik dari tiga buah punggung berjubah itu—dua orang pemuda berumur awal 20-an dan seorang perempuan berambut cokelat yang tampak masih di usia remaja—tengah saling bercakap-cakap.

Ketiganya mengenakan busana serupa yang terlihat seperti seragam khusus, yang terdiri dari atasan kemeja berbahan tebal dan kasar disertai dengan jubah panjang semata kaki, plus bawahan celana panjang berbahan sama. Seluruhnya berwarna hitam pekat. Jubah mereka tidak dikancing, sehingga memamerkan lencana berpangkat yang mengisi kemeja mereka.

"Sejuk sekali ya angin malam ini." Yang perempuan berkata, menengadahkan kepala sambil tersenyum, menghirup angin yang membelai wajahnya. Ia menoleh ke kanan, ke arah dua orang pemuda yang juga ikut berdiri mendampinginya, "Ngomong-ngomong, mengapa kalian memilih pekerjaan ini?" Tanyanya.

Salah satunya yang memiliki rambut berwarna pirang pasir menjawab, "Tentu saja karena uang yang banyak!" Suaranya terdengar sangat mantap dan polos di saat yang sama. Di sebelahnya kanannya, seorang pemuda berambut hitam gelap tersenyum dan mengangguk setuju.

"Sudah kuduga karena itu." Si Perempuan mendesah dengan mata terpejam. "Ngomong-ngomong, sudah satu bulan berlalu semenjak kita dimasukkan ke divisi ini. Benar kan, Luke?" Ia menoleh kepada Si Rambut Pirang Pasir, kemudian sedikit memajukan kepalanya agar dapat melihat Si Rambut Hitam di ujung sana, "Ulbert?"

"Benar juga," balas Luke dengan pandangan menerawang ke depan.

"Apa yang akan kau lakukan dengan upah dari pekerjaan ini?" Ulbert bertanya kepada Luke.

"Tentu saja membahagiakan keluargaku. Aku akan membelikan mereka rumah termegah di dunia!" Luke mengepalkan tangannya yang terlipat di belakang tubuhnya dengan mata penuh tekad, "Kalau kau?"

"Aku akan berkeliling dunia sampai puas!" Ulbert mengatakannya dengan senyum mengembang, membayangkan mengunjungi tempat-tempat yang hanya dapat dilihatnya lewat peta saat pelajaran geografi semasa sekolah dulu.

Si perempuan tersenyum hangat, "Mimpi yang indah. Andaikan aku punya satu."

Mereka terus berbincang-bincang, membagi pikiran masing-masing di balik canda dan tawa. Hingga tiba saatnya obrolan mereka teredam oleh bunyi tembakan dan teriakan orang-orang di dalam bangunan yang sedang mereka sandarkan.

Usai berdiskusi lewat tatapan mata, mereka pun sepakat untuk mengamankan orang-orang yang ada di dalam. Namun, bunyi benda jatuh yang terdengar secara tiba-tiba sontak mengunci langkah mereka di tempat.

Refleks, mereka menoleh ke sumber bunyi. Ternyata di hadapan mereka sesuatu yang mengerikan telah menanti. Mungkin seharusnya mereka tidak berhenti, maupun berada di tempat yang sekarang mereka pijak.

Dengan topeng berbentuk aneh di wajah, seorang perempuan berambut platinum panjang yang diikat satu datang menghampiri mereka bertiga dengan langkah tenang. Perempuan itu mengenakan atasan kaus hitam di balik jaket denim biru, dipadu dengan ripped jeans biru selutut. Di kedua tangannya tersemat pedang lurus tanpa lekukan.

Sorot mata mereka bertiga langsung menajam. Tanpa menurunkan kewaspadaan, mereka lantas mencabut pedang yang sejak tadi menggantung di samping pinggang masing-masing.

"Siapa kau?" Selidik Ulbert. Nadanya kalem namun dingin. Suara dan sikapnya pun berubah sangat defensif.

"Manusia, tentunya." Balasan perempuan itu agak teredam oleh topeng, tapi tetap tak mengurangi kemerduannya.

"Apakah kau dalang di balik kekacauan ini?"

"Bukankah itu sudah jelas?"

"Meski begitu kau menyebut dirimu manusia?"

"Apakah kalian juga sudah pantas menyebut diri kalian 'manusia'? Memangnya, manusia menurut standarmu itu seperti apa?"

"Kenapa kalian melakukan ini?" Kini berganti Luke yang bertanya. Suaranya tidak setenang suara Ulbert.

"Sejak awal aku memutuskan mengambil jalan ini, aku sudah meneguhkan hatiku. Aku percaya bahwa mengambil satu nyawa, di lain pihak juga akan menyelamatkan nyawa yang lain. Karena itulah aku tidak memiliki keraguan." Jawaban itu cukup tenang tanpa bumbu keraguan. Selagi mengatakannya, perempuan bertopeng itu memainkan pedang di tangan kirinya, kemudian dia menambahkan, "Jika kalian menanyakan tujuannya, tentu saja untuk kedamaian."

"Omong kosong!" Luke berteriak lantang. Setiap inci sel dalam tubuhnya menolak kata demi kata yang diucapkan Zeze.

Tanpa menunda-nunda, mereka bertiga maju menyerang secara bersamaan. Luke melayangkan serangan dari arah depan dan langsung ditangkis oleh Zeze dengan pedang di tangan kirinya. Pertemuan lempengan logam tersebut menciptakan bunyi yang memekakkan.

Masih di detik yang sama, Ulbert menyerang dari arah belakang, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat Zeze menahan serangannya tanpa sedikit pun membalik badan. Tangan kanan Zeze terlipat ke belakang dan menahan pedangnya! Sulit dipercaya serangan berbarengan dan tanpa jeda itu dapat dihentikannya dengan mudah.

Di detik berikutnya, Zeze menekan mundur pedang mereka lantas menendang Luke dan Ulbert bergantian. Tak sampai di situ, Zeze melempar salah satu pedangnya ke arah si perempuan berambut cokelat sebelum dia sempat menyokong kedua rekannya. Zeze mengincar kaki kanannya dan dengan mulus mengenainya, tenggelam melewati daging betis dan sukses membuat perempuan itu runtuh ke tanah sambil meringis kesakitan.

Luke dan Ulbert tidak menyadari hal itu lantaran terlalu fokus kepada Zeze. Mereka tidak berniat memberi Zeze waktu untuk bersiap, jadi mereka melakukan semuanya secara bersamaan.

Serangan demi serangan mereka lancarkan. Dentingan pedang berangsur-angsur memecah kesunyian malam. Detik demi detik pun berlalu, tapi semua erangan sanggup Zeze tangkis dengan mudah. Kurang lebih tiga menit mereka melakukan tarian mematikan itu.

Tapi pada akhirnya, permainan kekanakan itu memang harus segera diakhiri. Di saat Luke mencoba menyerang dari arah depan, Zeze menghindar ke samping, sehingga kini di hadapan Luke bukan lagi Zeze, musuhnya.

Pedang Luke dengan mulusnya menusuk dada Ulbert.

Sama seperti pada saat Luke mendengar omong kosong Zeze, setiap inci sel dalam tubuhnya berontak, sama sekali tak sudi mempercayai realita. Ulbert ambruk dengan pedang Luke yang masih tertancap tepat di dadanya, menusuk jantung yang selama 22 tahun ini bekerja keras memberi pemuda itu kehidupan.

"Kak Ulbert!" Percuma, bahkan jika ia berteriak tepat di telinganya, hal itu tetap takkan bisa membuatnya bangkit kembali. "Sialan kau!" Luke meraung. Ia marah, sangat marah. Namun, ia tidak tahu siapa yang pantas menjadi sasaran amarahnya itu. Ia hanya ingin seluruh dunia yang tidak adil ini menghilang.

"Untuk apa kau marah? Bukankah kau sendiri yang menusuknya?" Zeze bertanya dengan ketenangan yang masih menyelimuti suaranya, seakan-akan seonggok hati tak pernah tertanam di dalam rongga dada gadis itu.

Urat tampak menyembul di leher dan pelipis Luke. Tubuhnya bergetar murka. Ia maju, menyerang sambil berteriak. Akal sehatnya telah tertindih oleh emosi. Yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana caranya melampiaskan amarah yang sudah tak terbendung lagi kepada sosok bertopeng sialan di hadapannya itu.

Namun bagi Zeze, serangan Luke kali ini tidak lebih dari sekedar cubitan tiba-tiba seorang bocah. Bahkan lebih buruk dibanding saat-saat kolaborasinya dengan Ulbert tadi.

Dalam sekejap mata, kini dua mayat manusia telah terbujur kaku di atas dinginnya tanah, membatasi antara Zeze dan perempuan berambut cokelat sebahu itu, yang hanya bisa membulatkan mata dalam ketidakberdayaan.

Rasanya baru satu jam mereka saling berbincang dan bertukar mimpi, kini keduanya telah tiada lagi di dunia ini.

Segampang itu dia mengambil nyawa seseorang....

"Bolehkah aku bertanya?" Perempuan itu menyeka air matanya dengan punggung tangan. Matanya menyiram Zeze dengan luapan kebencian. "Mengapa kita harus bertarung bila kita mempunyai tujuan yang sama?"

Waktu makin terkikis tapi hanya keheningan yang memeluk mereka. Dan pelukan itu terurai begitu Zeze memutuskan untuk membuka suaranya.

"Jika hal seperti itu saja kau tidak tahu, sebaiknya lepaskan saja senjatamu itu." Zeze menutup matanya, "Orang yang berhak memegang senjata adalah orang yang telah meneguhkan hatinya dan paham apa yang harus diperbuat serta sadar apa yang dilakukannya."

Perempuan itu mengerutkan alis. Ia tidak mengerti. Tapi, apakah ini adalah waktu yang tepat untuknya merasakan empati terhadap perempuan bertopeng itu?

"Aku tidak bisa lama-lama. Maaf, jika tidak dalam situasi seperti ini, kita mungkin dapat saling mengenal."

Usai mengatakannya, Zeze pun mendekati perempuan itu dengan perlahan. Toh, tidak perlu terburu-buru melakukannya, sebab jiwa perempuan itu sudah pasti akan lenyap di tangannya. Ia berhenti satu langkah darinya dan mengangkat pedang di tangan kirinya ke atas.

Perempuan itu tahu betul realita apa yang akan menjemputnya, dan ia menerima takdirnya dengan lapang dada. Kelopak matanya pun turun membungkus bola matanya. Ia telah menyerah untuk bangkit, karena upaya itu sudah tidak lagi diperlukan. Tanpa menggunakan kemampuannya sekalipun, jawabannya sudah pasti satu: mati.

Namun ada yang janggal; sudah 10 detik waktu terlewat, pedang itu belum juga menghunjam tubuhnya. Bila ingin membunuhnya, ia harap lakukan saja dengan cepat. Ia sudah tidak ingin disiksa lama-lama oleh rasa sakit di kakinya. Akan tetapi, mengapa waktu seakan mempermainkannya?

Dia pun memberanikan diri untuk membuka mata. Sesuatu menghalangi pandangannya dari cahaya; punggung seorang lelaki berambut sepekat malam yang di kedua tangannya tergenggam katana hitam bercorak hijau menyala.