"Papa, Mama, kemarilah tangkap aku!" teriak seorang anak perempuan yang sedang bahagia.
Ia sedang bermain kejar-kejaran di taman bersama kedua orang tuannya. Bersenda gurau layaknya keluarga harmonis lainnya. Tiba-tiba, mimpi indah itu menjadi mimpi buruk bagi anak perempuan itu. Dimana dirinya terpisah dari kedua orangtuanya.
"Mama, Papa huhu__" gadis kecil itu menangis tiada henti.
Di mimpi itu, ia bertemu dengan seorang pemuda yang usianya mungkin terpaut cukup jauh. Pemuda itu memberikan sebuah kalung berliontin kupu-kupu yang sangat indah bermanik-manik warna biru muda.
"Kupu-kupu ini adalah temanmu. Jika nanti kau sedang bersedih, maka lihatlah kupu-kupu ini. Bayangkan saja jika kupu-kupu ini sedang mengajakmu terbang yang sangat tinggi, dan kau dibawa ke tempat yang sangat indah," tutur pemuda itu langsung pergi.
"Nona Yara, ayo bangun, Non. Ini sudah siang loh. Nanti Nona Yara telat pergi ke sekolahnya." seorang wanita paruh baya mengetuk pintu gadis itu.
Iya!
Gadis kecil yang bermimpi itu, kini berusia 15 tahun, bernama Yara Nadja. Gadis cuek, jutek, usil dan cerdas di kelasnya tumbuh menjelma gadis cantik. Dia baru saja menginjak bangku SMA di sekolah ternama di Kota itu. Wanita paruh baya itu adalah pengasuh sekaligus asisten rumah tangganya.
"Iya Mbok, ini sudah bangun!" seru Yara membuka selimutnya.
Mimpi yang selalu dialami itu, adalah sebuah kisah nyatanya. Sekitar tujuh tahun yang lalu, saat dirinya masih berusia 8 tahun, dia menangis di pinggir jalan karena berpisah dengan kedua orangtuanya.
Ketika Yara menangis, sosok pemuda SMA menghampirinya dan memberikannya sebuah kalung berliontin kupu-kupu kepadanya. Belum juga mengetahui siapa namanya, pemuda itu sudah pergi bersama teman-temannya.
Setelah selesai bersiap-siap, Yara langsung turun dan makan bersama dengan kedua orangtuanya. Hubungan orangtuanya sudah mulai renggang, karwna sebuah permasalahan yang serius. Di antara kedua orang tuanya, yang ada hanya percekcokan diantara mereka. Berbeda dengan beberapa tahun lalu yang masih harmonis.
"Hari ini hari pertama aku masuk sekolah baru, kumohon kalian jangan bertengkar satu hari ini aja. Jika kalian tidak bisa melakukan itu demi aku, maka lakukan itu demi harga diriku di sekolah," ungkap Yara dengan nada yang dingin.
"Yara, kamu bicara apa sih, Nak. Kamu ini tidak pantas bicara seperti itu dengan orang tua. Kami ini orangtuamu, loh!" tegur Fadli, Papa Yara.
"Mas! Jangan sesekali kamu bicara seperti itu dengannya putri kita. Dia masih kecil!" sahut Meldi, Mama Yara.
"Kalian diskusikan. Jika mau mengantarku ke sekolah. Oh iya, kalian harus bersikap normal layaknya kita ini adalah keluarga harmonis. Jika kalian hanya mau mempermalukan aku, lebih baik aku berangkat sendiri!" ucapan Yara sontak membuat Fadli marah.
"Lancang!" bentak Fadli membuang sendok makannya. "Aku ini masih Papamu, Yara. Di mana rasa sopan santunmu itu!" Fadli begitu kesal.
"Aku selesai, aku berangkat sendiri." tanpa salim dengan kedua orangtuanya, Yara langsung pergi dan memanggil Pak Tono, tukang kebun rumah. Yara meminta Pak Tono untuk mengantarnya kedepan. Agar ia bisa menyetop angkutan umum.
********
Didalam angkutan umum, ia melihat seorang anak kecil bersama dengan kedua orang tuanya. Mereka bertiga terlihat saling menyayangi, itu membuat Yara menjadi sangat sedih.
3 tahun lalu, Yara juga memiliki kesempatan itu. Akan tetapi, semua direnggut oleh orang ketiga dari hubungan orangtuanya yang hadir diantara mereka.
Semenjak Yara masuk SMP, Mama Yara kembali bekerja seperti dulu, karena sering sibuk, Meldi jarang pulang kerumah. Sekali pulang, Ibunya itu akan selalu tidur di kamar kerjanya. Tak heran jika sangat suami menjadi sedikit bosan dengannya yang semakin hari semakin tak ada waktu bersamanya.
Itulah dimulai munculnya orang ketiga di antara mereka. Awalnya Fadli hanya memperkerjakan seorang asisten rumah tangga yang masih muda. Kemungkinan masih 20 tahunan, hari-hari Fadli dihiasi oleh asisten rumah tangga itu, dia bernama Fika.
Sejak awal bangun hingga berangkat tidur, Fika lah yang selalu ada untuk membantu Fadli. Dari mulai memasak, membersihkan rumah, menyiapkan makanan siang dan malam, bahkan menyusulkan bekal makan siangnya.
Mereka akhirnya jatuh cinta dan menjalin hubungan gelap di kantor. Sering kali Yara memergoki mereka bermesraan. Sejak saat itu, hubungan antara Yara dan Fadli memudar.
Awalnya Yara juga iba melihat Mamanya di khianati, ternyata Meldi pun sama saja, Yara tidak sengaja memergoki Meldi sedang memadu kasih bersama rekan kerja/lelaki barunya itu di gudang rumah.
"Andai saja … Andai saja, waktu mundur itu ada. Huft, pasti aku akan sebahagia anak itu. Hah, sekarang jangankan mereka mengelus kepalaku, mengatakan aku menyayangimu saja sepertinya berat untuk mereka." batin Yara.
Sampai disekolah, hujan turun sangat deras mengguyur sekolahan. Bukan hanya sekolahan, malah satu kota juga terguyur air hujan. Sebelum turun dari angkutan umum, Yara membayar dulu ke supirnya. Nampak sahabatnya sudah menunggunya di depan gerbang sekolah dengan senyuman hangat kepadanya. Sahabatnya sampai heran kenapa Yara naik angkutan umum ke sekolah. Biasanya, dia akan diantar oleh kedua orang tuanya.
"Ini, Pak. Sisanya buat Bapak saja," kata Yara seraya memberi uang lembaran seratus ribuan kepada supir angkutan itu.
"Terima kasih ya, Neng. Padahal cuma lima ribu loh, ongkosnya. Ini, kok tidak mau di kembalian? Terima kasih banyak, pokoknya!" bapak supir itu terlihat sangat bahagia.
Yara segera membuka payungnya dan turun. Menghampiri Lana sang sahabat yang sudah menemaninya sejak mereka kecil.
"Tumben sekali kamu naik angkutan umum. Kemana Mama dan Papamu? " sapa Lana dengan pertanyaannya.
"Haha … seperti biasa, Papa dan Mamaku pasti sibuk. Yuk masuk!"
Alasan Yara tidak memberi tahu ialah, dirinya banyak tidak ingin semua orang tahu. Meski itu adalah sahabatnya sendiri, bahwa hubungan dengan orang tuanya sudah merenggang. Bahkan mungkin sudah ada di ujung tanduk hubungan kedua orang tuannya.
_-_-_-_--
Hari itu, hari pertama semua memulai semester baru. OSIS siap-siap untuk membina adik-adik kelas di sekolah itu. Semua memperkenalkan nama masing-masing ke depan.
"Perkenalkan wahai adik-adik kelas. Namaku, Dorry Prasetya. Kalian bisa panggilku dengan sebutan, Dorry. Ini reguku, namanya Sasa dan Banu. Ayo perkenalkan diri kalian masing-masing di depan sini, ya …," ucap ketua OSIS memperkenalkan diri.
"Dimulai dari … kamu!" Dorry menunjuk Yara.
"Kenapa harus aku, sih!" Yara mulai menggerutu.
Yara pun berdiri dari tempat duduknya. Ia merapikan bajunya dan segera maju ke depan. Semua siswa laki-laki memperhatikan langkah Yara yang mempesona. Itu membuat Sasa tidak menyukainya, karena dirinya merasa tersaingi menjadi gadis terpopuler di sekolah.
"Perkenalkan, namaku Yara Nadja. Aku dari SMP sebrang jalan sana. Senang bisa berkenalan dengan kalian," sapa Yara dengan singkat.
"Sudah, begitu aja? " tanya Dorry dengan santun.
"Terus maunya bagaimana? Lengkap, sertakan nomor ponsel dan tempat tanggal lahir? Maaf, aku di sini untuk belajar, bukan cari pacar!" jawaban Yara membuat semua siswa dan kakak kelas di sana diam.
"Hih, astaga. Narsis sekali kamu!" seru Sasa sambil mendorong bahu Yara. "Sok cantik!"
"Kita disini sama-sama menjadi pelajar. Kau kakak kelasku dan anggota OSIS, aku menghormati itu. Tapi dengan caramu mendorongku seperti ini, tanpa sengaja kau juga mengajari keburukan juga disini," perkataan Yara membuat ketua OSIS sangat takjub.
"Kurang ajar banget sih tuh anak! Cih, lihat saja nanti. Pasti aku bisa lebih membuat dia malu di sekolah ini. Anak baru, kamu belum tau saja siapa aku!" seru Sasa.
Terasa suasana kelas menjadi semakin tegang, Dorry pun meminta Yara untuk duduk. Kemudian, meminta siswa lain untuk melakukan perkenalan.
Di samping itu, Dorry terlihat sangat tertarik dengan Yara itu. Dan itu membuat Sasa tidak menyukainya, karena Sasa menyukai Dorry sejak awal masuk sekolah.