Senja datang. Kamu bersamanya saat itu. Duduk menghadap jendela yang memberimu ketenangan laut jingga keemasan dengan memegang secangkir kopi hitam dingin. Sudah terlalu lama pesanan itu datang. Kamu menolak merasakannya ketika asap panas yang mengepul di udara karena uapannya masih mampu di lihat mata. Hanya menyentuh cangkirnya, lalu terdiam menunggu kehadiran senja tanpa sedikitpun ingin terganggu oleh ramainya kafe karena pelanggan yang berdatangan.
Kamu tau? aku juga disana, seandainya saja kamu bersedia menoleh untuk menyadari eksistensiku dalam satu ruangan yang sama denganmu. Tepat di sudut ruang, hanya berjarak sekitar dua meter dari meja yang kamu pilih. Cukup dekat. Cukup dekat agar aku bisa berlari ke arahmu, lalu memelukmu dari belakang. Tapi aku tidak bisa.
Tidak cukup berani menampakkan diri di hadapanmu lagi. Meski berapa kali kuyakinkan, sekedar menyapa saja. Tidak perlu menuntaskan rindu dengan pelukan pun tak apa. Tapi nyatanya aku memang tak mampu. Sedalam itu aku bersikeras, sedalam itu pula aku menolak dengan cepat. Resikonya besar. Mungkin akan terjadi sesuatu setelahnya. Dan aku belum siap atas itu. Jadi aku tetap memilih pada pendirianku yang mengatakan diam di belakangmu lebih baik. Tanpa sepengatahuanmu, tentu saja. Karena tujuanku memang agar kamu tidak tau.
Menghabiskan waktu di sudut ruang seperti biasa ini, aku menjadikannya rutinitas favoritku yang kujalani pada tiap akhir pekan. Ini sudah lebih dari cukup yang harus ku syukuri. Sudah cukup juga aku akan tersenyum memastikanmu baik-baik saja. Memperhatikanmu dengan menikmati secangkir green tea tanpa bosan. Objek yang selalu berhasil menyita atensiku sedemikian rupa meski tanpa usaha.
Sama sepertimu, yang pasti akan datang untuk sekedar menyempatkan diri menyaksikan mentari berpulang. Selalu. Dihari yang sama denganku.