"Dina, bangun! temanin emmak ke pasar" teriak ibuku membahana.
"Iya mak, Dina bangun"
aku menggeliat dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. yup, aku anak berbakti 😅, lebih tepatnya malas mendengar ibu marah2 makanya semua permintaannya pasti kuindahkan.
aku mengambil jaket dari kamar, motor sudah terparkir di teras belakang. bapak sudah mengeluarkannya ternyata. aku tidak harus sudah2 mengeluarkan motor dari gudang. aku tersenyum lebar, love u dad, gumamku.
"emmak mana? aku udah siap" teriakku sambil membenarkan kaca spion.
"sudah dari tadi" kata ibu tiba2 muncul di belakangku. ternyata dia sudah naik. aku mengelus dada kaget.
"kita berangkat dulu pak" teriakku lagi.
"pelan2 bawa motornya, tunggu jalanan kosong baru masuk jalanan besar itu" kata bapak dari belakang rumah. aku mengangguk malas, semenjak hampir tabrakan setengah tahun lalu bapak terlalu "mengkhawatirkan" jika aku yang harus bawa motor. jika saja si soimah (sapi keluarga kami) tidak sedang beranak kecil (baru saja melahirkan) bapak dengan senang hati mengantar ibu ke pasar.
Di pasar aku masih mengekori ibu yang sedang melihat2 sayur dan sesekali bertanya padaku soal mana yang harus dibeli. aku hanya mengangguk dan menjawab pelan. suasana pasar cukup ramai pagi ini, untung saja ibu tipe yang tidak suka berlama2 di pasar.
setengah jam kemudian, kami sudah dalam perjalanan pulang. aku menghirup udara segar dan menikmati pemandangan indah sepanjang perjalanan. sudah hampir sebulan aku berapa di kampung halamanku. dan sudah sebulan sejak kejadian itu. aku menghela napas panjang saat mengingatnya.
-0-
setelah bangun, Imah sudah duduk di sampingku.
"kakak udah bangun?" aku mengangguk pelan.
"makasih yang Imah, maaf sudah merepotkan kamu"
"ngga apa2 kak" katanya sambil tersenyum.
"jadi kenapa kakak bisa kambuh kayak tadi? bukannya kakak udah sembuh total" lanjut Imah.
"kupikir juga begitu, aku baik2 saja saat di bonceng tapi... " kataku frustasi. Imah mengelus tanganku.
"memang kakak diapain?" tanya Imah lagi. aku menatapnya sebentar lalu mulai bercerita soal pertemuanku dengan Fadil sampai kejadian hari ini.
"kakak, ngga cerita soal keadaan kakak?" tanya Imah diujung ceritaku.
"ngga, kupikir phobia itu sudah sembuh dan aku normal seperti orang lain" kataku dengan senyum pahit.
"lebih baik kakak cerita baik2 sama dia, tadi dia juga sepertinya kaget liat kakak begitu" kata Imah, aku mengangguk setuju.
-0-
aku sedang duduk di teras kosan, Imah sedang berbicara dengan temannya yang datang. aku menatap hape dan mencari nama Fadil, aku menunggu sambungan.
"halo, Aldina" kata Fadil dari seberang.
"hai Dil"
"lu udah ngga kenapa2? gue khawatir tau"
"iya gue baik2 aja sekarang, sorry gue bikin lu khawatir"
"bagus deh kalau lu udah baik2 aja, tapi tadi lu kenapa? sakit" tanya Fadil membuatku menarik napas pelan.
"iya gue sakit, harusnya gue cerita sama lu dari awal kita ketemu. tapi gue pikir aneh juga kalau cerita hal ini padahal kita baru kenal. tapi karena lu udah liat tadi makanya gue bakal cerita"
"..."
"gue punya gangguan panik gara2 phobia waktu kecil dulu. gue bakal kayak tadi kalau disentuh sama cowok. awalnya kupikir aku sudah sembuh tapi ternyata.. lu bisa liat sendiri kan" kataku dengan senyum miris.
"jangan bilang, gara2 tadi gue pegang2 lu makanya..."
"yup" aku memotong kalimat Fadil. "tapi ini bukan salah lu, ini salah gue karena ngga ngecek keadaan gue" lanjutku lalu terkekeh garing. hening, aku sampai mengecek hape, apa sambungannya udah diputus.
"iya, harusnya lu periksa baik2 keadaan lu. jadi semua ini tidak harus terjadi, dan gue ngga harus lakuin hal2 itu ke elu" kata Fadil dengan nada yang tidak pernah kudengar sebelumnya. aku terdiam sebentar, ada rasa seperti ditusuk tulang ikan di leherku. mataku terasa panas karena tidak berkedip. anehnya aku malah makin terkekeh
" iya lu bener, sorry udah bikin lu susah. dan makasih buat semuanya" kataku lalu memutuskan sambungan. aku menyentuh pipiku, basah. aku melihat kaca ternyata air mataku. aku menangis, kenapa? kata2 Fadil tidak ada yang salah. tapi, ada rasa sakit yang membuatku susah bernapas.
-0-
aku berjalan lunglai ke kampus, aku masih belum membalas chat Fadil yang masuk setelah kejadian malam itu. aku masih tidak tahu harus membalas bagaimana, dilihat dari sisi manapun kata2 Fadil membuatku sakit hati.
marah2 pada Fadil sepertinya cukup aneh menurutku karena kata2nya benar. sedangkan bertingkah seperti biasa akan membuatku terlihat konyol. jadi, kusimpulkan kalau mendiamkan chatnya adalah hal yang paling benar.
untung saja aku disibukkan oleh seleksi asisten lab beberapa hari belakangan. pikiranku bisa kufokuskan kesitu. hari ini pengumuman siapa2 saja yang akan diterima sebagai asisten di lab geopadat untuk semester depan. setelah itu aku bisa pulkam dengan damai. teror bapak sudah makin gencar. aku masih melamun soal teror bapak saat motor berhenti tepat di sampingku
"hei, apa kabar? " suara yang sangat akrab itu membuatku mengangkat kepala.aku membatu, untuk beberapa saat lupa napas. "chat gue kok ngga pernah lu balas?"lanjutnya sambil nyengir lebar dan melambai di depan wajahku membuatku sadar dan kakiku tiba2 saja melarikan dari sana. aku berlari sekuat tenaga, otakku secara refleks menganggap fadil sebagai bahaya. setelah cukup jauh aku melihat ke belakang, dan bersyukur dia tidak mengejar. samar2 wajah bengong fadil terlihat di kejauhan.
-0-
"kenapa juga gue lari? bego" kataku pelan.
"hah? kamu ngomong apa? " kata ibu di belakangku.
"bukan apa2 mak, kita udah mau sampai" kataku kaku, tumben telinga ibu peka.
"emmak juga tau kalau itu" balas ibu sewot.
aku menyesali tindakan bodohku. mungkin aku terlalu miskin dengan ilmu soal hubungan dengan cowok. tapi, dengan kejadian ini aku mendapat pengalaman dan bisa melupakan rasa sakit yang tidak jelas yang kurasakan. aku saja yang terlalu alay dan lembek. selain itu, "dia juga bukan siapa2ku kan?" gumamku dalam hati.
time to enjoy my holiday..