Aku tak punya pikiran mengenai mengapa, atau bagaimana bisa aku berada di sini.
Semuanya berlangsung cepat, dan terasa ganjil di sini.
Yang kuingat pasti, hanya paket misterius berisi program permainan, tubuhku yang perlahan nampak pudar, dan voila! aku ada di sini sekarang.
Baiklah. Kini, prioritasku adalah memenangkan permainan gila ini sembari menyelidiki keganjilan yang ada.
***
"Bagaimana? Kau percaya, kan?"
Mata hazel itu menatapku lekat, isyarat bagiku untuk menurunkan laras senjata.
"Untuk saat ini, ya. Di permainan gila ini, tak ada yang dapat benar-benar kau percayai, bukan begitu?"
"Well, kurasa kau ada benarnya juga. Ngomong-ngomong, kemana kau akan pergi?" selidiknya sembari menyalakan sepuntung rokok.
"Entah, mungkin aku akan pergi ke zero point. Kenapa kita tidak pergi bersama saja?"
"Hei, kau menjilat ludahmu sendiri? Kau bilang sulit untuk percaya siapapun."
"Aku tidak akan menarik kata-kataku. Toh, kau juga tidak memiliki senjata. Jika kau berbuat sesuatu yang mencurigakan, aku akan melubangi kepalamu. Tak ada yang perlu kucemaskan," balasku singkat.
Pagi mulai semakin cerah, hewan-hewan liar juga mulai mencari mangsa. Daripada membuang waktu, lebih baik aku segera pergi ke zero point.
***
"Selamat datang di zero point, nikmati hari anda."
Sambutan terdengar saat kaki melewati bangunan besar seperti gapura. Di baliknya, bangunan-bangunan layaknya bangunan abad ketujuh belas tertata rapi mengelilingi sebuah air mancur besar. Tiap bangunan memiliki taman kecil didepannya, dengan koloni bunga mawar dan lavender mengisi tiap jengkal tanahnya.
Di sekeliling air mancur, beberapa pemain nampak berkumpul. Bermacam ekspresi muncul di wajah mereka, dari raut muram hingga raut antusias semuanya ada.
"Aku sedikit bingung akan hal ini. Kita semua dari wilayah yang berbeda, bukan? Lantas, kenapa aku mendengar semua orang berbicara dengan bahasaku?"
"Entah, mungkin sistem penterjemah. Kita berada dalam permainan, ingat? Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan. Boleh aku mengetahui namamu?"
Dia ada benarnya juga. Lagipula, akan susah bagi kami untuk berkomunikasi jika tidak mengetahui nama masing-masing.
"Namaku? Oh, perkenalkan, aku Jarwo, Jarwo Supriyono. Bagaimana denganmu?"
"Ha?"
"Maksudku namamu. Siapa namamu?"
"Oh, namaku. Aku Edward Park."
Dalam perbincangan, mataku menatap sekitar. Wajah-wajah penuh ekspresi nampak diantara kumpulan manusia. Dari yang nampak lesu, hingga wajah penuh antusias.
"Bagaimana kita akan menemukan rekan kita?"
"Sebenarnya, tiap anggota tim memiliki 'sense' tersendiri. Jadi, tak sulit untuk menemukan rekan kita," jelas Park singkat.
"Lantas, mengapa aku tak bisa memgenalimu sebagai rekan?"
"Entah, mungkin bug."
Pria itu kembali mengeluarkan sepuntung rokok, lantas menyalakannya kembali dan menghisapnya dalam-dalam.
"Ngomong-ngomong, kau sudah tahu tentang jadwal 'pertandingan'?" tanya Park sembari menghembuskan asap rokok ke udara.
"Aku tak tahu soal itu."
"Sayang sekali. Padahal kuharap kau mengetahuinya."
"Kau benar-benar penuh semangat, huh."
Dalam hitungan jam, zero point sudah begitu ramai. Beberapa orang lalu lalang mencari rekan, beberapa lagi nampak sibuk membaca selebaran di papan pengumuman. Beberapa lagi nampak murung dan bertingkah tak jelas, beberapa nampak normal, sedangkan beberapa lagi terlihat seperti orang sinting.
"Di permainan ini, nampaknya kewarasan tidak terlalu penting, bukan?"
Sebuah tangan menepuk pundakku keras, seakan mencoba mengakrabkan diri. Sang empunya tersenyum tipis, lantas tertawa kecil.
"Kau dari tim ular, bukan? Nampaknya, kita akan berjumpa dalam waktu dekat ini," ujar pria itu hangat.
"Ummm, siapa kau?" tanyaku.
"Oh, lancangnya aku. Perkenalkan, namaku Franć le Roý dari tim serigala."
"Maksudmu tim anjing?"
"Hei, tidak sopan berkata seperti itu, monsieur."
Cih, kini ia berlagak menjadi 'pria terhormat'. Sungguh menggelikan.
"Ah, tak sabar rasanya aku mendengarkan jeritan pilumu. Semoga berhasil di pertandingan yang akan datang. Guttennacht."
Tunggu dulu, guttennacht? Pagi menjelang siang begini, guttennacht?
Seseorang, tolong perbaiki kepalanya. Delusi bercampur kekonyolan itu membuatnya terlihat bodoh.
***
'Robert van Herrie (tim ular) tewas'
'Musashi Asakura (tim naga) tewas'
'Lee Jung Sook (tim kelinci) tewas'
....
Tulisan-tulisan itu melayang memenuhi penglihatan. Total sekitar dua puluh empat nama telah terbunuh secara misterius. Yang ganjil disini adalah, tak ada satupun nama dari grup bernama mask rabbit.
Mungkinkah, mereka yang membunuh pemain-pemain lain?
"Anu, permisi."
Suara yang begitu lembut, namun jelas meruntuhkan lamunanku. Kucoba menolehkan kepala mencari sumber suara. Benar saja, seorang gadis berdiri di sampingku, sembari menjulurkan buku yang dibawanya. Buku bersampul merah darah dengan gambar ular.
"Oh, kau tim ular juga?" tanyaku datar.
"I-iya."
Rambut hitam panjang menutupi wajahnya. Namun kulihat dari bahasa tubuh dan ciri fisik selain wajahnya, bisa kusimpulkan ia berasal dari kawasan Asia Timur.
"Sense-mu bekerja dengan baik sepertinya. Tidak sepertiku. Untung saja kau menjulurkan buku itu padaku," celotehku sembari mengusap ujung pisau dari senapan yang mengkilat akibat pantulan cahaya matahari.
"Pria itu yang memberitahuku. Dia bilang, kau pemimpinnya."
Pria itu, Park? Baru pagi ini kita bertemu, dan ia berani menyertakanku dalam keputusan tanpa memberitahuku?
"Sudah kuduga, Park. Kau sulit dipercaya."
"Hei, ada apa dengan tatapan itu? Tenanglah, kawan. Menjadi pemimpin bukannya menyenangkan?"
"Terserah. Nah, nona, sekarang kau bagian dari tim kecil ini. Dan ngomong-ngomong, bisa kau tunjukkan wajahmu? Aku tak mau salah menyerang orang karena tak mengenal wajahnya."
"Umm, bai-"
Bunyi sirine memotong percakapan kami. Tak begitu lama, lantai batu mulai menciptakan formasi retakan teratur. Desis mesin terdengar nyaring, lantas disusul dengan munculnya panel dari bawah tanah.
Panel itu penuh dengan senjata, dari senjata jarak dekat hingga senjata jarak jauh. Kurasa waktu untuk bertarung semakin dekat.
"Perhatian. Pertandingan akan dimulai dalam tiga puluh menit."