"DEVAAAN!!! BERHENTI KAMU DI SITU!!!"
Teriakan membahana itu menggema di sepanjang koridor kelas XI SMA Avisenna7, membuat beberapa siswa yang berlalu lalang memutar bola mata jengah, namun ada juga yang menahan tawa diam-diam karena takut dengan amukan wanita itu, guru BK mereka.
"Saya nggak salah, Bu! Bolanya yang mecahin guci itu, bukan saya." Balas cowok itu sambil berlari menghindari kejaran gurunya.
Semua siswa-siswi SMA Cakrawala memang sudah terbiasa melihat adegan kejar-kejaran antara salah satu badboy tampan dengan guru BK-nya tersebut, maka tak jarang banyak juga yang nggak peduli, tapi sebagian lagi yaitu para siswi memandang kagum salah satu most wanted sekolahnya sambil cekikikan.
"DEVAN!!! SAYA BILANG BERHENTI DI SITU SEKARANG JUGA!!" perintah Bu Dian sambil terus berusaha mengejar Devan, namun usahanya tak berhasil, karena lama kelamaan napasnya serasa habis, tulang kakinya seolah nggak bisa diajak kompromi. Maklum saja, di usianya yang sudah setengah abad, sepatutnya dia hanya duduk manis di atas kursi, bukan malah mengejar murid badung-nya keliling sekolah.
"Saya bakalan berhenti asalkan Ibu nggak ngasih saya huk-"
Brugghh...
Perkataan Devan terpotong saat dia tak sengaja menabrak seseorang. Devan mengumpat pelan, sebelum akhirnya berdiri dan membersihkan celananya yang sedikit kotor.
"Lo nggak papa nggak mama, Ren?" tanya Devan dengan nada dibuat-buat.
Gadis yang dipanggil Ren itu hanya mendelik sebagai jawaban, menatap tajam ke arah Devan yang menyeringai di depannya.
"Lo perlu dibawa ke UKS, rumah sakit atau mungkin rumah gue?" godanya sambil memasang senyum maut, tapi sayangnya sama sekali nggak mempan, karena gadis itu hanya melengos sambil menggumamkan kata 'gaje' dengan pelan. Tapi sayang, telinga tajam Devan sudah terlanjur mendengarnya.
Ajegilee... senyum gue dikacangin, bro! Dasar datar, body kok kaya papan penggilesan.' Batinnya terus mengoceh, tidak sadar bila sang guru sudah berada di sampingnya.
"Kena kamu ya! Baru juga masuk lagi di sekolah, saya udah nguber-nguber kamu. Dasar bandel!" ucap Bu Dian dengan napas yang terdengar tidak beraturan.
Kehadiran Bu Dian yang tiba-tiba membuat Devan terkesiap sesaat. Cowok itu merutuk dalam hati, bisa-bisanya ia lupa dengan guru kesayangannya itu.
"Astajimm! Ehh..., ada Bu Dian yang cantik," Devan menoleh sambil memasang cengiran kuda.
"Astajim-astajim! Cepat ikut saya ke ruang BK!" titahnya sambil menjewer kuping Devan 'si murid badungnya' .
"Aduduuuhh Buu, ampun!! Jangan jewer saya lagi dong, Bu. Nanti bisa turun kualitas kegantengan saya di depan para cecan."
"Makanya kamu jadi anak jangan bandel!"
"Iya, Bu. Saya nggak akan bandel lagi, deh. Jadi sekarang ibu lepasin tangan ibu ya..." Devan memohon sambil memasang Puppy eyes.
'Ehh si Paren kemana? Ck, Gara-gara dewi kematian jadi ilang deh tuh cewek,' batinnya saat menyadari gadis itu sudah tidak ada di tempat dimana dia berada tadi.
"Enak aja main lepasin kamu gitu aja, saya sudah cape ngejer-ngejer kamu keliling satu sekolahan tahu nggak?! Dan sekarang kamu minta dilepasin?! Lagian kalau saya lepasin kamu, emang siapa yang bakalan jamin kalau kamu nggak akan kabur lagi?!"
"Ya, tapi Bu-"
"Udah cepet jalan! Jangan banyak protes!" ucap Bu Dian sambil terus menyeret Devan ke ruang BK. Devan pun hanya mampu menghela napas, pasrah bahwa sebentar lagi dia akan mendapatkan nasihat yang panjangnya sama dengan tol cipularang, beserta dengan hukuman yang sudah menantinya.
Ck! nasib, nasib.
❄❄
Setelah acara hukuman yang diberikan oleh Bu Dian yaitu memungut sampah dedaunan di belakang sekolah selesai dia kerjakan, Devan langsung melesat ke kantin. Selain untuk mengisi perutnya, dia juga bisa menggoda gebetan-gebetannya. Namun saat di jalan, tanpa sengaja ia menabrak seseorang karena pandangannya fokus pada ponsel.
Devan berdecak kesal.
Klise banget! kaya di sinetron aja.
"Lo kalo jalan pake mata dong!" Devan mendengkus sebal, matanya melihat ke bawah di mana orang yang ditabraknya tengah duduk menunduk. Namun saat gadis itu berdiri dan mendongak, mereka sama-sama terkejut.
De ja vu.
'Dia lagi, dia lagi. Hobi banget nabrak orang!' batin gadis itu kesal.
"Sorry ya, gue jalan pake kaki bukan pake mata," balas Enzy sewot.
Mendengar nada yang tak mengenakkan itu membuat Devan melotot. Tidak lama, hanya sepersekian detik, karena setelahnya dia sudah merubah raut wajahnya kembali.
"Nggak usah ngambek gitulah Paren pirang, mending kita sekarang pake yayang aja panggilannya, yayang Devan yang paling tamvans," balasnya sambil mengedipkan sebelah mata, tak lupa dengan senyum manis yang mengiringinya.
"Nama gue Fahren, Fahrenzy, bukan Paren. Dan perlu lo tahu, rambut gue cokelat bukan pirang! So, stop call me Paren pirang, dude!"
"Ihh! Kasar," sahut Devan dengan nada menjengkelkan. "Babang Devan nggak suka sama cewek kasar, lho."
"Dasar sinting!" maki gadis itu kesal lalu berbalik hendak pergi.
Dengan sigap Devan mencekal pergelangan tangan gadis itu. "Mau kemana lo?"
"Lepasin gue brengsek!" gadis yang selalu dipanggil Enzy itu berteriak nyaring. Ia menatap Devan dengan pelototan tajam. Sumpah demi apapun, Faren tidak menyukai cowok di hadapannya.
"Heh, udah berapa kali gue bilang, yang sopan sama kakak kelas?" balas Devan, kali ini tidak ada nada humor dalam kalimatnya. "Sekali lagi gue tanya, mau kemana lo sekarang?"
"Penting gitu buat lo tahu?!" jawab Enzy sarkas, lalu menepis tangan Devan dari pergelangan tangannya.
'Anjir. Nyolot juga tuh adek kelas! Untung cewek.'
"Iyalah, gue udah lo tabrak dua kali hari ini. Gue mau minta tanggung jawab."
"Lo emang cowok paling brengsek dan ngeselin yang pernah gue kenal!" desis Enzy tajam.
Suasana koridor cukup sepi, maklum, jam istirahat sudah dimulai dari beberapa menit yang lalu, jadi keduanya tidak perlu khawatir menjadi bahan tontonan karena sebagian besar murid Avisenna sudah memenuhi kantin, hanya beberapa siswa saja yang terlihat hilir-mudik, itupun mereka nggak peduli. Sudah terbiasa dengan kelakuan Devan yang suka godain cewek, lebih tepatnya, sudah terbiasa dengan pertengkaran tak berujung keduanya.
"Whaaa!! Seorang Fahrenzyana Arnita, si anak OSIS yang selalu dipuji sama guru-guru karena prestasinya mengumpat di depan orang yang lebih tua?! Dasar muka dua lo!"
"Apa masalahnya buat lo?"
Devan mengendikan bahu acuh. "Nggak ada, sih. Gue cuma nggak suka aja sama lo."
"Kebanyakan makan micin nih cowok, jadinya otaknya bego. Hobi kok kritik orang lain. Sana urusi aja kehidupan pribadi lo sendiri." Faren mendengkus.
"Kehidupan gue udah terlalu menarik minat banyak orang. Gue kan ganteng!"
Sumpah demi apapun! Faren pengen muntah di wajah sok kecakepan di depannya.
"Ngomong sama lo tuh emang nggak ada faedahnya. Semuanya sampah!" ujar Faren seraya berjalan menjauh.
"SIALAN LO PAPAN! LO LIHAT AJA APA YANG BISA GUE LAKUIN SAMA LO!!!"
Yang jelas, Faren nggak peduli. Sebodo amat sama makhluk ghaib yang lagi misuh-misuh itu.
❄❄
"Eh, petugas pembersih sekolah udah nyampe tuh," seloroh Vano menunjuk Devan yang baru tiba di mulut kantin, sontak mengundang tawa dari temannya yang lain.
"Sialan lo, Van!"
"Hahaha... Lagian lo cari masalah mulu sih,"
"Serasa nggak menantang kalo nggak bikin masalah," balasnya kalem sambil meminum jus jeruk yang ada di meja.
"Heh! Itu punya gue coeg, beli aja sono!" pekik Vano sambil menjitak kepala Devan, yang dibalas cengiran polos.
"Dev, Dev. Mau sampe kapan sih lo kaya gini?" Rudi menggelengkan kepalanya perihatin.
"Sialan! Kaya lo kagak aja?" Devan mendengkus dengan tangan yang menoyor kepala Rudi, semua yang di meja tersebut tertawa atas tingkah absurd keduanya.
"Oh iya, Dev. Tadi di kelas ada peliharaan lo nyamperin," kali ini giliran Fadil yang biasanya paling waras di antara mereka mulai berbicara.
"Lo punya peliharaan secantik Kamila nggak bilang-bilang, nggak setia kawan banget." Rudi ikut menyahuti.
"Gue sih nggak tertarik sama dia, centil gitu orangnya," celetuk Vano, ia kembali teringat saat tadi digombali malah mendapat tatapan jijik dan makian pelan. Sialan banget kan? Padahal Vano juga nggak kalah ganteng kok dari Devan.
"Oh, biarin ajalah," sahut Devan nggak minat.
"Lo nggak jadian sama dia, kan?" tanya Vano masih penasaran. Dalam hati, cowok itu berharap Devan nggak pacaran sama nenek lampir macam Kamila. Dia masih sakit hati keles ditolak secara nggak langsung, ya meskipun badan aduhai-nya kadang bikin cowok nggak nahan.
"Nggaklah! Selera gue rendah banget jadian sama dia."
"Whoaa! Cewek bahenol lo tolak, bego! Apa lo emang udah iya-iya sama dia makanya lo udah bosen," timpal Vano sambil membuat tanda petik di udara menggunakan dua jarinya. Melupakan fakta bahwa tadi dia sempat bilang 'nggak tertarik'.
Repleks, Devan menendang kaki Vano yang berada di bawah meja, membuat cowok itu memaki dan yang lain tertawa atas penderitaan sahabatnya itu.
"Lo yang bego! Giliran cewek bahenol aja lo gercep banget! Otak lo isinya emang nggak jauh dari Miyabi, sih!"
Ingatkan Vano untuk sekedar melempar Devan ke samudra Atlantis. Dia tidak habis pikir, kenapa Devan membeberkan aibnya secara gamblang di tempat umum. Bukan takut imagenya turun, Vano cuma nggak mau omongan Devan kedengeran sama guru piket, dan ujung-ujungnya dia harus melaksanakan hukuman yang sudah seperti teman seperjuangan ini lakukan.
Vano sih ogah! Sorry la yaw~
"Oh, iya. Kelas gue dimana?" tanya Devan saat menyadari kalau dia belum tahu di mana kelasnya berada. Di sekolah ini, setiap ajaran baru, kelas akan kembali diacak sesuai jurusannya masing-masing.
"IPA 2, kita semua sekelas lagi." Jawab Fadil kalem sama seperti biasanya.
Devan menganggukan kepalanya. Tanpa sadar, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, membuat para siswi yang mencuri pandang di sekitarnya harus memekik tertahan atas senyuman tersebut. Manis banget, sumpah.
"Anjir! Gak kuat gue ya Allah!"
"Meleleh gue lihat mereka barengan kaya gini,"
"Maka nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan. Emang bener-bener cogan semua mereka,"
"Gue rela jadi sedotannya guyss...."
"Please, Tuhan. Kasih salah satu dari mereka buat gue..."
Devan nggak peduli lagi sama omongan para siswi penggemar cogan sekolahnya. Baginya itu sudah biasa. Resiko orang ganteng banyak yang suka.
"Bagus deh, gue bisa nitip absen kalo ada kalian. Hahaha...."
Vano memasang wajah manisnya. "Ihh..., Babang Devan, kita kan emang nggak akan terpisahkan, tanya aja sama Mas Rudi. Iya kan, Mas?" Vano melirik Rudi yang berjengit jijik di tempatnya.
"Anjing!"
"Bangsat lo, Van!"
"Banci lo, goblok!"
Maki ketiganya secara kompak, membuat tawa Vano kembali meledak. Lelaki itu sampai memegang perut saking lucunya melihat raut ketiga sahabatnya itu.
"Gue duluan ke kelas deh, dari pada lihat muka si bego Vano ini!" Devan bangkit dari bangkunya, tidak lupa mengambil jus Vano yang ditaruh di atas meja.
"Hahaha... lo bener, Dev. Gue juga balik kelas deh." Setelah membayar, Rudi dan Fadil segera menyusul Devan, membuat Vano yang tadi melongo mengeluarkan umpatannya.
"SIALAN EMANG LO SEMUA!! DASAR TEMEN-TEMEN BANGSAT!!"