Chereads / Jenius Yang Nakal / Chapter 19 - Memakiku dengan lembut

Chapter 19 - Memakiku dengan lembut

Hati Adith yang begitu pedih membuat dadanya serasa sesak melihat kondisi Alisya, yang terbaring lemah tak sadarkan diri. Selama perjalanan Adith tidak berani menyentuh seujung jari Alisya, meski ia sangat ingin sekali menggenggam tangannya dengan erat.

Tidak butuh waktu lama, mereka segera dilayani oleh seluruh dokter terbaik yang ada di rumah sakit Internasional Indonesia, yang sudah berjejer rapi berharap-harap cemas akan kedatangan mobil ambulance yang tidak diketahui oleh mereka, siapa yang telah membuat Si penguasa mengaum begitu keras.

"Jangan khawatir, kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk meninjau kondisinya." Kepala rumah sakit berusaha menenangkan Adith begitu melihatnya turun dengan gontai dari mobil.

Adith hanya mengangguk dan berlalu pergi menuju ke toilet mencuci wajahnya untuk kembali memfokuskan dirinya.

"Siapa sebenarnya dirimu Alisya? Kenapa aku bisa sampai setakut ini jika kehilanganmu." Adith mengingat kembali dirinya yang begitu dingin dan tidak terlalu suka dekat perempuan, menemukan dirinya yang tak terkendali dihadapan Alisya. Tanpa ia sadari kalau ia merasa terikat dengan diri Alisya.

Ia mendesah begitu keras mengingat ketidakberdayaan dirinya. Ia bahkan tidak mampu bergerak se incipun dan malah bercucuran keringat dingin dihadapan gudang sekolah. Ia merasa marah dengan kelemahannya. Rasa trauma yang tidak hilang meski sudah 10 tahun berlalu.

"Pak Dimas, cati tau mengenai kejadian di sekolah yang melibatkan Alisya, hari ini. Beri mereka pelajaran yang membuat mereka takkan pernah menampakkan wajahnya dihadapan Alisya lagi." Suara Adith begitu tegas dan mengintimidasi ketika dia menelpon Asisten keluarga Narendra.

"Baik Tuan!" Ia tak berani bertanya ketika mendengar suara Adith, yang tidak seperti biasanya dan membuatnya sedikit takut.

Alisya sudah berada di ruang rawat VVIP kelas 1, yang sudah dipersiapkan oleh Adith sebelumnya.

"Bagaimana kondisinya?" Adith berjalan masuk langsung menyerbu para dokter yang berdiri menghadapi Alisya.

"Kondisinya baik-baik saja. Kamu tidak usah khawatir, dia hanya butuh istrahat yang cukup." seseorang yang berada paling ujung dekat Alisya, menjawab dengan wajah lembut.

"Apa ruangan ini kedap suara? Itu akan sangat berguna bagi kesembuhan Alisya." Tambahnya lagi.

"Tentu saja! Ruangan ini dirancang khusus untukku, karena aku juga tidak begitu menyukai keributan." Jawab Adith sambil memicingkan matanya karena bingung dengan siapa yang diajaknya berbicara.

"Dia ayahku, aku sudah mengatakannya padamu sebelumnya! Dialah yang lebih mengetahui mengenai Kondisi Alisya." Karin datang bersama dengan Rinto dan Yogi setelah mengobati luka-lukanya.

"Perkenalkan saya Hady Reynand." Ucapnya sambil menjulurkan tangan.

"Radithya Azura Narendra! Saya teman Alisya." Jawabnya tegas.

"Dia dokter terbaik yang dimiliki Indonesia, prestasinya dalam bidang medis bahkan mendapat pengakuan dunia. Namun sekarang dia sudah tidak bekerja di rumah sakit manapun, kemampuannya sangat disayangkan." Terang kepala rumah sakit begitu Adith, menjabat tangan dokter Hady.

"Terimakasih, saya merasa tersanjung diingatkan akan hal itu. Tapi sudah keputusan saya untuk menjadi dokter pribadi Alisya. Dia sangat berarti bagiku." Senyum dokter Hady santun. "Apa kamu baik-baik saja?" Matanya sendu melihat kondisi Karin.

"Aku baik-baik saja Yah, Alisya bagaimana?" Suaranya lembut menenangkan ayahnya.

"Aku sudah memberinya suntikan penenang, dia akan baik-baik saja seperti yang sudah... Sudah. Tapi kali ini, aku sedikit khawatir dengan kondisi mentalnya. " Suara dokter Hady mengisyaratkan kesedihan yang mendalam.

"Dia akan bangun dan melupakan semuanya kembali Yah... Jangan khwatir, dia sudah mendapatkan emosinya kembali." Karin menatap Adith penuh arti.

Ayah Karin mengikuti arah tatapan anaknya dan mengerti akan apa yang dimaksud.

"Baiklah, aku harus kembali ke Lab. Ada hal yang harus aku lakukan secepatnya, sebelum Alisya bangun." Dokter Hady berjalan pergi, diikuti oleh semua dokter yang berada disana. Mereka mengantar kepergian dokter Hady, dengan sopan dan santun.

Setelah kepergian dokter Hady, semua dokter mengeluarkan lenguhan nafas dengar keras. Mereka seperti telah menahan nafas selama 30 menit, karena kedatangan dokter terhebat di Indonesia itu. Mereka takjub tak percaya bisa berada satu ruangan melihat dua orang top Indonesia, berbincang satu sama lain begitu dekat dihadapan mereka. Bahkan para suster yang melihat dokter Hady, pun tak bisa mengalihkan pandangannya karena ketampanannya yang tak lekang termakan usia.

******

"Bagaimana bisa mereka tertidur dengan posisi duduk seperti itu?" Tunjuk Adith melihat Yogi dan Rinto yang sudah meringkuk tertidur karena kelelahan.

"Biarkan saja, mereka sudah bekerja keras hari ini." Senyum Karin.

Ruangan hening beberapa saat, lalu kemudian Adith memberanikan diri bertanya akan maksud percakapan Karin dan Ayahnya sebelumnya dan maksud dari tatapan keduanya.

"Mengapa ayahmu bisa menjadi dokter pribadi Alisya? Dan... Apa maksud dari tatapan kalian berdua tadi?" Adith bertanya dengan canggung.

"Sepertinya kau sedikit melunak! Aku pikir kau hanya akan bersikap baik pada Alisya saja." Adith mengerutkan dahi mendengar ucapan Karin.

"Ehemmm... Itu karena alhamarhumah Ibu Alisya!" Jawabnya terbatuk melihat ekspresi kelam Adith.

"Jadi benar ibu Alisya sudah meninggal?" Adith tak percaya kalau ternyata gosip yang beredar ada benarnya.

"Ibu Alisya meninggal karena menyelamatkan aku dan Alisya, dari ledakkan Bom disebuah kafe keluarga tidak jauh dari Monas. Ayahku selalu menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa menyelamatkan ibu Alisya, karena pecahan kaca yang tertanam di kepala dan jantung ibu Alisya. Maka dari itu, ia menganggap kegagalannya sebagai aib terbesar dalam hidupnya yang membuat dia meninggalkan rumah sakit dan memutuskan untuk menjadi dokter Alisya." Terang Karin yang berada disisi kiri Alisya dengan suara lembut tidak ingin menganggu Alisya.

Adith masih mendengarkan dengan serius tepat di isi kanan Alisya.

"Bagaimana kamu berada di Kafe tersebut?" Adith bersuara lirih.

"Ayah Alisya sebenarnya menginginkan seorang laki-laki, itulah kenapa dia sangat disiplin kepada Alisya. Hal itu pula yang membuat Alisya, tidak memiliki seorang teman perempuan sampai ia bertemu diriku. Ibu Alisya sangat menyayangi kami berdua dan dia yang mengajak kami untuk makan diluar! Insiden Bom itulah yang menjadi trauma kedua yang dialami Alisya." Tambahnya lagi setelah mengusap peluh di dahi Alisya.

"Berkat kau, Alisya yang sudah kehilangan emosinya dan bahkan tidak merasakan sakit sama sekali, kini mulai dengan mudah menampakkan sedikit ekspresi di wajahnya. Aku sebenarnya bingung, apakah kalian pernah bertemu sebelumnya?" Karin memasang wajah serius dan penasaran.

Belum sempat Adith menjawab, perut Karin berbunyi dengan hebatnya membuat wajah Karin, tertunduk malu dengan kelancangan si kampung tengah.

"Sebaiknya kamu makan dulu, aku sempat mengira seseorang baru saja memakiku dengan lembut." Adith tertawa kecil mendengar bunyi perut Karin.

"Aku sampai lupa makan! Ikutlah bersama kami." Karin memanggil Adith untuk makan bersama, sambil membangunkan Rinto dan Yogi.

"Aku masih belum lapar, pergilah! Aku akan menemani Alisya disini." Adith memandangi wajah Alisya dengan lekat.

"Baiklah kami pergi dulu. Aku akan membawakanmu beberapa buah nanti." Ucapnya sambil berlalu pergi diikuti langkah gontai Rinto dan Yogi yang berjalan seperti zombie.

Sebenarnya Adith masih memiliki banyak perntanyaan kepada Karin. Mulai dari trauma Alisya yang disebutkannya sebagai trauma kedua, yang berarti Alisya memiliki trauma yang pertama. Dan mengapa Karin juga menganggap bahwa keduanya pernah bertemu seperti dirinya yang merasa bahwa pernah mengenal Alisya jauh sebelumnya. Namun ia tidak ingin memaksa Karin menceritakan semuanya dalam kondisi lapar seperti itu.

"Pak Dimas, Tolong selidiki nama Alisya Quenby Lesham dan cari tahu mengenai ledakkan BOM di sebuah kafe keluarga dekat Monas." Ucap Adith memberi perintah kepada Asistennya dengan suara tenang.