Hidup terlalu sakit untuk dihadapi dan terlalu lama untuk di lalui. Merindukan kasih sayang? Merindukan? Aku bahkan mengenal sayang saja tidak. Sedikit pun tidak. Gimana mau merindukan. Aku juga tak suka ikut campur urusan orang, sebaliknya . Yang kulakukan di kelas ini hanya duduk dan mendengar. Ya aku mendengar, bukan mendengarkan. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Yang kupikirkan hanya, apa yang terjadi selanjutnya nanti di rumah. Just it.
" Laura" Pak Sudarso memanggilku. Tapi aku tak mendengarnya.
"Laura"
Seseorang melempar ku gumpalan kertas. Aku sadar dari khayalanku. Aku melihat Pak Sudarso menatapku dengan mata berang. Takut?? Tidak sama sekali. Bahkan kalau ia memukulku, aku akan membalasnya. Aku muak akan beliau yang selalu berusaha ikut campur akan masalah keluargaku. Ya, ia pernah menyuruhku untuk nurut kepada orang tuaku. Padahal, ia tak pernah apa yang telah terjadi.
Teman... Di bumi ini, aku hanya memiliki seorang teman. Tapi, anenhnya ia tak pernah dilihat sama orang lain. Hanya aku. Kalian bisa menebaknya, siapa yang aku maksud sebagai teman selama ini. Mereka tak menganggapnya nyata, tapi sangat nyata bagiku. Dia pria tampan yang selalu ada di sisiku, selalu mendengarkan semua cerita penderitaan ini dan dia selalu menceritakan kehidupannya.
Aku pernah di permalukan di kelas, di depan guru aku. Mereka sekelas mengejekku dan menamaiku si dekil dan aneh. Mereka juga pernah mengadu ke orang tua mereka, bahwa mereka tak nyaman dengan keberadaanku di kelas ini. Oleh sebab itu, aku memilih bangku paling belakang dan paling ujung kiri dekat jendela. Adil? Ntahlah. Aku tak pernah merasa sakit hati dengan mereka. Bahkan secuil pun tidak. Karena aku juga bahkan tak pernah mengnggap mereka ada.
TBC.