Chereads / Where's My Love / Chapter 1 - PRAGUE

Where's My Love

Daoist770308
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 3.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - PRAGUE

💐💐💐

Anakku, terimalah beasiswa itu meskipun kita terpisah benua. Karena, Papah hanya ingin kamu dapatkan cita-cita dari hobi yang sejak kecil sudah kamu sukai. Selalu jadi dirimu sendiri seperti kata bunda. Papah mencintai Abnera dan akan terus mendoakan yang terbaik...

Jaga dirimu juga. Papah disini akan baik-baik saja, dan akan membuat rekor pembelian pajangan kaca terlaris hanya selama satu minggu, seperti mimpi kita. Hhe..

Bye.. my cuties! Take care ya..

-from Papa ♥️

***

Malam ini di Praha, jalan bebatuan yang kilat bekas air hujan dijejaki ruwetnya pasang kaki melintas. Suatu gang perbelanjaan seakan hidup begitu langit kembali cerah.

Hujan usai semeliwir angin dingin pun tak mengurung selera untuk berkeliling pada kawasan berdominasi turis ini. Perbelanjaan  souvernir khas dari kota Praha banyak diminati, walau hanya lesehan namun ditanya kualitas sama bagusnya dengan di pertokoan.

Diantara orang-orang sibuk memilah-milih barang souvernir pada tengah malam sekarang. Yang buat kehangatan disamping dinginnya temperatur adalah suara nyanyian seorang wanita, bernyanyi sendu seperti tak peduli dengan keadaan cuaca sekarang, petikan gitar mengiringi suaranya. Mata itu tertutup sengaja dibuat menghayati. Duduk pada kursi pantry yang diletakan depan suatu kedai, ia tetap melakukan apa yang sekarang dilakukan dengan nyaman. Bungkus gitar warna hitam telah sedia di depannya sedari awal, menjadi wadah duit pemberian.

Adam levine- Lost Stars, dengan versi akustik dia mainkan.

Beberapa turis menepi disela berjalan sana-sini memanjakan mata untuk belanja. Tak sedikit pula yang memberi uang selembar dua lembar, bahkan ada yang merekam video nyanyian wanita itu. Dimanjakan dengan lantunan lagu, sekiranya, ini memberi kenangan juga kepada turis, mengenang kota Praha sebagai kota yang penuh dengan kehangatan juga kisah romantis.

Beres tiga lagu dengan yang tadi. Penyanyi wanita yang hanya seorang diri ini mengucap terima kasih diantara senyum lebarnya begitu ia mendapat banyak dukungan dengan gemuruh tepuk tangan, apalagi point pentingnya, ia dapat gundukan uang hari ini.

Namaku Abnera Daralyn. Seperti yang kalian tahu aku menetap di Praha, sebagai mahasiswi semester tiga pada universitas seni di kota sini. Hidupku seperti sebatang kara karena meninggalkan ayahku di Indonesia. Iya, beasiswa yang menuntun ku kemari. Tak mudah melanjutkan pendidikan jauh dari orang-orang yang kita kenal, terutama keluarga. Salah satu kesulitan utama sekarang adalah menjaga beasiswa itu. Pertahankan  nilai agar tidak turun adalah hal tersulit. Sudah di ambang jurang sepertinya umpamaan yang tepat untuk menggambarkan kondisiku akhir-akhir ini.

Bagaimana tidak, aku dikucilkan disana, mental ini jujur memang lemah. Aku dibuat goyah hanya dengan hujatan tajam dari teman asing yang tak tahu perjuangan aku bisa sampai kesini. Tambah kecil saat mereka pun berasal dari keluarga kaya, sedangkan aku? Hah.. Sebenarnya tak ingin membadingkan, yang jelas dengan sekarang sehari-sehari aku jauh dari rutinitas mereka.

Rasanya ingin beasiswa ini lebih baik putus saja, agar aku juga putus kuliah lalu kembali pulang ke Indonesia. Namun, jika terjadi, seseorang akan kecewa. Dan aku gak mau, jangan jadi manusia egois, Ra.

"Abnera, kamu disuruh ke ruang pak Jack" baru datang, nama itu sudah dipanggil, dan ekspresinya terlihat tak mengenakan, sudah jadi pesimis duluan padahal baru diberi ekspresi. Abnera atau biasa disapa Nera cuma mengadu kedua kuku ibu jarinya, menatap kecemasan pada duduknya di kursi beroda hitam.

"..nilai kamu di semester ini sudah di ujung tanduk. Sedangkan ujian praktek akhir semester akan dilakukan minggu besok, tahu begini.. beasiswa kamu akan beresiko dicabut dan jika benar kejadian, terpaksa kamu tidak bisa ikut lagi  semester depan."

Kedua tangan pindah menggenggam tangan dosen dihadapannya, raut itu sudah meringis, "pak..tolong banget pak.. Biarkan saya melakukan perbaikan nilai.. Lagipula nilai saya pasti masih ada harapan, walaupun..hanya sekoma" genggaman makin kencang, dengan jelas gemetar rasa takut akan membuat sedih seseorang yang sekarang membatin dalam pikirannya, "..saya akan melakukan yang paling terbaik pak!" yakinnya.

Tapi sayang, orang bermata empat ini seakan angkat tangan, bahkan dia menjauhkan jarak dari genggaman tangan Nera, lalu berdiri dari kursinya, "..maaf sebelumnya Abnera. Perlu kamu tahu, disini tak ada perbaikan. Nilai kamu terlanjur lemah. Kalaupun hasil ujian praktek nanti keluar, dan semisal rata-rata nilai kamu berhasil naik lima atau sepuluh angka.. Masih tak akan berhasil."

Wanita berkuncir kuda disitu, membeku tak percaya, hanya menatap kecewa, pikirannya terbayang oleh seseorang. Nera sebenarnya tak peduli jikalau dia tak bisa kuliah lagi, tapi seperti sebelumnya, dia tak bisa untuk tidak peduli pada ayahnya yang sudah berjuang selama ini, anaknya ada di sini adalah cita-cita ayahnya yang bekerja sebagai pembuat hiasan kaca.

Mendekat, pria ini memberi lembar grafik nilai milik mahasiswi bernama Abnera untuk menunjukannya di hadapan mata,"Kamu tetap bisa melaksanakan ujian minggu besok, tapi semester depan, nama Abnera Daralyn di absen kemungkinan besar akan dihapus, lihat sendiri kenapa?"

Diperlihatkan hasilnya, mata Nera jelas terpancing untuk memerhatikan nilai itu, ia lalu menghela nafas, matanya berkaca-kaca. Dia kelu, sampai sesuatu terlintas di benaknya,

"..ujian praktek, aku harus benar-benar mendapatkan nilai sempurna?" itu satu-satunya agar beasiswa tetap bertahan.

Memperoleh nilai sempurna di akhir. Jelas sedikit tak mungkin, meski dirinya sendiri tak yakin namun apa lagi penyelesaiannya?, setidaknya Nera sudah berusaha bukan. "Jika sempurna, apa beasiswa tidak jadi dicopot, pak?"

"Tentu tidak"

***

"One hot mochacino latte and two ice strawberry milkshake pudding"

"Ok, one mochacino latte" ulang Nera pada costumer di depan meja kasir dengan pelan, "and.. . two strawberery milkshake pudding?" sekali lagi diyakinkan,

"yeah"

Jemari Nera menekan tombol di layar komputer- gambar pesanan yang dipesan tadi, setelah memproses, hanya menaruh cup sesuai dengan jenis minuman pada mesin disamping, semua bahan tercampur aduk otomatis, Nera menghampiri untuk mendapatkan tiga gelas ke tangannya begitu beres, lihat total di layar, "semuanya 12 euro" ucapnya disela merapikan penampilan cup minuman, tangan kini raih kardus penyimpan cup untuk satu mocachino latte panas, sedangan dua minuman dingin dimasukan ke plastik toko bening.

Pembeli memberi uang pas, diwaktu yang sama Nera memberi pesanan yang sudah siap diterima,

"Thankyou! See u next time" pemanis begitu costumers pergi keluar dari cafeteria, terakhir Nera menaruh uang tadi ke dalam brankas kasir.

Malam di Praha masih terang, masih ramai, Abnera duduk di kursi dekatnya, melihat keadaan luar lewat dinding kaca gaya Amerika. Kafe kecil ini selalu dikunjungi pembeli, dan untungnya sekarang diberi jeda sebentar untuk Nera istirahat seperti ini, duduk melihat kegiatan orang lain.

Namun, sesaat, diantara ramai penduduk berlalu-lalang, "eh?" Mata itu tiba-tiba menyipit, Nera menerawang  sesuatu yang ganjal di seberang jalan. Ia baru sadar dibalik pemandangan tenteram ini ada tiga orang yang mengepung dan salah satunya meninju satu lelaki diujung sana.

"Astaga! Ada apa itu?" panik Nera, meski dia hanya menonton dari jendela.

Tring!

Dering bel bunyi, petanda pintu dibuka oleh seseorang. Pegawai satu-satunya di kafe lekas bangun dari duduk, mendekat ke kasir untuk menyapa pelanggan.

Ternyata, diluar dugaan.

Orang itu bukan pelanggan, melainkan rekan kerjanya.

Nera yang sedikit kaget, tengok waktu ke jam tangannya, lalu senyum kikuk pun mengembang kepada yang baru datang dan kini menghampiri. sudah waktunya ganti shift ujar Noah, lelaki tinggi ini lagi memakai celemek kafe, dia juga orang Indonesia.

"oh oke" giliran Nera melepas celemek lantas digantungkan ke tempatnya."Eh iya, tadi ada orang nyariin lo tau!" katanya sambil mengambil tas ransel beserta mantelnya yang lekas dipakai.

Noah berbalik badan. Mengernyitkan dahi penasaran. "hah? Siapa?"

"hmm.. dia bilang sih rekan kerja gitu, pake baju serba item pokoknya, dia gak nitip pesan apa-apa sih, malahan langsung cabut" Sudah siap pergi. Nera akhirnya bisa beranjak keluar, dan sempatkan menepuk lengan Noah begitu berpapasan, "good luck!! Semoga dapat pelanggan bos! Seperti pegawaimu yang cantik ini! Hihi" katanya menyindir dengan suara tawa yang terselip, dia melambaikan tangan lalu menutup pintu, dan tersisa bel pintu yang bergeming, sampai suasana sepi, tak ada siapa-siapa lagi kecuali Noah seorang.

"aku tidak perlu cantikmu itu Ra" umpatnya dan tersenyum tipis.

***

Sepatu boot ber hak melangkah cepat. Begitu keluar Nera tancapkan tujuannya  ke seberang jalan. Tangannya dilambai meminta agar biarkan dia menyebrangi mobil dan bus yang melaju kecepatan sedang.

Kedua rambut digerai sengaja buat hangat lehernya, satu tangan ia masukan ke saku mantel, sementara kedua mata menyorot pada satu titik- terjadinya kejadian yang sebelumnya. Meskipun kini tak kelihatan lagi karena ditutupi padatnya pejalan.

Tetap berjalan didorong  rasa ingin tahu. Seperti cepat Nera lewati puluhan manusia, satu-dua kendaraan delman, lima-enam  mobil.

Tapi nihil, ekspetasi di kepala ini sekarang lenyap ditindas realita. Langkah kaki tak dilangkah maju lagi.  Garis wajah Nera pun menyusut, ketika kenyataan memperlihatkan keadaan sekarang. Tak ada apapun disini, maksudnya tidak ada perkelahian.

Iya, memang  enggak terlalu penting dan bukan urusan Nera. Salahnya, perasaan kecewa tidak logis tak diundang ini muncul dan merubah mood terikut sedih. Coba bayangkan, bisa saja itu adalah tindakan perampasan? Bagaimana keadaan si korban tanpa ada yang membantu? Satu lawan tiga? Pistol ataupun pisau banyak digunakan saat perampasan! Bisa-bisa-- ! Ah! Aku itu hanya kasian! Karena.. aku juga pernah mengalaminya!

Eh, tunggu, batinnya terkesiap menemukan sesuatu.

Tangan Nera terulur menggapai barang yang  tergeletak sembarang. "..dompet?" nadanya bingung, meyakinkan sesuatu. Lalu pandangan itu dinaikan, ia langsung menyelidik  lingkungan sekitar. Ini beneran tempat orang yang kepukul tadi kan? Antara blok salon sama restoran, batinnya. apa jangan-jangan..

Tadi tuh, aku lihat ada tiga orang bertubuh pendek sedikit berisi, dia pake mantel sedikit usang karena warnanya putih  nyaris kuning, sementara satunya overweight banget dengan kupluk hitam juga pake jaket coklat, sisanya topi hitam bandannya kurus kering. Sedangkan.. si korban... Oh! Ya! Pakai mantel abu!! Te te terus aku ingat masing-masing dua kali mukulin korban yang bawa koper itu. Berarti benar! si turis jadi korbannya dan itu seratus persen pasti perampasan! "ah! Gila! Bukanya dari awal langsung kesini yah?!! Haduh!"

Panik. Nera cepat menengok  ke belakang, ke kiri, dan terakhir ke kanan. Mencari siapapun yang terkait dengan insiden, baik si pelaku maupun korban. Ini gak bisa dibiarin gitu aja!

Tapi yang utama, kemana perginya si korban? Ditinju tiga pria itu pasti sakit! Aish!

Dalam pandangan yang tergesa-gesa, ia akhirnya tangkap sesuatu yang sedikit mencolok : seorang lelaki pemakai mantel abu ada diarah kanan, kenapa menarik perhatiannya? Karena dia jalan lebih pelan- terkesan lemah daripada pejalan lainnya dan poin penting warna mantelnya itu! 

Sejujurnya Nera agak ragu juga dengan dugaan ini.  Tapi, tidak salahnya menghampiri, siapa tahu dia bisa jadi narasumber yang berguna.

"Excuse me!!" panggil Nera, dua kaki jenjangnya memilih berlari mengejar lelaki tinggi disana. "Sir!! Wait!!" wanita ini tak berhenti lari dicuaca dingin sambil berteriak. Dan akhirnya, yang dipanggil-panggil berhenti setelah seseorang didekat situ melihat lalu membantu Nera.

Belum apa-apa, ekspresi lelaki yang memakai kacamata hitam disana sudah terlihat was-was dengan mundurnya dia untuk menjaga jarak begitu Nera mendekat.

Tampak Nera mengatur nafas, disela omongannya, "A a re you okay?!" buka dia dengan aneh.

"Eh sorry?" balas lelaki itu total kebingungan. Tapi, untungnya dugaan Nera benar, karena disudut bibir itu ada beberapa lebam biru bekas tinju. Nera sedikit lega karena lukanya tidak lebih dari yang ia takuti.

"ehm..o o okay..sir, I just want to ask you about this wallet"

Turis itu diam memandang dompet kulit yang disodorkan, "this is yours?" lanjut Nera.

"uh..yah, ini milik saya" dia menatap mata Nera sebentar, "tapi sengaja aku tinggal" tambah si turis.

"kamu habis kena musibah? Misalnya perampasan kan?!"

Dia mengerutkan dahi- curiga dengan sikap orang asing  didepannya, "sebenarnya.. sih iya/?"

Abnera tambah panik,

"what!! Really? kenapa kamu masih disini! Ayok ke kantor polisi! Kita laporin!" usulnya bersemangat, bahkan sampai menaikan beberapa oktaf, "ayok! Kamu masih beruntung karena bertemu dengan ahlinya!"

Sedangkan, lelaki berpostur jangkung  itu habis pasang wajah risih, dia tiba-tiba terkekeh, "Wait! Wait! Hold on!" balasnya menahan Nera yang menggebu-gebu, masih tersisa senyum dia menurunkan wajahnya ke hadapan wanita itu.

"aku tak ingin memperpanjang masalah" ketus dia "Lagi pula, didalam dompet itu gak ada yang penting. Uang yang mereka ambil juga gak berlaku di negara ini. Jadi yah, tidak apa-apa"

Nera melongo, garis wajah dia berubah tak terima "ta tapi kamu harus minta tanggung jawab! Mereka sudah memukuli orang tidak bersalah! Itu termasuk melanggar hukum!" ocehnya, sementara si turis tetap terlihat tenang.

"kau yang temukan dompet ini kan? Kalau kamu menginginkan dompet ini dari awal ambilah! Saya tidak perlu bantuan siapapun"

"Apa?!" bibirnya kelu, hanya ucapkan satu kata yang sudah menggambarkan apa yang dia rasakan saat ini, sakit hati. Tubuh Nera pun  mematung sejenak, "A-apa? Maksudmu? Saya tidak menginginkan dompetmu ini sama sekali! Maaf, tapi jangan sembarangan kalau bicara! Saya kesini karena khawatir! Sikap anda itu sangat menyinggung perasaan orang tau?!"

Turis didepan mendengus mirip pemalas, yang tambah bikin naik darah Nera. "apa salah nya? Toh, saya berkata yang sebenarnya. Anda juga orang lokal kan?Kerja sama juga sama mereka? Hah, Ambil saja ambil! Itu kan bermerk, yah.. yang tentunya bisa lebih bernilai daripada duit-duit merah sebelumnya. Kalau begitu, terima kasih atas perhatiannya nona," kata dia menyebalkan dikala sorotan mata tajam Abnera.

"permisi" pamit dia.

Gak terima, aku gak terima dia anggap aku pengemis!, marah Nera, yang lalu melangkah duluan untuk menghalangi jalan si turis itu. Tangannya sodorkan dompet. "mau kamu buang atau apapun itu setelahnya terserah! Tapi mungkin sementara ini kamu harus ambil dompet ini! Ingat ya turis! Saya gak bermaksud sama sekali!! Walaupun pakaian saya tidak semahal anda! Tapi saya punya harga diri! Tidak terima kamu mencap saya sebagai seorang pengemis dan merendahkan bantuan tulus saya seperti tadi, paham kan?" jelas Nera sampai menggebu-gebu karena total kesal.

Lelaki dihadapan terdengar mendecak, dia garuk kupingnya, merasa kata-kata itu memuakkan. "ah sudahlah! Saya sibuk!" dan si turis itu akhirnya pergi bersama koper besarnya. Sisakan Nera dengan pandangan berkaca-kaca, tidak bergerak lagi, sudah kehabisan kata-kata untuk membela nama baiknya lagi.

"brengsek"

Beep! Beep! Beep!

Getaran kuat di mantel maroonnya tiba-tiba, masih emosi, Nera merogoh saku, dia keluarkan eletronik persegi panjang itu, dan muncul pemberitahuan satu missed call juga pesan.

Tak sadar dari tadi ada telepon, batinnya. Nera mengerutkan kening, sedang baca pesan dengan seksama.

Karin: Ra, grup tari kita giliran dapet job, sini dateng ke tempat Monna Le Dansa.. deket kampus, Lo harus ikut ya pokoknya!

Sambil kaki bergerak, jemari tak kalah mengetik cepat,

Abnera: oke, on the way kesana..tungguin gue Rin"

Last, ibu jari tekan send, dan balasan pesan tadi sudah terkirim ke kontak bernama Karin. Nera memasukan handphone ke dalam saku kembali bersama dua tangannya yang mulai kedinginan.

"Hah.. mari kita buang semua pikiran negatif ini..!"

***