"...Aku sudah disini..."
suara yang memanggil terdengar tidak asing di telinganya
"..Bren..da..?", mata Dean samar melihatnya. "Kamu kenapa?!!", Ia meraih tangannya. Brenda yang mengenakan gaun putih berbalut luka di sekujur tubuh. Menangis tersedu. Matanya melihat Dean tajam. Lensa mata yang mengecil yang hanya terlihat pupilnya membuat Dean perlahan melepaskan tangan Brenda yang menggenggam tangannya.
Bulu roma Dean bergidik. Ia mundur beberapa langkah dan memalingkan pandangannya. Brenda mengangkat kepalanya menatap Dean tajam. Pupil mata yang mengecil tiba-tiba membesar memenuhi lingkaran bola mata dan mulutnya terbuka memanggil namanya.
"De..aaan...." lalu Ia berteriak "ARRRGGGHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!!"
Dean ketakutan dan berlari sekuat tenaga dengan nafas terengah-engah. Menutup telinga dengan kedua telapak tangannya. Sosok Brenda yang Ia lihat bukanlah Brenda yang dikenalnya lagi. Di samping itu, Ia mendengar suara Tiara yang terus memanggil nama Dean. Ia pun berteriak memanggilnya. Tapi, Tiara tidak mendengarkannya. Suara bising dari bayangan gelap dan Brenda yang berada di sekitarnya. Dean sudah tak bisa bernafas.
"Dean... Aku disini...", kata Brenda yang merangkulnya perlahan dari belakang hingga menjadi selimut pelukan bayangan hitam.
"..ugh..per..gi..", jawab Dean kepada Brenda.
Brenda tersenyum dan darah yang terus menerus keluar dari kedua bola matanya menyakiti Dean. Kakinya tidak bisa berlari lagi, sejauh apapun Ia melarikan diri, Dean tidak bisa terlepas dari alam ini, "Le..pas..kaan.. Bren.. Kumo..ho..n..", katanya memohon dengan sangat.
*Diiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnn!!!!!*
Dean melihat wajah Tiara yang menangis terus menerus dan Arumi yang berlari memanggilkan Dokter. Perawat yang melakukan pemasangan aliran UPS dan Defibrillator untuk membangunkan Dean dari koma. Dean melihat dirinya yang terbangun dan memanggil Tiara..
"Sa..yang..kuu.."
Mata Dean terpaku dan Ia hanya bisa menangis. "Tiara.. Aku disini...", tangisannya merintih pelan.
Brenda yang merangkul tidak ingin melepaskannya. Ia hanya bisa terus menerus menangisi bahwa itu bukanlah dirinya.
"Tiara.. Itu bukan aku..","Bren.. Kumohon lepas.. Aku hanya ingin bersama adikku.."
Wanita yang terus saja merangkul Dean dengan penuh kekuatan, ketakutan dan kengerian. Jiwa yang di selimuti dengan iblis merasuki tubuh Dean. Ia hanya terpojok tidak bisa berkutik bahkan selangkahpun tidak bisa. Melihat gerak gerik dari perilaku dan perbuatan yang bukan dirinya.
---
PLAK!
(Telapak tangan Dean menampar pipi Tiara, hingga pelipisnya berdarah)
"WHAT!!? HOW DARE ARE YOU, DEN!!!", Tiara juga membalas bentakan Dean dan mulai menangis.
"Aku kakakmu! Aku berhak!","Cepat jawab! Ini maksudnya apa?! Aku cuma minta kamu untuk ke Apartemennya! Kamu gak kasih tau aku apa yang terjadi!"
"DEN! Saat Aku pulang, kamu sudah tidur?!"
"HAH???? AKU TIDUR??? AKU MENUNGGUMU SAMPAI KAMU BERTERIAK GAK JELAS SEMALAM!"
"Hikss.. Aku benci kamu Den!!! KELUAR DARI KAMARKU!!!"
"OH... BEGITU CARAMU MEMPERLAKUKANKU TIR??"."Oke.."
BRAKKK!
(Pintu kamar Tiara di hempas kuat oleh Dean)
Dean keluar dan berteriak memanggil Asisten Ibunya.
"JENNNNNIIIIIIIIIII!!!!!!!!!!!!!!"
"KAMU DENGAR AKU GAK?!!"
"WOY JENNII!!"
Jeni yang sedang mempersiapkan sarapan terkejut mendengarnya. Ia bergegas mendatangi Dean.
"Kenapa kamu teriak-teriak gak jelas gitu??"
Saat mereka berhadapan..
PLAK!
Jeni yang tidak tau apa-apa juga kena imbas tamparan Dean.
"Hei! Apa-apaan??!", kata Jeni terkejut.
"Pergi dari sini sekarang juga!"
"Aku sudah di perintah oleh Ayah dan Ibumu untuk stay di sini. What's going on with you!"
"SHUT UP! GO AWAY!", Dean berteriak lantang.
"NO! Watchout your mouth, Dean. I'll tell your, Dad!"
"Do it!"
Dean berjalan cepat menuju kamarnya dan meninggalkan Jeni.
Jeni bingung, mengapa Dean berubah sikap yang sangat kasar. Setaunya, Dean adalah laki-laki yang ramah dan tidak pernah mengeluh apapun. Jeni melihat Tiara yang berdiri di selasar dekat kamarnya. Tampak shock, kaget dengan mata yang sembab.
"Ck. Your brother.. You see? Kemarin Dean juga membentakku tanpa alasan yang jelas.", kata Jeni menggelengkan kepala, mendatangi Tiara yang membeku di depan kamar.
Beberapa saat, Jeni heran, "Tiara?? Wajahmu kenapa??!"
"Gak apa-apa...hiks.. Aku mau pergi kuliah, Jen.."
"Tunggu, kita sarapan dulu. Aku akan mengompres pipimu. Cerita padaku apa yang di lakukan Dean saat aku membuat sarapan."
"Gak ada apa-apa.. Aku terjatuh membentur meja.."
"Tiara.. Kau liat sendiri yang di perbuat Dean padaku. Ini bekas lebam yang sama."
Tangan Tiara menyentuh pipi Jeni, "It's..Ok..a..y.."
Brukk!
Tiara terjatuh pingsan di depan Jeni. Sontak Jeni berteriak.
"Deaan!! "
"Deaaann!!!"
"Deaaaaaaaaan!! Tiara pingsan..!!!"
Ia keluar dari kamarnya dengan membawa gulungan tali tambang manila yang sedikit menjuntai. Pelan berjalan menuju arah Jeni yang cemas.
Lalu, mengalungkan tali itu ke leher Jeni.
Jeni adalah asisten muda yang di tugaskan oleh Ibu mereka berdua untuk menggantikan asisten sebelumnya.
Jeni melihat ke arah atas. Ia melihat Dean yang berkeringat tipis dengan tatapan yang mengerikan.
"De..an?? Apa..yang..","Arrgh!!!!!!"
Perlahan tali lilitan yang mengalungi leher Jeni semakin kuat dan tidak bisa di lepaskan. Tangan Jeni memegang tali itu berusaha untuk melepaskan lilitan. Tapi, tarikan Dean sangat-sangat kuat. Sehingga Ia bisa menyeret Jeni yang terus memberontak.
"DEAN!! URGH!! LEPASIN!!!", teriak Jeni kesakitan.
"ARRGHHH!!!!"
"HUKKK!!","DEA..ANN!!!"
Buk-buk-buk!
Kaki Jeni terus menerus menendang kuat ke depan. Tali yang melilit mengeluarkan darah dan bunyinya menakutkan seperti tulang leher yang patah.
Kr..eekk... Kree..kk..
"De..a..a...n..."
Akhir nafas yang terengah-engah berhenti menghirup asap kehidupannya.
Mata yang melotot lebar, pupil yang mengecil, di selimuti dengan bola mata putih yang mengisi seluruh kedua matanya.
Mulutnya juga terbuka sedikit, mengeluarkan banyak darah yang kental.
Lehernya seolah-olah akan terputus dari inangnya.
Mengerikan!
---
Dean tersenyum dan merasa lega setelah membunuh asisten Ibunya.
Ia melihat ke arah Tiara yang masih tak bergerak pingsan, lalu mengangkatnya, menaruhnya ke kasur. Ia mulai beraksi.
Ia menutup pintu kamar Tiara, menuju gudang dan mengambil sekop. Bergegas ke taman belakang rumahnya dan menggali. Membolongi tanah dan menyiapkan nisan.
Wanita karir yang berumur tiga puluh lima tahun yang manis dan multitalent akan segala hal. Orang kepercayaan Ibu mereka. Jeni.
Ding-ding!
Ding-ding!
Ding-ding!
Suara telepon genggam milik Jeni berbunyi. Dari arah pintu belakang, Dean berjalan mengambil telepon tersebut dari saku Jeni yang terbujur tak bernafas lagi.
Tertulis : Ibu Dean/Tiara
Dean menjawab telepon tersebut,"Halo?"
"Hem? Halo?"
"Ya."
"Jeni?"
"Ini Aku. Dean. Jeni lagi sama Tiara."
"Oh, Okay. Kau sedang apa? Seminggu lagi Mama akan pulang."
"Gak perlu pulang. Nanti Aku dan Tiara mendatangi Mama disana."
"Keadaanmu okay?"
"Yeah."
"Arumi ada menelepon. Kau kecelakaan."
"No, I'm fine. Don't worry. I'll call you later."
"Wait up! Are you okay son?"
"Iya, mama.."
"Okay then. Hmm. Mama tau kau kecelakaan beberapa bulan lalu. Mama akan menyiapkan keperluanmu disini untuk terapi."
"NO, Mom!"
"Hey.. What's wrong, Son??? You never yelling at me."
"Maaf ma.. Aku lelah."
"Okay, istirahatlah nak. Aku akan mengirimkan dokter terapi untuk kesembuhan kakimu yang patah ya. Jangan khawatir. Kuliahmu juga tidak perlu di khawatirkan Den.. Kau bisa melanjutkan sekolahmu disini..."
"Thanks ma. Bye."
Tut...tut..tut..
Dean mematikan telepon dan membanting telepon genggam milik Jeni hingga pecah. Ia kembali melanjutkan galiannya.