Semilir angin menyapu wajahnya, menerbangkan helai rambut cokelat bergelombangnya yang hanya beberapa centi melewati bahu. Matanya menatap sendu ke kejauhan, jalanan yang padat kendaraan, rumah-rumah dan pertokoan, serta gedung-gedung pencakar langit yang tingginya sejajar dengan tempat ia berada.
Tangannya mengepal, meremas kumpulan kertas dengan keras hingga kertas-kertas itu tampak tak berarti lagi. Seperti hidupku, batinnya. Setetes bening air mengalir turun membasahi kedua pipinya.
Bayangan wajah orang-orang yang ia sayangi berkelebat dalam otaknya. Sudahkah ia berhasil membahagiakan mereka? Belum, bisikan hatinya jujur. Dan tidak akan pernah, sedihnya lagi teringat apa yang akan ia lakukan.
Matahari sudah mulai terbenam, memberikan efek semburat oranye pada langit luas, dan ia tahu semakin sedikit sisa waktu yang ia punya untuk menikmati lukisan Tuhan yang indah itu. Kepalanya menengadah pada atap dunia, teringat bagaimana dulu saat ia masih berada di bangku sekolah, saat semua tidak terasa seperti beban teramat berat, ia sering melakukan hal ini hanya untuk menikmati imajinasinya yang senang sekali berkeliaran menebak gambar apa yang sedang dibentuk awan-awan.
Banyak hal telah berubah. Bagai hembusan angin musim gugur yang suram, dunia baginya tidak lagi terlihat seperti tempat yang menyenangkan. Rumahnya bahkan entah sejak kapan, sudah berubah menjadi tempat yang paling membuatnya takut. Takut akan ketidakmampuannya mewujudkan harapan besar yang semua orang tumpukan padanya.
Kakinya perlahan mengambil satu langkah tinggi, memanjat dinding pembatas yang tidak mencapai pinggangnya. Dia tidak punya penyakit acrophobia, tapi tidak ada yang pernah membuatnya merasa sekalut ini, memandangi para pejalan kaki yang tampak sekecil semut. Kumpulan kertas yang sedari tadi di genggamnya, sudah terlepas dan terbang bersama angin.
Apa keputusanku ini benar? Sebuah pertanyaan cliché melintasi pikirannya yang kalut, membuat satu kakinya yang sudah akan melangkah pada kekosongan, terhenti di udara.
"Kenapa? Tidak jadi lompat?" sebuah suara mengagetkannya. Kaki kirinya yang masih menapak di daratan padat, tergelincir begitu saja, membuat keseimbangannya hilang dan tubuhnya seketika terlempar dari dinding pembatas tempat ia berdiri tadi.
"Argh..." rintihan lolos dari bibirnya saat sebelah tangannya berhasil di genggam seseorang hingga tubuh yang seharusnya sudah jatuh itu, kini tertahan melawan tarikan gravitasi.
"Sial!" umpat seseorang di atas sana yang sedang berusaha menariknya kembali ke atas. Dia mengangkat kepala kearah suara, matanya beradu pandang dengan pemilik heterochromia yang tengah menyipit menatapnya tajam.
"Bodoh!" umpat pria itu bersamaan dengan tubuhnya yang tertarik ke atas hingga akhirnya berhasil melewati dinding pagar pembatas rooftop. Tubuhnya terayun dan jatuh ke depan, menghimpit tubuh pria yang baru saja menyelamatkan nyawanya.
Pria itu tersengal, berusaha menangkap oksigen banyak-banyak. Dalam hidupnya yang telah banyak menuai kesuksesan, baru kali ini ia dihadapkan dalam situasi segenting dan semenakutkan ini. Dia bisa merasakan tubuh si gadis yang menghimpitnya kini diserang gemetar hebat. Mengikuti instingnya, ia bawa kedua tangannya melingkari tubuh gadis itu.
"Hal menyedihkan apa yang terjadi sampai kamu berbuat senekat ini, gadis bodoh!?" bentaknya pada gadis yang kini sesenggukan di pelukannya. Ia sudah membawa tubuh mereka duduk dengan menumpukan sebelah tangannya ke belakang, sedangkan sebelahnya lagi masih mendekap tubuh si gadis.
Dia menghela nafas dengan keras, tidak habis pikir mimpi apa ia semalam sampai harus terlibat dalam adagan penyelamatan gadis yang tidak dikenalnya dari usaha bunuh diri. Ia bisa menebak dari penampilan gadis itu, bahwa umurnya mungkin baru sekitar 20 tahun. Masalah seberat apa yang bisa terjadi pada gadis semuda dirinya? Pria itu menggeleng gusar.
"Sudah tenang?" tanyanya dingin saat si gadis berusaha melepaskan diri dari dekapannya. Gadis itu menengadah dan menatap matanya beberapa detik sebelum mengangguk kecil kemudian menunduk dalam.
"Maaf," kata gadis itu dengan suara serak dan bergetar.
"Lain kali cari tempat lain kalau ingin melakukan itu, jangan di gedung milik perusahaan yang kupimpin!" ketus si pria menanggapi permintaan maafnya.
Mereka lalu sama-sama terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sementara itu matahari sudah benar-benar terbenam sekarang. Langit menghitam, selain bulan yang bertengger di sisi barat, tidak ditemukan satu bintang pun yang menemaninya. Lampu-lampu sudah mulai menunaikan tugas mengambil alih menerangi kota. Tapi rooftop tempat si gadis dan pria heterochromia hanya mendapat sedikit cahaya dari penerangan gedung di sekitar, jadi mereka tidak terlalu bisa melihat jelas sosok di depannya.
"Hmm... a... aku... benar-benar minta maaf. Dan terima kasih sudah menolongku!" dia buru-buru berdiri dan membungkukkan badan pada si pria penyelamat. Tanpa menunggu tanggapan, ia berlari kearah pintu, bergegas meninggalkan rooftop dan si pria. Kepalan kedua tangannya mewakili rasa takut serta rasa syukur atas kejadian yang baru saja menimpanya.
Mati ternyata tidak sesedarhana itu, kepalanya berdenyut teringat bagaimana tubuhnya terayun beratus-ratus meter dari tanah. Kalau saja si pria tidak ada untuk menangkapnya, maka dia tidak akan lagi berada di dunia ini, tersadar akan betapa salahnya pendapatnya akan kematian.
Bayangan wajah anggota keluarganya kembali membanjiri ingatannya seiring kakinya berlari menuruni tangga darurat. Membayangkan betapa hancur mereka jika ia memang melakukan hal bodoh itu, rasanya tidak tertahankan. Air matanya mengalir lagi, kali ini lebih deras dari sebelumnya. Penyesalan akan keputusan bodoh yang hampir saja merenggut nyawanya.