Chereads / RE:VERSE / Chapter 8 - 2.II Gilbert van Guard

Chapter 8 - 2.II Gilbert van Guard

Gilbert van Guard menarik pedang sihir miliknya dan langsung mengacungkannya pada seorang gadis berlumuran darah tak jauh darinya. Pengalaman sebagai wakil kapten knight divisi 22 membuat dia mengenali kemampuan gadis itu hanya dengan melihat sekilas cara bagaimana dia berdiri. Oleh karena itu, dia tak mau menurunkan kewaspadaan terhadap gadis misterius tersebut walaupun sedikit.

Pedang sihirnya adalah properti kerajaan yang berhasil dia bawa kabur saat dirinya kehilangan hampir seluruh posisi yang dia miliki dan keluarga kecilnya. Bersama dengan pedang itu, dia bertekad untuk menghancurkan kerajaan serta menurunkan tujuan ini kepada anak dan cucunya kelak.

"Dibanding dengan Werebeast atau Elf, manusia adalah yang paling lemah dalam urusan pengetahuan sihir dan kemampuan fisik. Lalu, kenapa mereka bisa menguasai hampir seluruh daratan?" Gadis berambut hitam di hadapannya bertanya dengan suara yang dingin.

"Hah? Peduli setan dengan hal yang tidak penting!" Daniel menjawab dengan penuh arogansi.

Berbeda dengan kehidupannya di masa lalu, Daniel adalah seorang lelaki yang terbiasa hidup di daerah penuh konflik sejak kecil. Ayahnya --yang seorang petani biasa-- tewas dibunuh oleh prajurit dari Kerajaan Cygnus sejak dia kecil. Sementara itu, Sang Ibu diperkosa sampai mati di depan mata kepalanya sendiri dan tubuhnya dibakar begitu saja bersamaan dengan penduduk desa lainnya. Desanya bahkan dibakar habis oleh mereka. Hal ini membuat kepribadian Daniel menjadi kejam dan kasar.

Gil sedikit mengagumi lelaki itu. Lelaki panutanya tetap bangkit walaupun badai cobaan mengerikan terus menerjangnya. Dia yang seorang bangsawan mungkin tidak akan sanggup menghadapi kejamnya dunia yang dihadapi Daniel.

"Benar," gadis itu mengacungkan belati hitamnya ke arah Daniel, "itu karena kesombongan dan keserakahan. Tujuh dosa besar mematikan membuat manusia mampu melawan bahkan dragonoid sekalipun."

Lalu, tanpa dapat Gil sadari, gadis itu melesat dengan kecepatan yang luar biasa. Dia mengayunkan belatinya, membelah udara tipis di dalam gua sebelum akhirnya membentur pedang sihir milik Daniel. Tubuh berototnya bahkan terhuyung hampir jatuh ketika menahan efek yang dihasilkan dari hantaman itu.

"Namun, berapa kalipun kalian berlatih, manusia tetaplah manusia. Tanpa bantuan dari Heaven dan Tartarus, kesombongan kalian hanyalah sampah."

"Tch! Sialan kau bocah!" Daniel merangsek masuk ke dalam ma'ai gadis itu tanpa memperhitungkan keunggulannya.

Menurut kacamata Gilbert sebagai seorang mantan prajurit, memanfaatkan ma'ai dari pedang panjang adalah keunggulan mutlak terhadap sebuah belati. Dengan kata lain, tetap berusaha untuk menjauhi ma'ai lawanmu --yang relatif sangat pendek bagi pengguna belati-- dan menyerang dari posisi tersebut. Namun, semua akan berbeda hasilnya jika kau sangat percaya diri dengan kemampuanmu dalam menangkis serangan atau melakukan serangan secara terus-menerus tanpa memberikan kesempatan pada lawan..

Itulah kelebihan Daniel. Serangan secara cepat, tangkas, dan berkesinambungan tanpa membiarkan lawan untuk balik menyerang. Sebuah seni pedang original yang telah dia asah melalui berbagai macam pertarungan mempertaruhkan nyawa sejak kecil.

Pengalaman adalah guru yang sangat ideal. Bahkan mengalahkan sekolah-sekolah yang hanya mengajarkannya melalui metode pelatihan. Berlatih di dalam kelas dengan terjun langsung ke medan perang dan mempertaruhkan nyawa tentu saja memiliki perbedaan yang signifikan.

Di setiap ayunan pedang sihirnya terkandung kekuatan dan daya hancur yang tinggi. Sedikit saja gadis itu terlambat untuk menghindar, maka luka fatal akan langsung diderita olehnya. Namun, beberapa menit berlalu tanpa satu sabetan pun yang mengenai permukaan kulit gadis itu.

Dia menghindarinya dengan sempurna. Gil menelan ludah.

Walau sekuat dan secepat apapun serangan beruntun, suatu saat pasti akan membuka celah ketika staminamu terkuras. Saat napasnya sedikit tersenggal, ayunan pedang Daniel mengalami perlambatan sepersekian detik. Saat itulah chikama ma'ai gadis itu mengambil perannya. Dia membalikan serangan Daniel hingga membuatnya sedikit terpental ke belakang lalu menyerang dengan gerakan memutar secara vertikal. Tak sampai di situ, saat sadar bahwa Daniel berhasil menghindarinya dan menerapkan toma ma'ai, gadis itu memaksakan chikama dengan cara merangsek ke depan dan menyerangnya terus-menerus.

Gil hanya bisa terdiam mematung.

Berbeda dengan gaya pedang kerajaan yang menerapkan konsep satu kali serangan dan bertahan kemudian maupun gaya pedang Daniel yang menerapkan serangan beruntun tanpa celah, gadis ini mengayunkan belati layaknya sedang menari. Itu adalah ayunan yang indah sekaligus membawa hawa kematian.

Serangannya berhasil ditangkis beberapa kali, tapi gadis itu tetap bertahan pada chikama dan memaksa Daniel untuk terus bertahan. Kepiawaiannya dalam bermain pedang belum pernah dia lihat sebelumnya.

Sebuah seni yang sesungguhnya. Dipoles dengan sangat baik dan perlahan dalam waktu yang sangat lama. Gil yakin butuh waktu puluhan tahun untuk mencapai gerakan anggun seperti itu.

Tanpa sadar, tubuhnya mulai gemetar menghadapi musuh yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Sadar bahwa serangannya mulai memiliki sedikit celah, gadis itu melempar belatinya ke belakang dan segera melompat mundur untuk menjauhi ma'ai Daniel. Mungkin bagi sebagian orang awam, lemparan belatinya adalah sebuah gerakan yang sia-sia. Namun, Gil sadar bahwa gerakan itu diperlukan untuk mengecoh lawan sehingga memberikan waktu bagi gadis di hadapannya untuk menjauhi ma'ai lawan.

Tangan putihnya menangkap belati hitam yang berputar di udara dengan cukup akurat dan langsung menatap Gil seraya memasang kuda-kuda.

Sejak awal Gil memang tak berniat untuk menyerang. Jadi, apa yang dilakukan oleh gadis itu sebenarnya adalah hal yang sia-sia. Namun, dasar-dasar seperti ini memang diperlukan saat kau menghadapi banyak lawan sendirian. Memokuskan diri pada lawan yang memiliki potensi besar untuk menyerang dibandingkan pada lawan yang sudah kehilangan cukup banyak stamina.

Daniel berlutut dengan pedang yang menancap di tanah sebagai tumpuannya. Napas lelaki itu tersenggal-senggal sementara pakaiannya mulai basah oleh keringat. Sangat berbanding terbalik dengan gadis yang berdiri tenang di luar ma'ai mereka berdua.

"Kenapa ..., " dia menatap dengan penuh amarah, "kenapa kau tak langsung membunuhku?"

Gadis itu memiringkan kepala lalu tersenyum sebelum berbicara.

"Aku membenci orang yang lemah. Namun, orang lemah dengan kesombongan adalah tipe yang membuatku bersemangat." Dia menunjuk Daniel dengan belati hitam miliknya. "Aku akan menghancurkan kesombonganmu sebelum dewa kematian mengayunkan sabitnya pada jiwamu."

Gadis itu jelas bukan asal bicara. Kekuatan yang dimiliki olehnya adalah hal tak masuk akal di dunia ini. Jika Gil berani memasuki ma'ai miliknya, mungkin dia akan langsung dipenggal tanpa sempat menyadarinya. Gil tak mau berakhir di sini, tidak sampai dia menggapai tujuannya.

"Gil dengar," suaranya sangat pelan tapi cukup untuk sampai ke telinga mantan wakil kapten di sebelahnya. "di luar sana ada ras lain yang menyerupai manusia tetapi bukan manusia. Dia pasti salah satu dari mereka."

Mendengar ucapan Daniel, Gil terdiam menelan ludah.

"Mereka adalah undead. Makhluk yang tidak terikat oleh waktu. Kemampuanya pasti diasah dengan waktu yang tidak sebentar."

"Dari mana kau menyimpulkan?!"

Walau sulit untuk dipercaya, bukti di depan mata memaksanya untuk memercayai makhluk legenda yang dijelaskan oleh Daniel. Kemampuan seperti itu pastilah tidak instan untuk didapatkan. Butuh puluhan bahkan ratusan tahun untuk mengasahnya. Mustahil seorang gadis muda dapat menguasainya dengan sangat sempurna.

"Kepala desa di tempat kelahiranku adalah seorang vampir berusia empat ratus tahun. Sayangnya dia mati saat melindungi desa melawan ratusan tentara kerajaan."

"Hoo, seorang vampir? Adalah hal yang mengejutkan mendengar manusia mampu membunuh makhluk yang tak bisa dibunuh. Tampaknya aku harus mengambil beberapa informasi yang berharga darimu."

Tangan kiri gadis itu mencabut belati lain di pinggangnya lalu menjatuhkan kedua belati itu hingga menancap di tanah. Selanjutnya, tangan kirinya memasang topeng berbentuk menyerupai kucing berwarna hitam yang sejak awal menghalangi sebagian kepalanya hingga menutupi seluruh wajah. Terakhir, dia mencabut pedang hitam pekat di punggungnya.

Terus terang, apa yang dilakukan oleh gadis itu membuat Gil sedikit penasaran. Namun, sesaat setelah dia mencabut pedang hitam di punggungnya, tekanan udara di sekitar gua terasa begitu menyesakan. Gil bahkan sampai jatuh berlutut, berhalusinasi akan kematiannya sendiri secara terus-menerus.

"Wahai pintu gerbang penciptaan yang melahirkan dunia atas nama Sang Pencipta, aku, Sang Pendosa yang terkurung dalam kegelapan abadi, menantang-Mu untuk tunduk pada makhluk yang terkutuk ini."

Walaupun seluruh indranya terganggu oleh udara yang menusuk, Gil masih dapat mendengar kata-kata yang diucapkan gadis itu. Kepalanya berusaha memandang sosok yang menjadi pusaran keputusasaan, menatap tangan kiri seorang gadis bertopeng yang tetap berdiri di hadapan mereka. Tangan itu terangkat sampai setinggi dada, menampakan telapak tangan putihnya ke arah mereka berdua.

"Gil, lari!"

Suara Daniel memecah kesadaranya yang mulai memudar. Terlepas dari peringatannya, berbicara di saat mendapat tekanan seperti ini benar-benar hal yang patut dipuji. Namun, jangankan untuk berlari, Gilbert bahkan tak sanggup untuk menggerakan jari-jarinya sedikit pun.

Di tengah keputusasaanya, Gil sadar bahwa gadis itu bukan hanya bergumam. Dia sedang mengucapkan mantra, sebuah seni bertarung di luar pengetahuan Gil sebagai seorang warrior.

"Membuka Gerbang Kegelapan Empat Belas, Orbis!"

Sebuah pola sihir berwarna merah menerangi gua sesaat setelah gadis itu selesai mengucapkan mantra. Tulisan-tulisan kuno yang menyusun pola sihir terus-menerus berganti sehingga mustahil untuk dapat membacanya. Dilihat dari intensitas cahaya dan radius dari pola sihir yang terbentuk di tanah, mantra ini pastilah sesuatu yang sangat mematikan.

Gil gemetar merasakan kengerian.

Lelaki itu sadar bahwa kematian akan datang menjemputnya tidak lama lagi. Beban mental dan kengerian yang dia hadapi hampir membuat kewarasannya hancur. Dia meraung, menangisi mimpi buruk yang akan merenggut nyawanya. Semua kehidupan yang telah dia tata sebagai Gilbert van Guard akan hancur tak berbekas.

Sepersekian detik kemudian, pola sihir itu hancur layaknya sebuah pecahan kaca sebelum akhirnya hilang dari pandangan dan membuat pencahayaan di dalam gua kembali remang-remang. Gadis itu menyarungkan seluruh pedangnya dan membuka topengnya kembali seraya menatap Gil yang menyedihkan.

Mantan wakil kapten tidak merespon layaknya manusia yang sudah kehilangan nyawa. Tubuhnya kaku dan gemetar sementara mulut dan kedua bola matanya berair. Telinganya bahkan sedikit mengalirkan cairan berwarna merah. Dengan gerakan perlahan, Gil menatap sosok Daniel yang berada di sampingnya.

Di sana, tepat di tempat dimana Daniel harusnya berada, tumpukan daging berlumuran darah tergeletak mengotori tanah. Tidak ada bentuk yang pasti untuk menggambarkan tumpukan daging itu. Semuanya hancur layaknya tumpukan daging hewan di tempat penjagalan.

Gil tak dapat berkata-kata.

"Aura kengerianmu benar-benar kental dan menggiurkan. Aku yakin Tuanku akan sangat menyukai kelezatan ini." Suara gadis di hadapannya terasa dingin dan menusuk, membuat Gil yang hampir kehilangan kewarasan tambah gemetar.

"Pergilah ke arah mulut gua. Peganglah harapan untuk hidup yang telah kuberikan dan hadapi kematianmu di hadapan yang tertinggi."

"Aargh!"

Gil berteriak histeris seraya memegangi kepalanya. Dia bangkit berdiri, mengambil pedang sihir miliknya, lalu berlari layaknya orang yang kesetanan seraya berteriak tak karuan. Dia menangis histeris di sepanjang lorong menuju arah mulut gua sementara tangan kanannya terus-terusan mengayunkan pedang sihirnya secara serampangan, membelah udara malam yang terasa sangat menyakitkan.