Orbis miliknya hanya bertahan sekitar satu jam sebelum akhirnya runtuh dan mengirim kami kembali ke dunia nyata. Yah, waktu sebanyak itu lebih dari cukup bagi kami untuk mempersiapkan diri. Jadi, di sinilah kami saat ini. Sedang menyusuri jalan di tengah hutan menuju peradaban manusia.
"E-em, Kakak," Fiora berbicara padaku, "sekitar dua jam lagi kita akan sampai ke kota terdekat."
Berbeda denganku, ingatan gadis yang menjadi wadah Fiora masih lengkap. Dia bahkan mengingat seluruh kehidupannya selama empat belas tahun ini. Gadis itu juga menyatakan bahwa tubuh yang aku tinggali merupakan kakak kandungnya. Jadi, aku memutuskan untuk memakai identitas ini sebagai penyamaran.
"Alma, apa kau dengar sesuatu?" Aku berhenti melangkah guna mempertajam pendengaranku.
Nama yang disebut oleh Fiora beberapa waktu lalu adalah Almaria von Canaria. Oleh karena itu, aku mulai membiasakan diri untuk memanggilnya dengan sebutan Alma. Sedangkan namaku sendiri adalah Yehezkiel von Canaria.
Kami berdua adalah keturunan Marquis Canaria, seorang bangsawan kelas satu yang hidup di bawah perintah Raja Ignis ke-18. Situasi politik yang semerawut tampaknya membuat keluarga kami menjadi korban dan akhirnya berdampak pada terbunuhnya kami berdua jauh di tengah hutan. Setidaknya begitulah penilaianku saat mendengar kisah hidup Alma.
"Suara ribut. Bandit kurasa?" Dia memiringkan kepalanya.
Aku juga sudah menduga bahwa itu adalah suara gerombolan bandit yang sedang beraksi. Yah, karena hutan ini adalah satu-satunya jalur perdagangan yang menghubungkan dua kota besar, tidak heran jika para bandit berkeliaran untuk mencari mangsa.
"Apa kita perlu membantunya?" Alma bertanya padaku dengan nada yang ringan. Tampaknya dia dapat menyamar dengan sangat baik.
"Bukankah para pedagang biasa menyewa sekelompok petualang saat bepergian? Menolong mereka menjadi hal yang tidak perlu, kurasa?"
Sebuah kerajaan tak memiliki dana yang cukup untuk mengirim prajurit sebagai upaya pembersihan para bandit. Sebagai hasilnya, jalanan antarkota memang relatif tidak aman. Pemerintah tak dapat disalahkan mengingat biaya akomodasi untuk pembersihan pastilah teramat mahal. Untuk mengakali hal ini, biasanya pedagang yang bepergian akan menyewa para petualang melalui quest dari guild petualang untuk menjaga mereka dari para bandit. Yah, hal ini sudah menjadi sesuatu yang wajar di masyarakat.
"Sekelompok bandit biasanya tak akan beraksi bila kemungkinan keberhasilannya kecil. Operasi mereka kurasa sebagai bukti bahwa tingkat kesuksesannya tinggi. Kalau beruntung, kita mungkin bisa meminta imbalan dan beberapa pakaian ganti?" Dia memandang pakaian miliknya sendiri yang robek dan dipenuhi oleh noda darah mengering.
Pernyataan Alma memang cukup masuk akal. Akan sangat mencurigakan jika kami menggunakan pakaian seperti ini ketika melewati gerbang kota.
Baiklah, setidaknya kami harus coba peruntungan dan mengambil keuntungan dari kejadian ini.
***
Kami mengikat kontrak dengan demoniac weapons agar beberapa kemampuan dapat diturunkan hingga batas tertentu. Berbeda denganku yang langsung menyegel dalam satu tempat, Alma menyegelnya di empat tempat yang berbeda. Tujuanya tentu saja agar dia dapat melepaskan segel secara bertahap sesuai dengan musuh yang kami hadapi.
Bisa dibilang bahwa Alma adalah seorang ace sementara aku berperan sebagai lelaki biasa yang sama sekali tak berbakat. Itulah sebabnya aku memberlakukan sistem kontrak empat tempat untuknya.
Walaupun kami menyegel beberapa kemampuan hingga batas tertentu, kecepatan dan ketangkasan yang kami miliki masih tetap berada pada kisaran satu tingkat di atas manusia rata-rata. Oleh karenanya, perjalanan untuk memperpendek jarak dengan para bandit dapat kami tempuh dengan waktu yang relatif singkat.
Kami mengintip dari balik pepohonan saat sebuah karavan dikelilingi oleh tujuh orang pria yang masing-masing menggenggam sebuah pedang. Mereka sedang menggeledah ke dalam, menarik tiga orang penumpang yang terdiri dari dua orang pria paruh baya dan seorang wanita tua.
Sudah jelas bahwa karavan itu sama sekali tak menyewa petualang.
"Hanya karavan yang membawa sayuran, kurasa?" Alma berbisik di sebelahku. Pandangan matanya yang tajam sudah lebih dari cukup untuk melihat detail dari kargo di hadapan kami.
"Jadi, tak ada untungnya, bukan?"
Jika karavan yang dirampok adalah sebuah karavan yang membawa beberapa pakaian, mungkin kami tak akan ragu untuk menolongnya. Namun, saat aku tahu bahwa itu hanyalah sebuah karavan kecil yang membawa berbagai macam sayuran, kurasa tidak ada untungnya untuk menolong mereka.
"Bagaimana kalau kita ikuti saja mereka sampai ke tempat persembunyian?"
Sesuai dengan penilaian Alma, segerombolan bandit biasanya memiliki tempat persembunyian di dalam hutan. Mereka mengumpulkan berbagai macam barang jarahan di tempat seperti itu. Tampaknya mengikuti ke mana mereka pergi akan menjadi sebuah pilihan yang tepat daripada harus repot-repot melakukan sesuatu yang tidak ada untungnya seperti menolong para pedagang itu.
Aku mengangguk sebagai tanda persetujuan pada pilihan yang diambil Alma. Kami akan menunggu sampai perampokan ini selesai dan mengikuti mereka kemudian.
***
Bangunan yang berada di depan kami adalah sebuah mulut gua yang dijaga oleh tiga orang bandit. Tidak terlalu buruk memang menganggapnya sebagai tempat persembunyian. Untuk alasan tertentu, aku memuji bakat mereka dalam menentukan basis utama.
Sekitar satu jam telah terlewati sejak kami pertama kali melihat tujuh orang bandit yang kami ikuti masuk kemari. Yah, selama itu pula kami hanya diam memperhatikan dari balik semak seraya menentukan metode apa yang harus dilakukan. Setelah semua persiapan selesai, Alma dan aku mulai berjalan santai ke arah mulut gua.
"Hei bocah, bagaimana kalian bisa kemari?" Itu adalah sebuah pertanyaan yang kasar.
Ini adalah pertama kalinya bagiku terlibat dalam pembicaraan tanpa rasa takut dari pihak lawan. Beberapa alasan membuatku sedikit bersemangat. Pandangan bergairah pada tubuh Alma dan rasa meremehkan dari tiga orang bandit yang menjaga mulut gua membuatku sedikit menyunggingkan senyum.
"Ah maaf, kami tersesat." Aku berniat untuk bermain-main sejenak. "Bolehkah kami bertanya?"
Dia melihat ke arahku sementara dua orang lainya tak lepas memandangi tubuh Alma yang hanya tertutupi oleh sehelai kain robek. Mereka benar-benar mengabaikan noda darah di pakaian kami berdua. Yah, mungkin hasrat seksual manusia itu sangat tinggi hingga cukup untuk membuat seseorang kehilangan fokus.
"Arah mana yang harus kami tuju untuk sampai ke desa terdekat?"
Salah satu dari mereka langsung menjawab, "imbalan apa yang akan kau berikan jika kami menunjukkannya?"
Ah, benar-benar tindakan yang mudah diprediksi.
Aku tersenyum saat menjawab pertanyaan itu. "Ambil semua yang kau inginkan dariku."
Mereka bertiga langsung menyunggingkan senyum menjijikan, bertukar pandangan sebelum membalas ucapanku.
"Bagaimana jika tubuh gadis itu?"
Sudah kuduga semuanya akan berjalan menuju ke arah ini.
Aku merangkul Alma tepat di lehernya dengan tangan kananku. Sikapku yang tenang tampaknya terabaikan begitu saja. Mereka benar-benar sudah kehilangan akal.
"Maksudmu adikku yang manis ini?" Aku memandang ke arah Alma yang tetap terdiam layaknya sebuah boneka. "Apa kau mau sedikit 'melayani' mereka?"
Mendengar pertanyaanku, Alma sedikit memiringkan kepala sebelum menampakkan senyuman yang sangat indah.
Karena aku adalah seorang iblis, aku tak tahu secantik apa dirinya. Namun, wajah oriental dengan rambut panjang sepinggang dan tubuh yang sedikit kurang proporsional ini tampaknya adalah tipe yang disukai sebagian populasi manusia di dunia fana. Yah, perawakannya mengingatkanku pada anak-anak Elf yang aku bantai di masa lalu.
"Aku tidak keberatan, Kak. Lagipula mereka sudah terlanjur melihat tubuhku." Alma merespon dengan kata-kata yang sungguh tak masuk akal. Namun, alih-alih merasa curiga dengan datarnya raut wajah Alma, mereka malah menerimanya begitu saja.
Aku melepaskan rangkulanku dan membiarkan Alma untuk melakukan peran yang sudah kami sepakati.
Dia melangkah santai dengan tangan kanan menggenggam salah satu belati di belakang pinggangnya. Kemudian, Alma mencabut belati itu dengan gerakan yang anggun seraya mengacungkannya tinggi-tinggi. Logam hitam pekat yang sedikit memantulkan cahaya bulan itu langsung menyadarkan salah satu dari mereka akan sebuah bahaya.
"Tidak, jangan katakan ... " Salah satu bandit memasang raut wajah terkejut.
"Sialan kau bocah, jangan harap kau akan keluar hidup-hidup!" Dua orang dari mereka segera menarik masing-masing pedang yang menggantung di pinggangnya.
Yah, menarik senjata di hadapan orang lain adalah pernyataan untuk menantang bertarung. Jika yang melakukanya adalah seorang gadis muda kepada tiga bandit bertampang seram, kurasa itu akan menjadi sebuah bentuk penghinaan. Maka, tidak salah jika mereka menjadi marah. Namun, salah satu dari mereka berprilaku aneh.
"Ki-kita harus segera melaporkannya pada Boss!" Bandit itu berbicara dengan nada penuh kengerian.
"Apa-apaan kau ini? Dia hanya seorang gadis kecil, tahu!"
"Pedang itu, tidak salah lagi, demoniac weapon! Mereka yang memegangnya sebanding dengan petualang peringkat Gold! Kita bertiga bukan tandingannya!"
Salah satu bandit tampaknya memiliki pengetahuan yang cukup baik. Yah, senjata sihir seperti demoniac weapon dan holy weapon memang senjata yang dapat dengan sekejap meningkatkan parameter pemiliknya. Tidak heran jika mereka menjadi kuat secara instan begitu mereka memilikinya.
"Ugh!"
Saat mereka mengabaikan Alma, salah satu dari tiga orang itu tiba-tiba kehilangan kepala. Darah memancar keluar dengan deras, membasahi rumput-rumput di sekitarnya. Tak lama kemudian, tubuh itu ambruk tidak bernyawa.
Kurasa Alma agak berlebihan.
"Uwa!" Dua orang lainnya berteriak histeris, memandang ke arah Alma yang berdiri tepat di belakang mayat itu.
"D-dia sangat kuat!" Bandit itu menangis dan segera berbalik menuju ke dalam gua.
Mendapati dirinya tinggal sendirian, bandit terakhir mengacungkan pedang miliknya pada sosok Alma walau tubuhnya gemetar. Tanpa ampun, bandit itu segera mengayunkan pedangnya secara serampangan, membelah leher mulus Alma hingga membuka luka yang hampir memenggal kepalanya.
Darah segar kembali membasahi pakaian robek milik gadis itu. Tubuhnya linglung, dia bahkan melepaskan demoniac weapon di tangannya dan terhuyung hampir jatuh.
Alma sedang sekarat.
Awalnya aku tak mengerti kenapa dia tak mampu menghindari serangan amatir seperti itu. Namun, saat dia berbicara, aku mulai tahu penyebabnya.
"Apa-apaan gadis ini? Dia tiba-tiba mengambil alih tubuhku." Tangan kanannya memegangi kening, seolah menderita sakit kepala yang hebat.
Mengabaikan beberapa aspek, aku mulai mengerti dengan situasinya saat itu juga. Jiwa Almaria tampaknya belum hilang sepenuhnya. Namun, bagaimana sesuatu seperti itu bisa terjadi? Almaria sudah mati dan tidak mungkin bangkit kembali. Pasti ada sebuah kesalahan di sini.
"Kutukan dari sabit penyucian dosa membawa Sang Pendosa kembali ke dalam jurang penyiksaan. Penyiksaan abadi membakar dosa-dosa dalam panasnya api neraka. Niveli Dytë Magic : Regenerate." Alma mulai melafalkan sebuah mantra.
Sebelumnya aku menggunakan mantra yang satu tingkat lebih tinggi daripada ini. Itu karena aku harus menyambungkan kembali kepalaku sendiri. Namun, saat aku menyembuhkan Alma pertama kali, aku menggunakan mantra ini sebagai metode pengobatannya. Selain membutuhkan jumlah mana yang lebih sedikit, cooldown dan tingkatannya berada di level sihir yang cukup rendah. Sihir tingkat lima, mantra regenerasi. Sebuah mantra lanjutan dari mantra penyembuh yang berada di tingkat dua.
Luka terbuka di lehernya mulai merapat secara perlahan, membuat Alma pulih hanya dalam waktu beberapa menit. Dia segera bangkit berdiri seraya mengambil belati hitamnya kembali.
"Sihir?! Kau seorang Wanderer?!"
Yah, itu tidak sepenuhnya salah.
Dengan sekali sabetan belati miliknya, kepala bandit tersebut terpenggal rapi sebelum dia dapat menyadari apa yang sebenarnya sedang ia hadapi.