Saat aku mengetahui bahwa seratus orang prajurit kerajaan manusia yang dipimpin oleh seorang gadis muda mulai menerobos masuk ke dalam kerajaanku, aku memutuskan untuk mengirim Seven Deadly Sins dan menangkap mereka hidup-hidup. Seperti biasa, rasa ingin tahuku yang tinggi membuatku selalu penasaran dengan segala macam hal yang ada di dunia ini. Termasuk pola pikir segala makhluk hidup.
Bahkan jika seluruh ras menggabungkan kekuatan, kemungkinan untuk mereka menang itu tidak ada. Lalu, kenapa orang-orang bodoh ini tiba-tiba menyerang?
Ketika aku menatap sosok yang memimpin penyerangan itu, rasa ingin tahu ini semakin tinggi. Dia hanyalah gadis lemah. Mungkin kekuatannya setara dengan salah satu dari Demon Lord. Namun, kurasa mustahil jika dia dapat menang melawan Acient Demon dalam duel. Ya, itu sudah dipastikan.
Aku pikir tindakannya sangatlah bodoh ketika dia menantangku dalam sebuah duel. Karena mustahil baginya untuk menang, aku memutuskan untuk menerima tantangan tersebut dan mengikatnya dengan sebuah sumpah setelah dia kalah dariku. Namun, apa-apaan ini?!
Setelah dunia terasa pecah menjadi serpihan-serpihan yang kemudian menghilang, seluruh pandanganku menjadi gelap. Aku sama sekali tak bisa melihat maupun merasakan apa-apa. Seluruh indraku kini sudah dilumpuhkan.
Apakah aku terkena sihir ilusi yang dia rapalkan? Itu mustahil!
Sihir ilusi adalah sebuah sihir yang tidak akan dapat memberikan kerusakan apa pun. Dengan kata lain, ini adalah sihir yang begitu lemah dan tidak akan menimbulkan efek apa pun padaku. Hal ini disebabkan karena ras iblis adalah makhluk yang resisten terhadap segala bentuk serangan mental. Tidak mungkin bagi kami untuk terkena serangan ilusi walau sekuat apa pun tingkatannya.
Jika memang seperti itu, lalu apa yang sedang terjadi sekarang ini?
Tepat saat aku memikirkanya dalam-dalam, serpihan-serpihan cahaya mulai melesat di hadapanku. Cahaya-cahaya itu membentuk sebuah adegan yang begitu banyak. Walau sangat sulit untuk melihat pecahan adegan tersebut yang melesat dengan kecepatan luar biasa, aku tetap dapat menangkap beberapa momen dengan penglihatan kinetisku yang sangat baik. Adegan-adegan itu berisi tentang seorang gadis kecil berambut hitam yang beberapa kali menderita akibat ulah anak buahku.
Ribuan adegan silih berganti dengan begitu cepat. Sebagian besar berisi pembunuhan yang dilakukan ras iblis. Sisanya hanya percakapan dan aktivitas sehari-hari gadis tersebut. Aku tak begitu memperhatikannya karena menurutku itu tidaklah penting.
Setelah lama disuguhi dengan sesuatu yang membosankan semacam itu, seberkas cahaya menyilaukan mulai menghalangi pandanganku. Secara reflek aku memejamkan mata untuk melindungi penglihatanku. Kemudian, sebuah suara mulai menggetarkan gendang telingaku yang kini telah berfungsi kembali.
"Bagaimana? Apakah sudah selesai?" Suara seorang pria terdengar begitu jelas.
"Kepalanya sudah terpenggal, aku yakin dia sudah mati." Suara lain menyahut tepat di sampingku.
Selain dua suara itu, suara rengekan gadis kecil yang ketakutan samar terdengar olehku. Jujur saja, rasa takut yang dipancarkan olehnya seakan menambah ketajaman setiap indra yang aku miliki.
Perlahan aku membuka mataku.
Padang rumput di kegelapan malam. Itulah hal pertama yang memenuhi bidang pandangku. Dilihat dari citra yang tampak dalam kepalaku, kelihatannya tubuhku sedang terbaring miring di atas padang rumput di tengah hutan. Aku sama sekali tidak mengerti akan situasinya. Namun, aku yakin bahwa ini adalah pengaruh ilusi dari Sang Pahlawan. Tampaknya akan jauh lebih baik untuk mengamati terlebih dahulu daripada langsung bertindak bodoh.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan pada adiknya? Apakah lebih baik untuk menjualnya sebagai budak? Dengan wajah semanis ini, rumah bordil pasti akan membayar sangat mahal." Suara itu kembali terdengar.
Kali ini, suara tangisan gadis kecil yang seperti tertahan sesuatu terdengar semakin jelas. Rasa takut yang dipancarkan olehnya sangatlah pekat. Karena tertarik dengan apa yang terjadi, aku melirik ke arah sumber ketakutan itu.
Sosok yang terikat di salah satu pohon adalah seorang gadis kecil yang berusia sekitar empat belas tahunan. Rambutnya berwarna hitam pekat dan sedikit kusut. Wajahnya tampak memerah dengan bola mata cokelat yang dipenuhi oleh air mata. Mulut kecilnya ditutup dengan sebuah kain lusuh berwarna hitam. Itulah sebabnya suara tangis gadis tersebut tertahan.
Tepat di sampingnya, berdiri dua orang pria dewasa yang mengenakan armor perak dan dilengkapi dengan pedang berlumuran darah. Dilihat dari penampilannya, mereka mungkin ksatria kerajaan.
"Tidak, tidak. Boss ingin seluruh keturunan Marquis Canaria mati agar tak ada penerus yang tersisa. Lebih baik kita bunuh juga." Salah satu dari pria itu kembali menjawab pertanyaan rekannya.
Dalam tatanan kehidupan manusia, gelar Marquis biasanya diberikan pada orang-orang yang dipilih oleh raja karena jasanya di masa lalu. Mereka akan diberikan sebuah wilayah dekat perbatasan dan dipercaya untuk melindungi kerajaan dari serangan kerajaan lain. Selain Marquis, terdapat tingkatan yang lebih tinggi dan tingkatan yang lebih rendah. Namun, aku tidak peduli tentang hal ini.
"Sayang sekali, padahal wajahnya cukup manis. Aku yakin dia akan menghasilkan banyak uang di rumah bordil."
Sesaat setelah kata-katanya berakhir, pedang perak miliknya kini mulai menembus bagian perut gadis itu. Jeritan kesakitan yang tertahan oleh kain begitu indah terdengar di telingaku. Ingin rasanya aku menusuk tangan dan kaki gadis itu untuk mendengar jeritannya yang lebih indah dari ini. Namun, aku harus bersabar dan tak boleh bertindak ceroboh, kemungkinan besar ini hanyalah ilusi Sang Pahlawan.
Darah mulai mengalir dari sela-sela pedang, membasahi pakaian yang dikenakan oleh gadis itu. Saat jeritannya mulai melemah, tusukan di perutnya kini diperlebar hingga ke dada sampai-sampai organ dalamnya keluar. Mata gadis itu mulai sayu sebelum akhirnya terpejam karena kehabisan darah.
Aku yakin jantungnya telah terbelah menjadi dua sekarang.
"Baiklah tugas kita telah selesai. Ayo kita pergi untuk melapor." Rekan di sebelahnya kembali berbicara, membuat pria itu mencabut pedangnya dengan kasar dan lekas membersihkan noda darah menggunakan pakaian gadis itu sebelum menyarungkanya kembali.
Mereka berdua mulai pergi meninggalkan aku dan mayat gadis itu yang masih terikat di pohon. Tubuh berlumuran darah dan bau amis yang menyengat membuat dia terlihat sangat menawan. Betapa indahnya pemandangan di hadapanku.
Setelah kejadian singkat itu, kesunyian di tengah hutan mulai menghampiriku.
Karena sudah tak ada lagi kejadian di sekitarku dan aku mulai bosan menunggu, akhirnya diriku yang masih tergeletak di atas rumput liar memutuskan untuk bangun. Namun, sesuatu yang janggal tiba-tiba aku alami. Walau sensasinya seakan tubuhku telah terbangun, pada kenyataanya kepalaku masih terbaring di atas rumput tanpa bergerak sama sekali.
Ada apa ini?
Saat aku masih tidak sadar dengan apa yang sebenarnya terjadi, sebuah suara tiba-tiba menghampiriku. Dengan cepat aku mengalihkan pandangan pada sosok yang kini berdiri tak jauh dariku. Itu adalah sosok tubuh kecil yang mulai melangkah mendekat. Ada yang aneh dengan bagian atas tubuhnya. Tepat di atas bagian leher, dia sama sekali tak memiliki kepala.
Dullahan? pikirku dalam hati.
Tubuhku reflek melompat mundur beberapa langkah dan mengambil sikap waspada. Namun, tubuh tanpa kepala itu seakan mengikuti gerakanku dengan akurasi yang sangat tepat. Dia melakukannya dengan sangat baik.
Tanpa pikir panjang, aku membuka magic storage milikku dan langsung menarik salah satu demoniac sword terkuat yang paling aku banggakan. Apa yang terjadi selanjutnya adalah sosok itu menggenggam sebuah pedang hitam dengan tangan kanannya dan mengacungkannya ke arahku.
Apa-apaan ini?!
Untuk beberapa detik aku tidak bergerak sama sekali. Hal ini membuat tubuh itu terdiam layaknya sebuah patung. Lalu, aku mencoba mengayunkan tangan kananku yang masih terasa seperti sedang menggenggam sebuah pedang. Sesuai dengan dugaanku, tubuh itu mengikuti setiap gerakan yang aku lakukan.
Tidak! Tidak! Tidak! Bagaimana ini mungkin? Tubuh manusia tanpa kepala itu, mustahil itu adalah tubuhku!
--------
Riwayat penyuntingan :
• Minggu, 6 Januari 2019