Di pertandingan, aku tidak bisa melakukan apa-apa, hanya bisa sekedar memberi pengarahan kepada pemain yang berada di lapangan. Tentu saja karena aku memang tidak punya pengalaman dalam melatih. Hanya seorang amatir yang tiba-tiba disuruh membantu untuk melatih mereka.
Setiap set, masing-masing tim memiliki dua kali kesempatan untuk meminta time out. Di saat itulah kugunakan untuk memberi pengarahan lebih dan juga meminta meminta pendapat dari pemain yang bertanding untuk melakukan rotasi atau pergantian pemain, dan sebagainya.
Pertandingan berjalan cukup seru. Untuk tim putra, Pelatih mereka tidak menurunkan beberapa pemain utamanya. Setidaknya ini bisa membuat pertandingan ini berimbang.
Pada akhirnya, pertandingan berakhir dengan kemenangan tim bola voli putra di dua set permainan. Set pertama, tim putri kalah 20-25 dan di set kedua 23-25. Di set kedua mereka bermain lebih baik karena seperti sudah terbiasa dengan permainan dari tim putra. Itu suatu kemajuan. Kalau ada satu set lagi, mungkin mereka bisa menang dengan skor yang beda tipis, seperti 27-25, mungkin.
Setelah melakukan hormat setelah pertandingan selesai, orang-orang yang melihat pertandingan ini memberikan tepuk tangan kepada kedua tim yang bermain.
"Pertandingan yang bagus…"
"Semoga di turnamen nanti bisa menang…"
"Terus semangat…"
Aku menyuruh Taniguchi-san untuk mengumpulkan mereka di pinggir lapangan untuk melakukan rapat kecil.
Setelah semuanya berkumpul, aku pun mulai berbicara.
"Etto, gimana permainan dari tim putra? Silakan, Nazuka-san, kapten kita."
"Fisik mereka kuat dan permainan mereka rapi. Mungkin itu saja."
"Ada yang ingin nambah?"
Aku melihat ke arah pemain yang bermain tadi. Nafas mereka terengah-engah karena kelelahan. Ini salahku karena menyuruh mereka bermain sekuat tenaga. Maafkan aku.
"Ah-ah, ngga ada, Amamiya-kun." Shimizu-san menjawabnya dengan nafas yang tidak teratur.
"Yang kelelahan, duduk saja dulu."
"Ah-ah, baiklah."
Mereka menuruti perkataanku dan mulai duduk di depanku.
"Yang jadi perbedaan terbesar di antara kita dengan mereka itu cuma pengalaman. Mereka bisa mengantisipasi semua pola serangan tim kita karena mereka punya pengalaman yang pernah berada di dalam situasi seperti itu. Karena itulah mereka bisa tau serangan kita seperti apa. Bagaimana rasanya kalah? Kesal, kan?"
"Ya, kesal!!" Mereka menjawabnya serentak.
"Walaupun ini cuma latihan, jangan lupakan perasaan kesal karena kekalahan hari ini. Bawa perasaan ini ke turnamen nanti dan hancurkan di sana. Satu kata dariku, 'Menanglah!' walau cuma di satu pertandingan. Ngga perlu target untuk jadi juara. Targetkan untuk menang."
"Ya, Pelatih Amamiya."
Semuanya menjawabnya dengan serentak dengan suara yang besar. Seketika aku menjadi pusat perhatian dan membuatku menjadi gugup dan malu.
Ya ampun, padahal sudah kukatakan jangan panggil aku seperti itu.
"Baiklah, kita cukupkan latihan untuk hari ini. Shiraishi-san, ada yang ingin kamu sampaikan kepada mereka?"
"Jangan menyerah!"
"Itu aja?"
"Ya…"
"Baiklah. Kalau begitu kita bubar…"
"Bentar, Amamiya-kun."
Taniguchi-san memotong kata-kataku. Sepertinya ada yang ingin disampaikan.
"Pelatih kami udah bisa kembali besok."
"Ah, begitu ya. Berarti hari ini hari terakhir aku jadi pelatih kalian. Kalau begitu, yang semangat, ya. Jangan lupakan pelatihan dariku."
"Terima kasih banyak, Pelatih Amamiya." Mereka menjawabnya serentak lagi.
"Sudah kubilang, kan? Jangan panggil aku seperti itu.
"Haha…"
Tawa mengakhiri pertemuanku dengan klub bola voli putri hari ini. Semoga mereka bisa memperoleh kemenangan di turnamen nanti.
Aku dan Shiraishi-san meninggalkan Gedung Olahraga. Suasan senja dengan cahaya oranye kemerahan terpancar ke seluruh sekolah.
Saat ini aku berjalan bersama Shiraishi-san tanpa melakukan pertukaran frasa. Kami hanya terdiam. Lagi pula tidak ada hal yang ingin kubicarakan degannya. Sifatnya yang dingin itu membuatku takut untuk mencoba mengajaknya bicara dan untuk lebih mengenalnya.
Tidak tahu kenapa, aku semakin tertarik untuk mengenalnya. Tapi, tentu saja itu sulit. Dia terlalu menutup dirinya. Dari matanya terpancarkan kesedihan karena kesendirian namun juga kebencian karena kebersamaan. Karena itulah aku hanya menyapanya saja, sama sekali tidak berani untuk mencoba menanyakan tentang dirinya. Pasti telah terjadi sesuatu di masa lalunya sehingga membuat dia, Shiraishi Miyuki, menjadi seperi sekarang.
Peristiwa masa lalu tidak akan bisa dihapus. Kita yang sekarang merupakan hasil dari diri kita dari masa lalu. Namun, masa depan bisa diubah. Kita bisa mengubah diri kita untuk masa depan. Itulah yang kupercayai.
Kami berpisah di loker sepatu. Aku kembali ke kelas untuk mengambil blazer dan tasku, setelah itu aku pulang.
Hari yang panjang di sekolah pada hari Rabu ini pun akan berakhir. Berjalan sendirian melewati gerbang sekolah, menyeberangi jalan, berjalan di trotoar samping Sungai Meguro, terus berjalan hingga aku sampai di apartemenku.
Cahaya matahari mulai meredup. Langit mulai berwarna biru kehitaman hingga akhirnya menjadi hitam sempurna karena malam telah tiba.
Malam datang dengan membawa hembusan angin yang dingin, masuk dari arah berada ke dalam kamarku ini. Pemandangan malam hari dari lantai lima apartemen di daerah Daikan'yama ini tidaklah spesial. Rasanya seperti hanya ada kesunyian yang tersampaikan padaku.
Dengan angin yang berhembus masuk ke dalam kamar ini, kulanjutkan aktivitas di malam hari ini dengan menyalin catatan yang diberikan Mizuno-san.
Semoga hari esok datang dengan cuaca yang cerah dan tubuhku sudah kembali bugar seperti sebelumnya.