Chereads / Lisya, The Guardian of Nature / Chapter 13 - Bagian 13 - Pertarungan Singkat

Chapter 13 - Bagian 13 - Pertarungan Singkat

"Berikan aku perlindunganmu!"

Karena Lisya memanggil sihirnya dengan spontan kekuatan yang muncul tidaklah kuat, namun itu cukup untuk menghentikan pergerakan gesit siren.

Serangan siren menghantam udara beberapa sentimeter di depan wajah gadis elf itu. Wajahnya tampak kesal, namun sorot matanya menyala dengan warna semerah darah yang mengerikan.

Seketika Lisya menyadari kelalaiannya.

'Gawat, aku tak dapat berpikir jernih saat ini. Refaz pasti akan memarahiku' pikir Lisya dengan menjauhkan diri dari posisi siren yang menyerangnya.

Siren menghilang dari balik kabut lagi, namun Lisya cukup dapat mendengar suaranya.

Pergerakannya terdengar lebih cepat dari sebelumnya. Lisya tak tau mengapa, namun hal itu telah menjadi sinyal bahaya untuknya.

Lisya memposisikan dirinya dengan busur di tangannya untuk berjaga-jaga. Setiap kali dia mendengar suara siren yang cukup dekat, Lisya tanpa sadar melepas anak panahnya.

Namun untuk kesekian kalinya dia meleset membuang sia-sia tiap anak panahnya.

Rasa kesalnya akan memuncak saat Lisya menyadari Refaz tak berada di sampingnya seperti saat dirinya menemaninya berlatih di padang rumput di luar kota Mizore.

Saat itu Lisya hanya bisa mengeluh karena lawannya terlalu mudah. Sampai akhirnya Lisya diseret dalam situasi hidup mati seperti ini, dia justru berharap orang lain akan datang menolongnya.

Lalu untuk apa semua latihan itu? Apa yang bisa dirinya gapai?

'Tidak. Tenangkan dirimu, Lisya. Kau harus berpikir cara untuk mengalahkannya.'

Menghirup napas panjang, Lisya memejamkan matanya dan mempergunakan seluruh inderanya untuk menangkap pergerakan siren yang sulit terbaca.

Lisya mendengarkannya dengan seksama dan mulai menggerakkan jemarinya untuk menarik busurnya.

Setelah dengan sabar menunggu, Lisya membuka matanya seraya melepas anak panahnya. Suara rintihan makhluk tersebut terdengar tepat setelahnya.

Pergerakannya terhenti. Lisya segera memanfaatkannya dengan melepas beberapa anak panah sekaligus.

"RRAAAAAAARRG...!!!"

Siren menjerit kesakitan saat anak panah tertancap pada pundak kirinya dan setelahnya anak panah terus berdatangan.

Awalnya siren berniat melarikan diri, namun dia segera menyadari bahwa Lisya telah hampir kehabisan anak panahnya sehingga tanpa menunggu siren justru bergerak mendekati Lisya.

Tak dapat menghindari pertarungan jarak dekat, Lisya meletakkan kembali anak panahnya kemudian memanfaatkan busurnya untuk bertahan.

Serangan siren terhenti. Wajahnya yang tampak mengerikan berada cukup dekat dengannya. Hal itu membuatnya terpukul mundur.

Kembali siren melancarkan serangan melalui kuku tajam di tangannya. Lisya hanya menghindarinya dengan melompat mundur, namun punggungnya menghantam sesuatu yang dingin.

Tak dapat memastikannya, Lisya bergerak menyamping saat siren kembali melompat padanya yang kemudian menghantam dinding reruntuhan tersebut.

Sisa-sisa bangunan itu terlihat bergetar satu sama lainnya kemudian ambruk menimpa siren tadi.

"Eh, sudah... berakhir...?"

Terdapat ketidakyakinan dari kata-kata Lisya mengingat tak ada pergerakan yang terlihat. Mencoba memastikannya Lisya mendekat.

Saat dia berpikir semuanya telah berakhir, reruntuhan yang menimpa siren bergetar. Tepat setelahnya siren mencoba melompat keluar pada Lisya.

"Dasar keras kepala!!"

Dengan jarak yang cukup dekat, Lisya melepaskan anak panahnya, namun itu belum cukup untuk membunuhnya. Kemudian, dia mengeluarkan pisau yang dia sembunyikan di balik roknya, menusukkannya pada siren.

Serangan itu tepat mengenai lehernya hingga membunuh siren. Darah mulai menetes keluar dan mengalir melalui pisau menuju tangannya.

Sontak Lisya melepas pegangannya. Dia menatap tangannya yang gemetar seusai membunuh siren. Darah di tangannya mengingatkan dirinya pada saat ayahnya, Ayrei meninggalkannya.

Lisya berusaha menekan perasaannya dan membuang jauh-jauh pikiran itu. Dia memungut pisaunya dan bergegas membersihkan diri.

Sebentar lagi mungkin siren akan berkumpul mengingat satu diantara mereka telah Lisya kalahkan. Lisya yang sudah tak memiliki banyak tenaga berniat meninggalkan tempat tersebut.

Namun pikirannya tertuju pada seseorang.

"Refaz..."

Kini yang Lisya bisa lakukan hanyalah bergegas meninggalkan wilayah Kabut Sihir tersebut. Seusai keluar nantinya Lisya baru akan mencari Refaz.

Dengan berharap demikian, Lisya menata kembali barang bawaannya dan bergegas melangkah pergi.

Lisya keluar dan menemukan bekas jalan setapak yang tertuju pada reruntuhan tersebut.

"Sekarang, apa yang harus aku lakukan?"

'Bagaimana caranya agar Refaz dapat menemukanku?' Pikir Lisya seraya menatap langit.

Langit di wilayah netral cukup gelap seolah cahaya matahari hampir tak dapat mencapai tanah, membuat udara di sekitar terasa dingin. Tanah tidak lagi sehijau pada umumnya dan tidak tampak satu pun makhluk hidup tinggal.

Awalnya Lisya berniat meminta pertolongan beberapa burung, namun kabut terlalu tebal dan tak ada satu pun sihir deteksi yang dapat digunakan di dalamnya.

Itu sebabnya Lisya lebih memilih menyalakan api unggun di siang hari itu. Asapnya akan membumbung tinggi dan jika Refaz melihatnya setelah keluar dari kabut itu dia pasti akan segera menyadarinya.

Sambil menunggunya, Lisya memutuskan berkeliling dan mengawasi sekitar dengan meninggalkan api unggun tersebut. Dia berharap saat dia kembali nantinya Refaz akan menemukan posisinya.

Dengan begitu dia meninggalkan tempat pertemuannya.

———

Lisya yang telah kembali setelah membersihkan diri dan mengasah kembali pisau miliknya di sungai terdekat menemukan sesuatu pada tempat pertemuan yang telah dipersiapkannya.

Dengan meninggalkan beberapa barangnya, Lisya pikir Refaz akan menyadarinya, namun yang Lisya temukan justru bukanlah pemuda half-elf tersebut.

Di sana tampak seperti anak kecil yang tengah memperhatikan barang bawaannya dengan penuh penasaran. Saat dia mendapati Lisya memandang ke arahnya dia tampak terkejut.

Saat anak kecil itu akan berlari, Lisya menghentikannya dengan memanggilnya tanpa sadar.

"Tunggu dulu!"

Anak kecil yang hendak berlari itu berhenti dengan tubuh gemetar. Sepertinya Lisya membuatnya ketakutan, namun siapapun yang melihat orang asing mengutak-atik barang seseorang pasti akan menduga bahwa orang tersebut adalah pencuri.

Lisya tidak memperhitungkannya terlebih dahulu. Lagipula di matanya dia masih anak-anak, seharusnya Lisya tak berteriak sedemikian rupa.

Berusaha mendekatinya, Lisya berujar dengan suara rendah dan meminta maaf.

"Maaf mengejutkanmu, tapi siapa kau? Mengapa kau ada di sini?"

Itulah tanda tanya terbesarnya. Seharusnya wilayah netral adalah wilayah berbahaya dan tidak ada satu pun manusia tinggal di dalamnya.

Namun dengan adanya anak kecil itu, itu berarti ada pemukiman di sekitar sini.

Anak kecil itu berbalik dengan masih memiliki tubuhnya yang bergetar karena ketakutan. Seketika Lisya dapat mengetahui bahwa anak kecil itu adalah seorang gadis terlihat dari bentuk wajahnya dibalik tudung yang menutupi kepalanya.

Gadis itu mungkin berumur beberapa tahun lebih muda dari Lisya. Kulitnya cukup berwarna hitam dan tubuhnya tidak gemuk atau bahkan bisa dikatakan sangat kurus.

Mengetahui keadaannya, Lisya menurunkan penjagaannya lalu bertanya kembali pada gadis itu.

"Apa kau ingin makanan minuman?"

Sontak dari pertanyaannya gadis itu tersentak terkejut dan semakin ketakutan. Lisya tersenyum masam karena sepertinya gadis itu salah menduga niat pertanyaannya.

Karena gadis itu enggan bersuara, Lisya mencoba meluruskan kesalahpahamannya dengan mengambil sesuatu dari kantong tas yang dibawanya.

Itu adalah roti bulat dan juga kantung air minum yang awalnya adalah makanan untuk perjalanannya. Karena tidak dapat bertahan lama, Lisya berpikir tidak apa-apa untuk memberikannya. Lagipula dia sudah terbiasa makan makanan pemberian alam.

"Jika kau menginginkannya, ambillah. Aku sama sekali tidak keberatan."

Kata Lisya dengan menyodorkannya pada gadis itu. Melihat sesuatu yang sangat diinginkannya gadis itu tampak ingin mengambilnya, namun dia menarik diri seperti tidak yakin.

Melihatnya seperti itu, Lisya memperjelasnya lagi.

"Ambillah. Ini gratis, aku tak akan meminta apa pun darimu."

Katanya lagi yang akhirnya Lisya dapat mendengar balasan gadis itu.

"S-Sungguh...?"

"Tentu."

Ekspresi gadis itu tampak bahagia, dia dengan segera mendatangi Lisya dan mengambil makanan dan minuman yang ditujukan padanya.

Gadis itu makan dengan penuh semangat. Karena sekarang hanya beberapa jam sejak keberangkatannya, roti yang Lisya miliki masih cukup hangat meski bentuknya agak sedikit hancur karena Lisya sempat melempar kantong tas miliknya.

Namun sepertinya dengan itu dapat menumbuhkan senyum di wajah gadis itu. Melihatnya cukup membuat Lisya senang.

Mereka kemudian duduk mendekati api unggun karena udara semakin terasa dingin. Sepertinya perubahan cuaca yang ekstrem itu diakibatkan oleh awan hitam yang menghalangi sinar matahari dan juga Lisya merasa setelah ini akan turun hujan.

Namun karena itu mungkin masih lama, Lisya mencoba menghabiskan waktu untuk bertanya pada gadis itu.

"Hey, siapa namamu? Darimana kau berasal?"

Gadis yang telah menghabiskan separuh roti itu memandangi Lisya memberikan jawaban. Suaranya sedikit tidak terdengar karena mulutnya masih penuh dengan makanan.

"Ran, nia. Rumahku ada di dekat sini..."

Ingin melanjutkan perkataannya tiba-tiba saja gadis itu tertunduk seperti merasa sedih. Lisya yang tidak mengerti kembali bertanya padanya.

"Ada apa?"

Gadis yang jika Lisya tak salah dengan namanya adalah Rania itu berujar dengan suara yang lirih.

"Aku... ibuku... kami terpisah... Phantom..."

Seketika dari balik pipinya air mata mengalir jatuh. Dia teringat sesuatu yang penting yang membuatnya tak dapat membendung kesedihannya.

Lisya tak sepenuhnya mengerti, namun dari perkataannya sepertinya gadis itu telah diserang monster di hutan bersama ibunya. Mereka lalu berpisah dan dia tak mengetahui kabar mengenai ibunya.

Di dalam hatinya Lisya berusaha untuk menahan dirinya. Kisah gadis itu serupa dengannya dan bahkan gadis itu jauh lebih muda darinya.

Itu wajar untuk membuatnya sedih dan takut kehilangan.

Berusaha menenangkannya Lisya mengusap puncak kepala gadis itu. Air matanya mengalir tanpa henti hingga membasahi roti di tangannya.