Chereads / Lisya, The Guardian of Nature / Chapter 4 - Bagian 4 - Bertemu Demon

Chapter 4 - Bagian 4 - Bertemu Demon

"Hey, Aesura. Kau pernah berkata kalau semua buku ini dari dunia luar. Memangnya siapa yang pergi meninggalkan hutan tanpa dimarahi oleh tetua?"

Itu adalah hari tak lama setelah Aesura mendapatkan pekerjaan sucinya yang sebelumnya adalah tenaga pengajar menjadi penjaga perpustakaan.

Lisya yang tak sering datang itu saat datang selalu mempertanyakan banyak hal termasuk satu hal tersebut.

Sejak kecil Lisya memang penasaran dengan dunia luar. Apakah itu indah? Apakah dunia luar itu semengerikan yang diceritakan?

"Dunia luar? Ah, maksudmu kurir itu? Aku memang pernah mengatakannya dan sebenarnya aku cukup dekat dengannya."

"Benarkah?! Apakah dia selalu datang?!"

Mendengar pernyataan Aesura, Lisya menjadi kegirangan karena mungkin dia akan dapat mengetahui banyak hal tentang dunia luar dari sosok itu.

"Kenapa kau sebegitu tertarik dengannya?"

"Memangnya kenapa? Aku hanya ingin belajar lebih banyak. Seperti yang dikatakan penyair dalam bukunya yang berjudul 'Endless Adventure' dimana dia berkata 'jadilah seperti burung yang dapat terbang tinggi dan melihat segalanya. Percayalah, dengan mata itu kau akan menyadari dunia begitu luas untuk dapat kau temukan keindahannya dan keburukkannya'."

Mendengar celotehannya Aesura mengetuk kepala gadis itu dengan buku yang dibawanya.

"Bodoh, meskipun kau ingin menjadi sepertinya... apakah kau tak menyayangi tempat tinggalmu ini? Aku tidak membatasimu, namun kau harus tau tidak semua harapan bisa terkabul. Terkadang kita harus mengabaikan impian kita untuk impian yang lebih besar. Alasan kenapa penyair itu bisa menuliskan hal tersebut karena sejak awal dia hanya punya satu impian yaitu berkeliling dunia."

Lisya mengeluhkan bagaimana Aesura bersikap dihadapannya. Dia menggerutu karena bantuannya malah dibalas dengan sikap kasar lelaki elf tersebut.

"Lagipula kurir yang aku katakan itu tidaklah seperti yang kau bayangkan."

Kini Lisya memandanginya bingung meski dengan kepala yang sakit akibat buku yang diketukkan Aesura.

"Dia terlihat biasa-biasa saja, namun sebenarnya dia memendam perasaannya. Aku begitu mengerti dirinya."

"Memangnya siapa orang itu dan dia siapamu?"

Aesura tidak langsung menjawab, dia tersenyum pada Lisya yang masih memandangnya dengan senyum yang sulit diartikan.

Lisya mengerti, seharusnya dia tidak bertanya hal tersebut, namun apa daya kata-katanya itu telah keluar dan didengar Aesura.

"Dia itu... orang yang sangat berharga untukku."

———

"Perkenalkan, aku Refaz. Bagian dari ras kalian yang terbuang."

"Ter...buang...?!"

Akhirnya Lisya mengerti arti perkataan Aesura sebelumnya. Sosok lelaki elf yang berdiri dihadapannya ini adalah orang yang dimaksud Aesura.

"Hm, sepertinya kau kebingungan. Hey, Meisa. Kau belum menceritakan apapun padanya?"

Meisa mengangkat bahunya seolah dia tak peduli.

"Itu bukan hakku untuk menceritakannya. Kenapa tidak kau saja?"

"Ah, tidak. Aku tidak tertarik bahkan dengan ceritaku sendiri. Mungkin lain kali saja."

Saat mereka tengah berbincang, seseorang telah bergabung diantara mereka dengan melambaikan tangannya pada Refaz.

"Hey, Refaz. Kau datang lebih awal dari bulan lalu."

"Oh, Aesura! Lama tak bertemu, sepertinya kau sudah terbebas dari pekerjaan membosankan itu."

"Ugh! Dan sepertinya kau tidak membawa barang-barang aneh lagi."

"Guh!"

Perkelahian dua lelaki itu membuat tawa kecil Lisya pecah. Dia ingat kalau Aesura berkata dirinya cukup dekat dengan Refaz dan Lisya dapat melihatnya saat ini.

"Oh, ya Refaz. Bagaimana keadaanmu? Tinggal di dunia manusia pasti berat untukmu."

Meisa menanyakan hal yang sekejap seperti sebuah lentera terlintas di pikiran Lisya. Seketika dia ikut penasaran.

"Ah, dunia manusia itu memang menyebalkan. Mereka menjual barang dengan harga yang sangat tinggi, banyak penipuan, penculikan, bahkan pembunuhan."

Mengatakannya dengan enteng seketika apa yang keluar melalui lidah Refaz membuat Lisya kecewa.

Memang benar bahwa beberapa ras saat ini sedang bermusuhan, namun jika mereka tidak melihat sisi baik ras lain maka tak akan ada hari dimana mereka bisa berdamai.

Aesura yang paling memahami Lisya seketika menyikut Refaz dan dibalas tatapan tanya lelaki elf tersebut.

Menatapnya tajam Aesura meminta Refaz menceritakan kisah yang lebih baik. Bagi Lisya, Refaz seperti penyair yang selalu menulis buku karena itulah dia mengaguminya.

Begitu tersadar Refaz bergumam 'ahh...' dengan ringan dan menatap Lisya lekat.

"Sepertinya kau begitu tertarik dengan dunia luar. Sebelum aku mengatakannya, apa yang kau tau tentang dunia luar?"

Pertanyaan itu Refaz ajukan tidak lain karena dia tertarik dengan gadis elf itu. Jarang elf yang memikirkan dunia luar atau bahkan ras lainnya.

"Itu... disana tempat tinggalnya berbagai macam ras. Setelah perang besar yang mengguncang dunia luar, beberapa ras telah memutuskan hubungan mereka dan saling melakukan gencatan senjata."

"Kau benar. Seperti yang kau katakan. Beberapa ras tidak akur dan apabila mereka ditemukan berada di wilayah ras lain tanpa penanggung jawab maka mereka hanya akan menjadi pusat kekesalan tiap ras yang tidak terima dan mengatakan hal-hal buruk tentang ras tersebut. Tak sepenuhnya dunia indah seperti yang kau bayangkan, Lisya."

"Hey, Refaz...!!"

Sebelum Aesura menyuarakan kekesalannya, Refaz terlebih dahulu memotongnya.

"Namun ada kalanya perbedaan menjadi pengikat hubungan setiap ras. Anggap saja kecerdasan manusia, kekuatan para Demi-human, dan elf yang dekat dengan alam. Jika mereka bisa melihat sisi baik dari ketiga ras ini maka suatu saat aku yakin ras elf tidak akan lagi terkurung dalam sangkarnya."

Sambil memandangi langit, Refaz bergumam demikian. Lisya memahami betul maksud 'sangkar' yang baru saja disebut Refaz.

Ya, itu adalah hutan mereka dengan semua peraturan itu.

"Yah, mari lupakan sejenak hal tadi. Lisya, ada yang ingin aku tunjukkan padamu. Anggap saja sebagai hadiah perkenalan kita."

"Hadiah?"

Refaz mendekati griffin yang datang bersamanya kemudian membuka kantung tas besar yang ada pada sisi kiri griffin kemudian berpindah ke kanan karena tidak menemukannya.

"Ah, ini dia!"

Sebuah busur.

Seketika hal itu mengingatkan Lisya tentang pelatihannya barusan dan pelatihannya yang akan datang.

"Ini busur yang terbuat dari kayu pohon ek. Aku yakin ini dilapisi oleh sebuah sihir dan jangan pedulikan tentang mawarnya."

Refaz memberikan sebuah busur panjang hampir setinggi badan Lisya dengan bahan yang dikenalnya, namun ada mawar kuncup di beberapa bagian.

"Ini untukku?"

"Ya, ambillah! Ini hadiah dari Refaz yang baik hati."

Sontak Aesura memotong penyataan Refaz dengan sindiran tajam.

"Mana ada seseorang elf menyebut dirinya sendiri 'baik hati'. Sepertinya kau terlalu banyak berkaca dan berbicara dengan dirimu sendiri."

"Sialan kau Aesura! Kau pikir aku tak punya teman, hah?!"

Lagi-lagi perdebatan antara lelaki elf itu mengundang perhatian elf pelatihan lainnya termasuk Kyle yang sedari tadi hanya memandangi mereka saling berbicara.

"Kalian berempat! Berhenti bermain-main!"

———

Lisya yang lelah dengan pelatihan siang tadi saat ini tergeletak pada kamarnya saat petang menjelang malam.

Dirinya masih tak ingin tidur, namun dia lelah bergerak yang hanya akan semakin menyakiti tubuhnya.

Dan beruntung ibunya, Erita menghampirinya pada kamarnya untuk membicarakan sesuatu.

"Bagaimana dengan latihan pertamamu, Lisya?"

"Haaahh... melelahkan. Paman Kyle tidak bisa sedikit lebih lembut."

"Hahaha... kau ini bisa saja. Kyle terkenal karena dia pernah selalu mengalahkan monster didekat wilayah hutan. Dengan sikap dan kekuatannya itu dia berhasil membuat elf yang berburu kebanyakan selamat."

"Bagiku yang dia lakukan hanya mengoceh tentang membela diri. Aku ini masih terlalu muda. Aesura saja memiliki latihannya di umurnya yang diatas 50 tahun."

Erita menggeleng karena mendengar celotehan Lisya seperti anak kecil yang kesal mainannya diambil.

"Kau tidak boleh seperti itu. Dengan adanya Kyle, Ayah dan Ibumu tak perlu lagi khawatir."

"Khawatir padaku?"

"Ya, sebenarnya saat ini diluar hutan terdapat jejak energi yang jahat. Sepertinya tidak lama lagi akan ada pergerakan sehingga sekumpulan elf penjaga dan elf elit memperketat keamanan."

Lisya tentunya terkejut. Dia bangkit dari posisi tidurnya menatap Erita yang duduk di bangku kayu tak jauh darinya.

"Mungkin aku dan Ayahmu akan lama disana dan tak pulang. Karena itu kau akan aku titipkan pada Kyle."

"Apakah sebahaya itu?"

Elf tidak pernah merasa benar-benar terancam kecuali monster yang secara alami berkembang biak di wilayah mereka. Satu-satunya yang pernah mengancam nyawa ras elf hanyalah serangan Goliath.

"Entahlah. Karena itu berhati-hatilah didalam hutan. Ingat, segala sesuatu mungkin untuk terjadi."

Erita lalu meninggalkan Lisya yang masih diliputi oleh berbagai macam pertanyaan.

Malam itu Lisya tidak bisa tidur dengan tenang mengingat perkataan Erita.

———

"Hari ini begitu sepi."

"Kau benar. Setelah hari itu, sejumlah elf pergi untuk memperketat pertahanan di dinding terluar. Karen itulah tempat ini begitu sepi."

Beberapa hari sejak Erita menceritakan hal tersebut...

Kini Lisya bersama Meisa menatap kosong kearah beberapa elf yang masih melakukan pekerjaan mereka, namun dengan perasaan yang tidak tenang.

Sejumlah besar elf saat ini sudah berusia layak memegangi senjata dan ikut berperang, karena itulah tempat itu begitu sepi.

Tidak ada pelatihan, tidak ada elf yang bermain, dan tidak ada senyum tulus terukir dalam wajah mereka.

"Meisa, aku takut. Bagaimana bila perkataan Ibu benar dan saat ini mereka..."

"Ssstttt... jangan katakan itu. Kau tau disini tidak hanya kau yang khawatir."

Benar, bahkan Kyle ikut pergi. Lisya menyadari itu lalu meminta maaf pada gadis elf itu.

"Kau benar, maaf aku..."

Sebelum Lisya menyelesaikan perkataannya, terdengar bunyi sebuah ledakan jauh dari tempat mereka. Asap hitam membubung diatas langit mulai mewarnainya.

*KABOOOMM...!!!

Ledakan tidak hanya sekali. Itu terus berlanjut hingga kelima kalinya lalu berhenti.

Seketika hal tersebut memancing kericuhan disekitar mereka. Banyak elf berbondong-bondong memperhatikan kepulan asap yang muncul dengan sejuta pertanyaan.

Bahkan tidak hanya Lisya, semua elf tau kalau ledakan itu terjadi di sisi terluar pelindung.

"Ayah... Ibu..."

Lisya yang kehilangan dirinya melangkah perlahan dengan tangannya terulur kearah kepulan asap tersebut.

Namun Meisa menghentikannya. Dia menggeleng meminta agar Lisya lebih tenang.

Tak lama berselang pasukan elf yang menunggangi griffin terbang menuju tempat tersebut. Sepertinya disana terjadi kekacauan yang memaksa mereka harus meminta bantuan.

Sontak Lisya menjadi ketakutan. Dia memohon agar Meisa membiarkannya pergi menengok keadaan ayah dan ibunya.

"Meisa... disana, Ayah dan Ibuku ada disana! Kumohon, biarkan aku pergi."

Hatinya bergejolak karena perasaan itu dan Meisa juga merasakan hal yang sama, namun dengan memasuki medan pertempuran tidak lebih seperti tindakan bunuh diri.

Namun Meisa tidak bisa melihat Lisya sedih. Dia masih terlalu muda untuk begitu merasa kehilangan.

Jika ada yang bisa Meisa lakukan, dia akan membantu gadis elf itu keluar dari kekhawatirannya.

"Baiklah."

Meisa menyetujui permintaan Lisya, namun dengan dirinya ikut bersamanya. Mereka lalu berlari melewati jalan memutar agar tidak ada yang memperhatikan mereka.

Namun dari kejauhan, Aesura menangkap kedua gadis itu dalam pandangannya. Diatas cabang World Tree dimana perpustakaan berada, Aesura sedikit bisa melihat apa yang terjadi pada luar sana.

"Hal bodoh apa yang akan dilakukan Lisya dan Meisa?!"

———

"Hm, sepertinya aku terlalu banyak menggunakan sihirku." (???)

"Sialan kau! Jangan remehkan kami!" (lelaki elf)

"Percuma saja!" (???)

Dalam sekali ayunan tangan lelaki elf itu kembali menghempas tanah dengan kencang. Tubuhnya seakan dibuat hancur oleh serangan sihir barusan.

"Jadi ini tempat suci elf itu? Sepertinya aku terlalu meremehkan dinding menyebalkan ini." (???)

Sosok itu mengulurkan tangannya, namun selubung tak kasat mata menghentikan tangannya dengan sembarang kilat biru juga dorongan balik yang begitu kuat.

"Bagaimana aku bisa masuk?" (???)

Sosok itu memperhatikannya. Tak lama dari itu beberapa elf menunggangi griffin muncul tanpa terhantam dinding tak kasat mata tersebut.

"Dasar lalat pengganggu, tapi terima kasih akhirnya aku bisa melihat trik dinding ini." (???)

Lagi-lagi pasukan elf dengan griffin itu takluk oleh serangan sihir sosok tersebut. Sihir yang begitu kuat dan bukan berasal dari elemen dunia.

Sihir kegelapan.

"Ah, tapi aku terlalu melukai mereka banyak. Menyebalkan sekali! Seharusnya mereka tidak melawan." (???)

Matanya berkeliling terus mencari. Tanpa dia duga dia bisa melihat sesosok wanita elf yang terlihat baik-baik saja, namun sedang memberikan sihir pengobatan pada salah satu pria elf.

"Sepertinya hanya membawamu saja sudah cukup." (???)

"...?!"

Wanita elf itu belum selesai dengan pengobatannya dan tiba-tiba saja tubuhnya telah terbungkus oleh sayap hitam layaknya kelelawar milik sosok tersebut.

"Lepaskan aku! Kalau tidak Ayrei akan mati!!"

Pinta wanita itu dengan sangat melihat luka di tubuh pria bernama Ayrei itu belum tertutupi. Darah kembali mengalir keluar melalui bekas luka tersebut.

"Hm, dari semua orang kau hanya memperhatikannya? Jangan-jangan dia kekasihmu?"

Melihat wajah sedih pada wanita elf itu sosok tadi tertawa penuh ejekan. Dia mencela wanita itu dan membiarkan kekasihnya merenggut nyawa tidak lama lagi.

"Tidak... kumohon..."

Suaranya makin hilang bersama dengan kesadarannya. Sosok itu kemudian terbang mundur meski hanya dengan satu sayapnya.

"Dengan ini aku akan..."

"Dengan segala kekuatan, uraikan hukum alam dan jadikanlah kekuatan untuk menaklukkan musuh-musuhku!"

Sebelum dapat selesai dengan ucapannya sesuatu muncul dari dalam tanah berusaha untuk menjeratnya.

"I-ini...?!"

Karena tidak dalam keadaan bersiap, sosok itu membiarkan dirinya terjerat oleh puluhan akar berduri yang muncul karena sihir seseorang.

"Ayah!..... Ibu!...."

Lalu muncul dari balik pelindung sosok gadis elf bersama temannya yang sepertinya adalah pemanggil sihir tersebut.

"Li...sya... anakku..."

"Ayah!!!"

Gadis itu menghampiri Ayrei yang berusaha kuat untuk tetap terjaga, namun luka di badannya begitu menyakitkan hingga membuatnya berpikir untuk tertidur sesaat.

Namun jika dia tertidur, kehidupan tidak akan kembali padanya.

"Ayah, bertahanlah. Aku akan mengobati Ayah!"

Dengan batasan ilmu sihir yang Lisya kuasai, dia dengan canggung menggunakan sihir pemulihan yang sedikit dia kuasai.

Disampingnya Meisa terus mempertahankan sihirnya agar Erita tidak dibawa oleh sosok itu.

Namun saat ini yang lebih membuatnya terkejut adalah sesosok yang menyerang hutan mereka.

"Kau... demon!"