Chereads / Sang Kyai / Chapter 3 - bag.3

Chapter 3 - bag.3

Malam itu nyai Bundo, disuruh mandi oleh Kyai, setelah diberi petunjuk-petunjuk, setelah mandi nyai Bundo di tuntun membaca dua kalimah sahadah, dan nyai Bundo pun telah menjadi seorang muslimah, terlihat wajahnya memancarkan kebahagiaan, dan matanya berkaca-kaca karena bahagia.

Malam itu nyai Bundo menemani Kyai menemui para tamu-tamu yang tiada habisnya sampai adzan subuh, nyai Bundo teramat kagum kepada Kyai, yang begitu dengan telaten mendengar keluh kesah para tamu, lalu memberi solusi, berbagai macam keluhan tentang kesempitan hidup, tentang segala macam penyakit.

Kyai dengan sabar melayani, tanpa meminta imbalan apapun, karena memang Kyai tak membutuhkan apa-apa. Aku sangat tau pasti itu, kalau soal rumah mewah, aku sangat tau Kyai punya di mana-mana, yang sering aku diajak menengok rumah mewahnya yang dibiarkan kosong, di Pondok Indah, di Kelapa Gading, di Tangerang, di Parung, semua rumah-rumah yang mewah, juga mobil Kyai punya banyak, sampai akupun tak tau jumlahnya, yang aku tau pasti ada mobil mercedes, karena aku pernah mengecatnya dengan lukisan airbrush, lalu ada mobil land cluser yang dibeli dari uang daun.

Saat itu Kyai mengajar kami tentang kemulyaan ilmu, dan banyaknya ilmu Alloh, sehingga ilmu Alloh teramat banyak sampai jika ilmu Alloh itu digali dari masa nabi Adam as. sampai sekarang maka ilmu itu masih lebih banyak lagi, lalu Kyai juga menyinggung tentang kebersihan hati dari penyakit nafsu, serakah, sombong, egois, iri, dengki, berburuk sangka, tiada bersyukur, menjauhkan sifat-sifat dan budi pekerti yang tercela, apa yang kau lihat, jika orang lain melakukan maka kau tak suka, maka apabila kau lakukan seperti itu orang lain pun tak suka.

Itu harus dijauhi, dan jauhkan diri dari memandang sesuatu itu punya kekuatan melebihi kekuatannya Alloh. Upayakanlah di dalam hati yang ada Allah semata. Maka hatimu nanti menginginkan, sebenarnya itu keinginan Alloh. Tiba-tiba Kyai menyuruh para santri mengumpulkan daun kopi sebanyak-banyaknya, kami segera bertebaran mengambil daun kopi, yang pohonnya tumbuh di sekitar pondok, setelah dirasa banyak, kamipun segera kembali ke depan Kyai, kemudian Kyai menyuruh mengikat daun-daun kopi itu degan tali dari gedebong pisang, dijadikan bundelan-bundelan, lalu Kyai menyuruh semua daun disatukan di atas sorban, dan sorban itu diikat, kemudian Kyai mengucap, "Ini adalah suatu contoh jika engkau menginginkan daun jadi uang, jika hati telah diliputi hanya Alloh, maka daun pun akan jadi uang."

Kami semua menatap dengan pandangan kurang yakin, bagaimanapun itu pengalaman yang belum pernah kami alami. Lalu Kyai menuding pada bungkusan daun. Dan berkata, "Jadilah uang."

Lalu Kyai menyuruh kami membuka ikatan sorban itu, dengan hati berdebar-debar kami buka ikatan, dan betapa terkejutnya kami, semua daun kopi yang kami kumpulkan telah menjadi uang semua, masih terikat tali gedebong pisang. Kami semua memandang takjub, termasuk para tamu yang ada, lalu Kyai memanggil salah seorang tamu yang dikenal baik oleh Kyai. Namanya pak Wisnu.

"Pak Wisnu, tolong pak Wisnu bawa pergi uang ini dan saya minta dibelikan mobil landcluser." kata Kyai. Pak wisnu he eh aja kemudian pergi membawa uang itu. Besoknya datang mobil yang masih kinyis-kinyis sesuai permintaan Kyai.

Pagi itu sebelum matahari keluar dari peraduannya, nyai Bundo telah pergi, sebelumnya mohon diri kepada Kyai, lalu berjalan ke halaman, membentangkan karpetnya, berdiri di atasnya, membaca mantra, tubuh dan karpetnya pun melayang terbang, nenek itu melambai kepada Kyai yang mengantarkan sampai pintu rumah gubugnya. Wajah nenek itu demikian bercahaya penuh kedamaian.

Begitulah di pesantren ini tiap hari ada saja orang yang diIslamkan, penyakit yang disembuhkan, pecandu narkoba yang disadarkan, bromocorah yang ditaubatkan, preman yang disadarkan, dengan kelembutan dan kasih sayang juga kelebihan-kelebihan Kyai.

Matahari pagi bersinar dengar ceria, wajahnya berbinar sumringah seperti merahnya para gadis desa yang mau pergi ke sungai untuk mandi, embun di atas rerumputan bagai permadani manikam, berkilauan bahagia seakan tak takut sebentar lagi sari indahnya akan hilang berbarengan siang yang mulai menggarang.

Nampak beberapa tamu menunggu Kyai menemui ada yang ngobrol, ada juga yang duduk bermalasan. Nampak sebuah sedan BmW hitam dop. Berhenti di tempat parkir, lalu menempatkan ke parkir jauh dari pohon kelapa yang memang mendomisili tumbuhan di sekitar pesantren. Selain kopi pesitan, picung, dan cecek juga ada pohon mlinjo.

Setelah mobil berhenti, keluarlah tiga orang, satu pria dan dua wanita, nampaknya tiga orang itu, seorang gadis dan ayah ibunya. Duilah cantiknya, bener-bener gadis yang cantik, walau di pondok ini sering kedatangan artis, tapi memang gadis ini benar-benar cantik, mata yang indah wajah yang sempurna hidung mancung sekali, bibir yang merekah tapi tipis, alis mata yang melengkung seperti pedang orang Arab, dagu yang lancip, uh kulitnya putih bersih tapi mengeluarkan cahaya, mungkin sering mandi susu dan madu. Tubuh yang tinggi tapi padat berisi.

Wah jadi membayangkan yang enggak-enggak, ternyata bukan aku saja yang terpukau, si Jauhari, Kholil dan Mujaidi, yang sedang menyapu halaman, terbengong-bengong, sapu di tangan mereka terlepas. Dan air liur menetes dari tepi mulut mereka, wah bisa malu maluin, aku segera menghampiri mereka, dan mengingatkan mereka. Mereka bertiga segera menyadari, dan cepat-cepat melanjutkan menyapu. Aku sebenarnya juga keluar air liur, tapi dikit, tak sebanyak mereka.

Ketertarikan wanita dan lelaki juga kekaguman kesempurnaan ciptaan Alloh, adalah wajar, wanita memandang lelaki, juga sebaliknya, kemudian kagum, itu wajar, asal tidak meneruskan pandangannya ke dalam pandangan perzinahan mata. Yang tidak wajar itu kalau lelaki lihat kambing betina, lalu timbul birahi.

Inilah hidup kita ini diberi nafsu binatang, tapi kita juga diberi pikiran, nafsu membuat kita hina, tapi dengan menempatkan pada tempatnya sungguh nafsu tak membuat manusia hina.

Gadis cantik dengan kedua orang tuanya itu menghampiri salah seorang santri yang sedang menyapu halaman. Kebetulan yang didekati si Kolil, Kolil masih pura-pura sibuk menyapu, keringat dingin keluar membanjir, gemetar dengkulnya bergemelatukan.

Lalu si gadis bertanya, "Mas, Kyainya ada?" tanya gadis itu.

Sebenarnya yang ditanyakan hanyalah pertanyaan yang biasa saja, yaitu pertanyaan bagi tamu yang baru datang dan ingin bertemu Kyai. Tapi karena Kolil sudah keder duluan, dan suara gadis itu seperti suara seruling dari alam lain, maka Kolil pun gelagapan, seperti orang tenggelam di danau yang dalam "nga…ngu.. uit…nguk…"

Melihat gelagat yang kurang baik, aku segera menghampiri.

"Mau ketemu Kyai ya?" dijawab anggukan oleh ketiga orang itu. "Mari ikuti saya." sayapun berjalan duluan, sambil berpikir, pastilah si Kolil nanti malam tak bisa tidur, kalaupun bisa tidur, pasti semalaman akan mengigau, sampai pagi.

Setelah sampai di tempat, Kyai masih sibuk mengobati seorang tamu, sementara tamu yang lain masih mengantri, segera tiga orang itu kuminta mengantri. Yang ditangani Kyai bernama Bapak Saipudin, dia seorang jaksa daerah Banten, karena menangani suatu masalah bapak Saipudin disantet orang. Tiba-tiba lelaki tinggi, umur empatpuluhan tahun itu memuntahkan darah kental, dari mulutnya, sementara Kyai mengobati lewat tangan Kyai ditempel di punggungnya.

Lalu Kyai memanggilku, "Suruh si Tarsan mengambil kelapa hijau." kata Kyai, yang langsung kufahami maksudnya.

Aku segera memanggil Tarsan. Nama Tarsan adalah nama panggilan kepada seorang santri, karena trampilnya memanjat. Tarsan adalah santri dari Bojonegoro, umurnya duapuluh tahunan, tubuhnya kecil tapi kekar, berotot, Tarsan segera memanjat kelapa, tubuhnya sama sekali tak menempel pada pohon kelapa, kaki tangannya lincah menempel pada pohon kelapa, seperti tangan dan kaki itu milik spiderman, tak sampai lima menit tiga buah kelapa didapat tanpa dijatuhkan, karena memang kelapa itu perintah Kyai.

Setelah kelapa itu diisi oleh Kyai, satu kelapa diminum bapak Saipudin, dan yang dua dibuat mandi. Setelah tamu-tamu dilayani, sampailah pada giliran gadis itu dan kedua orang tuanya. Lelaki itu mulai mengenalkan diri bernama Purnomo, dan istrinya dan gadis cantik itu adalah anak angkat pak Pur, yang bernama Evo, aslinya ayahnya orang Jerman dan ibunya orang Indonesia, sejak umur 12 tahun ibunya telah meninggal dunia, dan papanya kembali ke negaranya, sehingga pak Purnomo yang mengasuhnya.

Pak Pur menarik napas, lalu melanjutkan ceritanya. Namun sayang agamanya Kristen, mengikuti agama ibunya. Tampak Kyai merenung sebentar kemudian berkata ditujukan kepada Evo,

"Tidakkah engkau ingin tau keadaan ibumu di sana."

"Bagaimana aku bisa tau, ibuku telah meninggal." jawab gadis itu polos.

Kyai lalu menyuruhku memanggil Jauhari, santri asal Madura, yang wajahnya agak kotak, tinggi sedang yang suka mandi berlama-lama tapi kulitnya tetap hitam juga. Tapi memang Jauhari orangnya baik, bertemu siapa saja ia akan tersenyum, atau mungkin sengaja tersenyum karena mau menunjukkan pada semua orang bahwa ia punya gigi yang putih. Jauhari segera menghadap Kyai masih dengan senyum khasnya, tapi ia tak berani menatap gadis cantik yang duduk di situ, takut ilernya tak bisa ditahan dan membanjir, tentu akan membuat malu Kyai.

"Ada apa Kyai?" katanya, masih tersenyum.

"Hur.! Sini duduk menghadap kesana." kata Kyai, menyuruh Jauhari duduk membelakangi Kyai, yang segera dilakukan Kyai.

Perlahan tangan kanan Kyai terangkat tinggi-tinggi telapaknya terbuka, kemudian telapak itu tergenggam. Mata pak Pur, istrinya, dan Evo memandang tak berkedip, tiba-tiba tangan Kyai seperti melempar sesuatu ke punggung Jauhari. Tiba-tiba secara mengejutkan tubuh Jauhari bergulingan di galar bambu, suaranya mengaduh-aduh, tapi bukan suara Jauhari yang terdengar melainkan suara wanita.

"Aduh… tolong, ampun, sakiit.. jangan pukul lagi, ampun.. huhuu.." suara Jauhari yang menjadi suara perempuan itu merintih-rintih kadang merangkak, tapi seperti ada yang memukulnya dari belakang, punggungnya sampai meliuk, lalu bergulingan, seperti tak kuat menahan derita sakit yang tiada tara.

Pak Purnomo dan istrinya terkejut, heran, dan berbagai pertanyaan kumpul jadi satu. Tapi yang lebih tekejut lagi adalah Evo, wajah gadis cantik itu, putih pucat seperti kapas, tanpa sadar ia menjerit, "mama!"

Mendengar suara Evo, Jauhari yang masih bergulingan itu bangkit lalu merangkak mendekati Evo, masih mengaduh dan menangis,

"Kaukah itu Evo?" suara perempuan yang ada di tubuh Jauhari bertanya, "Evo Yulianti Dousand." Evo beringsut mundur, wajah Jauhari yang hitam makin jelek saja, mungkin itu yang membuat Evo mundur, aku jadi berpikir kenapa tadi yang jadi medium bukan aku saja, setidaknya lebih cakep daripada Jauhari.

"Tak mungkin, mama sudah meninggal…, tak mungkin." Evo beringsut mundur.

"Anak durhaka, setelah ibumu meninggal, kau tidak mengakui ibumu, aduuh.." tubuh Jauhari terjengkang lagi, seperti ada yang menyambuk punggungnya. Kyai terlihat mengangkat tangan seperti menahan seseorang yang tak terlihat supaya tidak memukul lagi, dan Jauhari pun tak mengaduh lagi.

"Apa buktinya kau mamaku." tanya Evo masih ragu.

Lalu suara perempuan itu nerocos menceritakan Evo dari kecil sampai saat mamanya meninggal, tentang Evo yang suka bubur kacang hijau, tak pernah mau minum susu, sejak kecil rambutnya suka dikepang. Belum sampai ceritanya habis, Evo menjerit mau menubruk Jauhari tapi segera ditahan oleh ibu angkatnya.

"Oh mama…" tangis Evo menyayat, "Bagaimana keadaan mama di sana? huhuu…"

"Oh aku disiksa terus… dicambuk terus, menyesalpun percuma, kenapa kau tak pernah mendoakan ibumu ini."