"Vela!"
Vela mendengus kesal, ketika terdengar seseorang memanggil namanya. Suguh ia merasa hidupnya tidak setenang waktu sebelum-sebelumnya. Di mana ia dapat menyelami dunianya sendirian tanpa adanya penggagu. Seperti orang yang tengah memanggilnya, contohnya. Seminggu terakhir ini lelaki itu selalu mengganggu ketenanganya. Padahal sebelum-sebelumnya lelaki itu terlihat cuek padanya, tetapi entah mengapa lelaki itu, tiba-tiba saja menjadi mendekatinya. Bukanya Vela terlalu percaya diri, tetapi memang seperti itu kenyataanya. Terbukti dari beberapa hal. Misalnya, lelaki itu kini duduk satu meja denganya yang sebelumnya kursi di sebalahnya kosong-tak berpenghuni. Selain itu lelaki itu selalu berusaha mengajaknya mengobrol meskipun ia tak pernah menanggapi ocehan unfedah milik lelaki itu.
"Vela!" teriak lelaki itu lagi, memanggil namanya.
Vela sekali lagi mendengus kasar mendengar suara lelaki yang menurut Vela menyebalkan. Vela mempercepat langkahnya, berusaha menjahui asal suara orang itu, yang sepertinya juga mempercepat langkahnya untuk menyamai langkah Vela.
"Vel," panggilnya lagi dengan nafas yang memburu, mungkin karena lelaki itu berlari untuk mengejar Vela yang semakin mempercepat langkahnya.
Dengan gerakan gesit lelaki itu menghadang jalan Vela. "Apa sih lo? Minggir!" ketus Vela ketika tubuh lelaki itu menghadang jalannya.
Lelaki itu masih mengatur nafasnya yang belum teratur. "Lo kenapa sih kalo lihat gue atau pun denger suara merdu gue, bawaanya kabur mulu?"
Vela menatap lelaki di depanya tajam. "Bukan urusan lo!" ketus Vela kemudian mendorong bahu lelaki itu agar minggir, lalu melangkahkan kakinya dengan gerakan cepat. Begitu pun dengan lelaki itu yang langsung mengikuti langkah cepat gadis itu.
"Buru-buru amat, Neng. Kayak di kejar tukang kredit yang nagih hutang," ucap lelaki itu dan seketika membuat langkah Vela berhenti begitupun dengan langkah lelaki itu.
"Lo bisa gak sih, gak usah ngikutin gue?!" ucap Vela dengan volume suara yang telah dinaikkan, bahkan wajahnya sudah memerah menahan emosi mendengar ocehan tak jelas lelaki itu.
"Weh ... sans ae Mbak. Mukanya merah gitu, kek nahan boker," celetuk lelaki itu yang Vela ketahui bernama Ranu. Ranu Pranata-teman sekelasnya. Ah, bahkan Vela tak pernah menganggap Siswa di kelasnya itu teman, karena menurutnya di dunia ini tidakbada orang yang bisa benar-benar di anggap teman. Semuanya itu, bullshit!
Iya, hanya omong kosong. Katanya teman akan ada pada suka maupun duka tetapi, mengapa setelah mengetahui keburukan temannya, mereka malah pergi dengan tatapan mencemooh. Apakah itu dapat disebut teman? Vela rasa tidak. Bukan hanya satu dua orang yang seperti itu, mungkin hampir setiap orang yang tahu keburukanya pasti akan mencemooh. Bukan hampir lagi, tetapi semua. Kecuali Ibunya tersanyang.
"Bisa gak sih lo tuh enggak usah ganggu gue kayak sebelum-sebelumnya?!"
"Loh, kenapa? Kan kita teman," ujar Ranu sembari menatap Vela yang masih terlihat kesal dengan kehadiran Ranu di dekatnya.
"Teman?" tanya Vela diakhiri dengan tawa yang terdengar hambar dan mencemooh.
Ranu mengeryitkan dahinya. "Iya teman, emang kenapa? Bukannya kita teman satu kelas, bahkan satu meja. Ah, mungkin kita juga bisa jadi sahabat," tutur Ranu yang langsung menghentikan tawa hambar juga mencemooh Vela.
Vela menatap sinis, selang beberapa detik kemudian ia kembali tertawa hambar. "Bullshit, tau enggak?!" ucap Vela sinis kemudian melenggang pergi dengan Ranu yang tetap mengikutinya.
"Kata siapa bullshit? Secara kita itu memang berteman," ujar Ranu sembari menyamai langkah cepat Vela. Tidak begitu sulit bagi Ranu untuk menyamai langkah Vela yang lebih pendek daripada langkah panjangnya.
"Lo bukan temen gue," ketus Vela sembari terus melangkahkan kakinya.
Ranu tersenyum mendengar ucapan Vela. Jarang-jarang Vela merespon ucapanya dan menurutnya ini adalah hal yang luar biasa. Yah, meskipun ucapan Vela terdengar ketus tetapi, menurutnya ini merupakan kemajuan besar, hingga Vela mau merespon ucapanya.
"Ya udah, kalau gitu mulai sekarang gue jadi temen lo," ucap Ranu membuat lakah Vela terhenti untuk kedua kalinya.
"Lo tuh kenapa?"
"Gu enggak kenapa-napa. Cie, lo khawatir sama gue," jawab Ranu absurd.
Vela berdecak mendengar penuturan Ranu. Siapa juga yang khawatir dengannya? Ada-ada saja. "Bukan itu. Kenapa lo terlihat seakan-akan lo itu pingin banget jadi temen gue?"
"Bukan seakan-akan, tapi emang kenyataannya gitu," sahut Ranu cepat, "sekarang giliran gue yang tanya. Kenapa lo enggak mau temenan sama gue?" lanjut Ranu.
Vela mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. "Kasih alasan kenapa gue harus mau nerima lo jadi temen gue." Bukanya menjawab pertanyaan Ranu, Vela malah berbalik bertanya.
"Karena gue adalah orang yang pantes jadi temen lo," jawab Ranu sembari menatap Vela dari samping.
Raina terkekeh getir. "Yang tahu siapa yang pantes jadi temen gue atau pun enggak itu gue, bukan lo," ujarnya, kemudian melangkahkan kakinya cepat melewati koridor sekolahnya yang terlihat sudah sepi karena bel pulang sekolah telah berbunyi dua puluh menit yang lalu.
Ranu menghela nafasnya menatap punggung Vela yang kian menjauh dari pandanganya. Ia tak lagi mengikuti jejak kepergian Vela. "Hari ini mungkin helum berhasil tapi gue yakin lain waktu gue berhasil," gumam Ranu kemudian melangkahkan kakinya menuju parkiran sekolah.
[]~[]
Vela tengah duduk di atas ranjang empuknya. Tatapanya lurus, kosong-tak berisi. Pikirnya berkelana entah kemana. Bayang-bayang masa lalu berbaur-menjadi satu dengan bayang-bayang wajah Ranu. Entah mengapa bayang-bayang itu datang dalam pikiranya, yang jelas kini bayang-bayang itu seakan-akan telah mengabil alih fungsi otak Vela. Hingga dering handphone memecahkan keheningan di kamar Vela serta berhasil membuat Vela membuncahkan lamunnya.
Dengan gerakan gesit Vela meraih handphonenya yang ia letakkan di atas nakas di samping ranjangnya, tanpa membaca nama kontak yang tertera di layar ponsel pintarnya. Ia langsung saja megangkat panggilan tersebut. Karena perkiraannya kalau bukan Ibunya yang meneleponnya pasti gurunya. Karena yang memiliki kontak ponselnya hanya Ibunya dan beberapa guru di sekolahnya, tidak ada yang lain.
"Halo," ucap Vela pertama kali ketika panggilan itu telah diangkatnya.
"Halo juga," balas suara dari ujung sana.
Vela mengeryitkan dahinya. Perasaan guru-gurunya suaranya tidak seperti ini? Apa lagi ibunya. Dia yakin jika suara itu adalah suara seorang laki-laki. Tapi siapa? Gurunya? Mungkin iya, mungkin juga tidak.
Vela menurunkan ponselnya dari telinganya kemudian menatap layar handphonenya. Di sana tertera tiga belas dijit angka. Ya nomor tak dikenal.
Dengan perasaan kesal ia sudah akan menekan tombol merah yang tertera pada layar ponselnya tetapi belum sampai ia mengakhiri panggilan tersebut. Dia dikejutkan dengan si penelpon.
"Vela, lo masih di situkan? Coba tebak sia gue?"
Vela mendengus kesal, setelah tahu siapa penelpon tersebut. Didengar dari cara bicara dan suaranya sudah dapat dipastikan jika sang penelpon ialah Ranu Prana. Seseorang yang selalu mengganggu dirinya akhir-akhir ini.
"Lo dapat nomor gue darimana?" tanya Vela to the point.
"Lo tebak dulu dong siapa gue?"
Vela berdecak mendengar ucapan Ranu dari seberang sana. "Udah deh, enggak usah basa-basi, gue juga tahu siapa lo. Cowok penggangu!"
Terdengar kekehan geli dari Ranu."Ya ya ya. Lo tahu enggak?"
"Enggak."
"Ck, dengerin dulu gue ngomong. Lo tahu nggak pas lo ngomong gue ini cowok pengganggu, gue berasa kayak hama yang suka gangguin tanaman. Tapi gak apa-apa sih, gue suka kok ganggu lo, semoga lo juga suka di ganggu sama cowok ganteng kaya gue," ujar Ranu panjang lebar.
"Apa sih? Enggak jelas tahu gak?" ucap Vela ketus.
"Enggak jelas? Ya udah kalo gitu gue ulangi lagi ya?"
"Gak perlu, gue enggak butuh," ucap Vela dengan nada suara yang terdengar tak bersahabat, "lagian lo ngapain telepon gue? Terus dari mana lo dapat nomer HP gue?" lanjut Vela.
"Lo gak perlu tahu gue dapet dari mana nomer HP lo. Tapi soal kenapa gue telpon lo? Karena gue kangen."
"Lo!"
"Eh ..., bercanda Vel. Gue cuma mau bilang tugas kita di kerjain di mana di rumah gue atau di rumah lo?" ucap Ranu, "kalau di rumah gue lo kirimin alamat rumah lo terus gue jemput, kalo di rumah lo, lo cukup kasih tahu alamat rumah lo," lanjut Ranu.
"Enggak."
"Ha? Maksud lo?"
Vela bedecak sembari memutar bola matanya malas. "Lo enggak usah ngerjain. Biar gue yang ngerjain. Lo diam aja, dan tinggal terima jadinya aja," balas Vela cepat.
Diujung sana Ranu dibuat melongo tak percaya dengan penuturan Vela. Dimana-mana orang itu lebih memilih tugasnya dikerjakan orang lain atau dikerjakan bersama supaya cepat selesai. Lah, ini malah lebih memilih mengerjakan tugas sendiri yang seharusnya dikerjakan bersama dengan Ranu. Gadis itu memang benar-benar aneh. Hingga segininya kah, ia menutup dirinya dari dunia luar. Bahkan rela mengerjakan sendiri tugas yang seharusnya dikerjakan berdua dengan Ranu. Benar-benar tidak tanggung-tanggung dia menutup diri dari dunia luar.
"Eh? Enggak bisa gitu dong!" seru Ranu dari ujung sana.
"Bisa. Kata siapa enggak bisa?!" balas Vela tak mau kalah.
Ranu mendengus mendentar ucapan gadis keras kepala tersebut. "Pokoknya enggak bisa. Itu kan tugasnya berpasangan. Gue juga harus ikut andil dalam menyelesaikan tugas tersebut."
"Lo harusnya seneng, karena gue mau ngerjain tugas itu sendiri."
Mungkin Ranu akan senang jika temannya yang mengerjakan tugas yang diberikan gurunya itu bukan Vela. Pasti dengan senang hati ia mengiyakan permintaan tetsebut, karena pasanganya mengerjakan tugas yang diberikan itu Vela, maka ia menolak ide tersebut mentah-mentah. Pasalnya jika mereka berdua mengerjakan tugas bersama, maka secara tidak langsung akan membuat Ranu lebih bayak berinteraksi dengan Vela dan tentu itu semakin memudahkan Ranu untuk lebih dekat dengan Vela, dengan demikian tujuan awalnya akan segera tercapai--melihat Vela seperti siswa lainya yang gemar bersosialisasi dengan teman sebayanya.
"Enggak, gue enggak seneng sama sekali. Coba lo pikir! Kalo lo ngerjain tugas itu sendirian yang ada gue malah jadi ngelunjak, terus gue gak akan mau lagi ikut ngerjain tugas kelompok dan karena gue males nanti otak gue gak keasas, habis gak keasah gue jadi goblok. Terus kalo gue goblog gue enggak lulus sekolah. Kalo gue enggak lulus sekolah nanti gue enggak dapat kerjaan dan uang. Nah kalo gue gak punya uang nanti gue kasih nafkah lo sama anak-anak kita nanti pakai apa? Gue enggak mau nanti anak-anak kita kelaparan. Maka itu lo harus kasih izin gue buat bantu menyelesaikan tugas itu," ujar Ranu panjang lebar agar ia dapat mengerjakan tugas bersama Vela.
Vela menatap handphone-nya tak percaya. Ini tadi yang menelepon Ranu atau orang gila. "Lo sakit?"
"Enggak. Gue sehat kok, enggak usah khawatir. Emang kenapa sih kok tiba-tiba nanya gitu?" ujar Ranu tanpa beban.
"Omongan lo ngaco tahu enggak?!"
"Eleh, bilang aja lo senengkan gue ngomong kek gitu," ucap Ranu dengan tujuan menggoda gadis yang menurut Ranu keras kepala tersebut.
"Dalam mimpi lo!" ujar Vela langsung mematikan sambungan telepon tersebut, sebelum ia ikut-ikutan gila mendengar celotehan tidak masuk akal lelaki yang menurutnya menyebalkan tersebut.