Chereads / Eclipse - Special Operation in Another World / Chapter 4 - REDCON 4 - The First Time I Met Her

Chapter 4 - REDCON 4 - The First Time I Met Her

"Apa yang harus kamu lakukan?"

Suara itu...ayah...

"Pasukan khusus nggak terikat oleh hukum. Lakukan apa yang kamu pikir benar, Hajime."

Walaupun sudah mati, pak tua itu masih saja mengawasiku ya?

Baiklah...akan aku turuti suruhanmu.

Aku merayap ke pinggir jalan dan meraih senapan sniper-ku, dengan hati-hati mengeluarkannya dari gunbag. Aku lalu menggunakan gunbag itu sebagai tatakan senapan dan mengambil posisi menembak. Akupun mulai mencari sasaran.

Dengan teropong, aku mengamati situasi. Kelompok bandit tersebut telah menyerang kereta itu, tapi aku tak memprediksi jika gadis berambut pink itu akan melawan. Aku sempat lupa kalau dia itu seorang kesatria atau semacamnya.

Aku melihat ia menebas salah satu bandit itu dengan sebilah pedang. Bandit lain menyerangnya dari belakang dan dengan cepat dan anggun, gadis itu menepis serangan dan membalas dengan memukul kepalanya dengan sisi tumpul pedang miliknya. Rambut panjang ekor kudanya berkibar-kibar setiap kali ia melakukan gerakan.

Setelah ia melumpuhkan kedua bandit, gadis itu berhenti dan mengarahkan pedangnya ke arah 6 bandit yang tersisa. Di balik kegelapan ini aku bisa melihat pakaian yang ia kenakan.

Kemeja putih tanpa lengan dengan garis-garis biru muda di balik baju zirah dan sarung tangan putih sepanjang lenganyang dilapisi gauntlet. Di bagian bawah, ia memakai rok pendek putih biru dan juga kaos kaki putih setinggi paha yang dilapisi sepatu besi. Aku melihat sesuatu di punggungnya...tunggu dulu, itu kan? Senapan M1903 Springfield era Perang Dunia 2? Kenapa benda itu bisa ada di sana?

Aku mengabaikan pikiran itu, memfokuskan diri pada keenam bandit yang masih berdiri tegak. Mereka mengepung gadis itu dari segala arah. Aku yakin ia takkan bisa melawan 6 orang sekaligus, apalagi mereka bersenjata lengkap.

Perlahan aku menggeser titik bidik ke arah salah satu bandit yang aku pikir adalah pimipinan mereka. Dengan hati-hati aku membidik kepalanya. Angin malam perlahan-lahan bertiup melewati punggungku. Menutup mata kiri, aku memfokuskan penglihatan mata kananku pada target. Dengan satu tarikan nafas, kuperas pelatuknya.

Suara ledakan senapan penembak runduk memecah keheningan malam. Peluru sniper-ku dengan kecepatan 750 meter per detik melesat tepat ke bagian pelipis sasaran. Helm besi yang ia kenakan sama sekali tak memberi pengaruh pada peluru kaliber besarku.

Bandit itu terjatuh dan tewas seketika itu juga. Kurang dari 24 jam setelah aku mendarat di dunia ini, aku sudah membunuh seseorang. Aku mengokang senjataku dan menarik napas dalam.

Aku membidik sasaran berikutnya. Bandit lainnya terkejut setelah mengetahui pimpinan mereka telah terbujur kaku. Aku mulai menembak bandit yang berdiri paling dekat dengan gadis itu. Aku harus membidik secara hati-hati agar tidak mengenai gadis ksatria itu. Aku kembali menahan napas dan memeras pelatuk. Tembakan menembus dada kirinya, tempat jantungnya terletak.

Aku menarik kokangan, membuka bagian belakang –atau breech– laras. Selongsong peluru kosong yang sudah dipakai terlempar keluar dan peluru baru masuk ke dalam kamar peluru setelah aku mendorong kembali kokangan. Aku sempat menyadari bahwa gadis itu menatap ke arahku...tidak, ia menatap tepat ke mataku. Entah mungkin ia menyadari keberadaanku, tapi itu tak masalah. Setidaknya kumpulan bajingan itu terlihat kebingungan, tidak tahu apa yang terjadi pada rekan mereka.

Aku menembak musuh berikut yang membawa crossbow dan mengenai lehernya. Ia tersungkur ke tanah sambil memegang lehernya. Darah terus memancar keluar tanpa henti. Cara yang menyakitkan untuk mati. Mereka membalas dengan menembakkan panah ke arahku, walaupun semua meleset bermil-mil jauhnya.

Melihat para penjahat itu teralihkan pikirannya, gadis itu mulai beraksi. Ia memukul bagian belakang kepala salah satu bandit yang membawa crossbow. Pukulan dengan sisi tumpul rapier itu cukup membuat bandit itu tak sadarkan diri.

Gadis kesatria itu menyerang bandit lainnya. Pedangnya...bagaimana bisa?! Pedang berwarna perak itu mengeluarkan sinar biru yang menyinari malam di tengah hutan ini. Bandit itu dengan panik mencoba menepis serangan gadis itu, namun naas, pedang yang ia pakai retak dan pecah setelah beradu dengan pedang milik gadis itu. Tak mau membuang kesempatan, gadis itu menendang pelipis kiri bandit itu dengan tendangan berputar.

Setelah ia memastikan pria itu sudah KO, gadis itu memindahkan tatapannya pada bandit terakhir yang masih tersisa. Bandit itu hanya berdiri mematung. Tentu saja ia takut, setelah melihat kawanannya dikalahkan oleh seorang gadis kecil dan musuh yang tak terlihat. Aku sempat menyeringai sendiri membayangkan sekelompok preman di hajar habis-habisan oleh seorang siswi SMA.

Gadis itu menatap tajam mata bandit itu.

"Déposez votre arme!"

Teriaknya dalam bahasa yang tidak asing di telingaku. Aku mungkin tidak menguasai Bahasa Perancis, tapi aku bisa menebak bahasa apa yang dia gunakan. Aku bisa mendengar teriakannya dengan jelas karena sunyinya hutan ini. Bandit itu menjatuhkan senjatanya dan berlari sambil menjerit ketakutan.

"Hey! Arrête-"

Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, aku menembak dada kiri bandit itu. Ia terdorong ke depan karena gaya dorong peluru dan terjatuh sambil menunggu ajal menjemput. Rasanya peluru tadi mengenai paru-paru. Darah akan memenuhi ruang paru-paru, membuatnya mati perlahan karena tak bisa bernapas atau pendarahan.

Setelah menghabisi bandit terakhir, aku memasang kembali pengaman senjata dan menghela. Tugasku sudah selesai disini, saatnya pergi.

"Attendez!"

Sepertinya dia memang mengetahui keberadaanku. Tanpa mempedulikan gadis itu, aku bangkit dan berjalan menjauh ke dalam hutan. Jika ia menanyaiku macam-macam itu akan sangat merepo-

"Arrêtez!"

Dalam sekejap mata dia berada di depanku, menghalangi jalanku. Aku menoleh ke belakang, hanya ada kereta dan para bandit yang tak sadarkan diri disana.

Aku menatapnya dengan terheran-heran.

"Bagaimana bi-"

"Who are you?!"

Tanya gadis –yang tingginya tak lebih dari daguku– sambil mendongak ke atas. Aku mencoba melewatinya namun dia merentangkan tangannya. Gadis ini membuatku jengkel. Sedikit jengkel, karena aku belum berpikir untuk melubangi batok kepalanya. Tapi baguslah dia mengerti bahasa yang paling aku kuasai setelah Bahasa Jepang.

"Aku bukan siapa-siapa," Jawabku dengan nada rendah. Aku mendongak ke bawah. Mataku melotot ke arah sepasang iris biru itu. "Dan juga, begitukah caramu berterima kasih...pada orang yang sudah menyelamatkanmu?"

Kami terdiam sesaat membiarkan suara jangkrik mengambil alih keheningan malam. Apa? Aku tidak salah bicara 'kan?

"E-e-eeh?!" Suaranya melengking. Pipinya berubah warna menjadi seperti rambutnya. "M-maaf!" Aku mengernyitkan alisku. Kenapa dia jadi minta maaf? Ia menunduk layaknya seorang ksatria yang memberi hormat. "Namaku Kapten Jeanne Pitts dari Orde Kesatria Santa Whales, aku diperintah untuk menangkap penjahat-penjahat itu," Gadis ini, Jeanne menoleh ke arah di belakangku.

"Orde Kesatria...Santa Whales?" Tanyaku penasaran.

"Oui, orde kesatria dari Katedral Santa Whales yang bertugas untuk menjaga kedamaian dataran Finia," Jawabnya sembari tersenyum manis. Entah mengapa saat bibir merah muda itu tersenyum, aku seperti melihat bunga sakura memekar....

Mungkin aku sedikit overacting. Maklumlah, belakangan ini aku hampir tidak pernah bercengkrama dengan perempuan selain dengan ibu dan kakak, apalagi sampai berkencan, aku tak ada waktu untuk itu. Yah, aku sebenarnya sudah punya beberapa mantan, tapi....

Ini bukan saatnya untuk menceritakan hal itu.

Aku berusaha mengalihkan pikiranku dengan pertanyaan. "Finia...apakah itu suatu daerah atau negara disini?"

"Bagaimana bisa kau tidak tahu? Kau berada di Finia saat ini," Tanya Jeanne heran.

"Benarkah?" Ia mengangguk. Aku mengalihkan pandangan darinya sembari mengusap kepala belakang. Aku mendesah. Aku sudah mengetahui nama tempat ini, namun bagaimana cara agar aku bisa pergi meninggalkan gadis ini? Dia pasti akan mengejarku.

"Anu, tuan..." Mata kami kembali bertemu. "Apakah kau seorang pengembara? Kau butuh tumpangan? Aku bisa mengantarmu ke kota terdekat di sebelah sana," Katanya sembari menunjuk ke arah barat, dimana checkpoint alpha terletak.

"Tak perlu repot-repot, aku bisa sendiri," Aku berjalan beberapa langkah menjauh sebelum gadis itu –Jeanne 'kan?– memanggilku.

"Ke sana hanya dengan jalan kaki berbahaya lho. Ada banyak monster yang akan menyerangmu setiap saat," Aku menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Dia masih tetap tersenyum padaku. Tangan kanan menyentuh dadanya, seperti polisi yang ada di iklan TV. "Lagipula itu sudah kewajibanku sebagai anggota Orde Santo Whales untuk melindungi dan mengayomi masyarakat, apalagi pendatang sepertimu."

Aku mulai berpikir ulang. Jika aku menerima tawarannya, aku bisa mendapatkan banyak informasi, tentang keadaan dunia ini. Keadaan geografi, masyarakat, dan juga sistem politik. Asal aku tidak memberitahu siapa diriku, itu takkan jadi masalah bukan?

"Anggap saja ini caraku berterima kasih."

Aku mengangguk dan menggantungkan tali senapan di pundakku. "Baiklah, aku terima tawaranmu."

"Boleh aku tau siapa namamu tuan?"

Aku mendesah sambil menatap sepatu boot-ku. Aku memiliki firasat yang kurang mengenakan.

"Namaku Wand," aku mengulurkan tanganku. Seperti yang sudah kuperkirakan, ia tertawa terkikih-kikih. Aku hanya bisa mengalihkan pandangan sambil menunggu ia berhenti tertawa.

"Salam kenal, tuan...Wand ya? Hehehe..."

"Nama yang aneh bukan? Dan juga, tolong jangan panggil aku 'tuan'. Aku masih 20an," Jawab aku sambil menghela. Tanpa melihat ke belakang, aku bisa merasakan salah satu dari bandit berusaha bangkit. Ia berdiri dengan sempoyongan, seperti orang yang habis menegak sebotol sake. Bandit itu mencabut sebilah pisau dari sabuknya dan menerjang ke arahku.

"Awas!" Teriakan Jeanne sudah cukup membuatku lebih awas pada sekitar.

"Matilah!"

Aku memutar tubuhku dan membiarkannya menusuk dadaku, yang dilapisi rompi anti peluru. Sebelum ia bereaksi menarik pisau, aku memegang kerahnya, mengadu dahiku dengan wajahnya dua kali, lalu menghajar pelipisnya dengan popor senapan, membuat bandit itu pingsan dalam satu pukulan. Mungkin aku agak berlebihan, pasalnya pelipisnya sampai berdarah.

"Kau keberatan?"

Aku menoleh ke arah Jeanne sementara dia bergegas mengambil seutas tali.

"Aku rasa tidak..."

-------------------------------------------

Setelah mengikat bandit yang masih hidup dan menaikkan mereka ke belakang kereta, aku dan rekan baruku melanjutkan perjalanan ke kota Darf. Sepanjang perjalanan aku bertanya tentang banyak hal. Jeanne dengan senang hati menjawab semua pertanyaanku tanpa ada rasa curiga pada orang asing seperti aku. Entah mungkin ia dapat menyembunyikannya dengan baik, atau dia memang ceroboh.

"Oh begitu...Jadi saat ini aku berada di wilayah Kerajaan Finia yang terletak di bagian selatan Benua Uressea...dan orde kesatriamu itu adalah pasukan yang berafiliasi dengan sebuah Katedral di sini. Aku benar 'kan?"

"Benar," Jawabnya dengan singkat sambil sesekali melirik senapan sniper yang aku jepit diantara pahaku. Ia mengembalikan pandangnnya ke jalan dan mempercepat jalan keledai yang menarik kereta. "Tapi bagaimana bisa kau tidak mengetahui semua ini? Semua orang di Benua Uressea pasti tahu akan salah satu negara terkuat. Apa jangan-jangan kau berasal dari dunia lain," Ia kemudian menatapku dengan intens, membuatku tidak nyaman. "Mencurigakan~"

Saking tidak nyamannya aku sempat berpikir untuk melompat dari kereta. Lebih baik aku jawab saja dengan 'jujur'. Selain itu, tak ada salahnya aku bertanya sedikit tanpa harus membocorkan semua 'kan?

"Benar, aku berasal dari tempat yang sangat jauh dari sini. Negaraku mengirim aku kesini untuk mencari sebuah kendaraan udara yang mengalami kecelakaan di sekitar sini."

"Kendaraan udara? Apa yang kau maksud adalah naga raksasa? Aku sempat mendapat kabar dari Kepala Desa di Rodgriz sekitar satu tahun yang lalu. Ia bilang naga itu memiliki sisik seperti besi, 2 pasang benda menyerupai tabung yang dibawanya di bawah sayap, dan cahaya merah dan biru yang berkedip dari tubuhnya. Naga itu juga mengeluarkan suara mendesing yang sangat bising. Naga itu terbang melewati desa mereka di ketinggian amat rendah dan terbang ke arah utara. Apakah itu kendaraan udara yang kau cari?"

Benarkah? Bagaimana bisa mereka mengira bongkahan logam terbang berbobot 200 ton sebagai reptil bersayap dari cerita dongeng?! Tapi jika dia berkata kalau naga itu benar-benar ada, aku akan langsung percaya, karena aku sempat melihat satu kawanan saat pendaratan tadi.

"Iya," lebih baik aku menggunakan hal-hal rasa fantasi ini sebagai dalih. Sambil menyembunyikan senyuman licikku, aku mulai menjelaskan kepada Jeanne tentang 'naga' ini. "Asal kau tahu, naga itu memiliki kekuatan jahat yang dapat menghancurkan satu benua, atau bahkan seluruh dunia. Jadi negaraku memutuskan untuk mengirimku kemari untuk menemukan dan jika memungkinkan, membawa kembali naga itu."

Oh ya ngomong-ngomong aku tidak berbohong, aku hanya 'menerjemahkan' karena orang-orang di dunia ini seperti tidak mengenal sains dan tentu saja tidak tahu apa itu nuklir. Aku melirik wajahnya yang sempat terkejut. Namun, ia bisa menahan rasa syoknya dan menanyaiku lagi. "Jika naga itu memiliki kekuatan yang berbahaya, kenapa tidak kau hancurkan saja? Kenapa malah membawanya kembali?"

"Entahlah, aku hanyalah seorang prajurit. Aku hanya mengikuti perintah. Tapi aku yakin apa yang mereka akan lakukan adalah benar," Aku tidak bisa memberinya situasi politik di bumi. Seperti yang aku katakan tadi, aku hanyalah seorang prajurit. Alat untuk berperang. Lebih baik aku dikejar ratusan musuh daripada masuk ke ladang ranjau bernama politik.

Mendengar penjelasan dariku, Jeanne lalu menjawab. "Kalau kau butuh bantuan, kau bisa memberitahu kami. Kami tidak ingin naga itu mengacaukan dunia ini dengan kekuatan jahatnya!"

"Akan aku ingat baik-baik. Terima kasih."

Jeanne kemudian melirik senapaku lagi. "Dan juga, apakah kau menggunakan sihir di Musket itu? Aku tak pernah melihat tembakan seakurat itu dalam jarak jauh."

"Oh," Aku mengangkat senapanku dan memperlihatkannya. "Ini adalah senapan penembak runduk Remington M24A3. Senapan standar untuk penembak jitu dari tempatku berasal." Gadis itu mengangguk paham.

Aku menatap ke langit yang ditaburi jutaan bintang. Atmosfer di dunia ini masih sangat alami ya? Berbeda dengan di bumi. Salahkan polusi udara untuk itu.

Sekarang adalah giliranku untuk menanyai senapan yang ia miliki. "Dari mana kau menemukan senapanmu itu? Di tempatku benda itu sudah berada di museum."

"Ini milik kakek buyutku. Musket ini adalah replika dari yang kakek buyutku miliki," Jelas nya sambil melirik senapan yang berada di sisi kirinya. Setelah aku perhatikan ternyata memang cuma mirip. Bentuk kokangannya terlihat sangat berbeda dan masih tersisa bubuk mesiu di dalamnya. Lubang ujung senapan juga terlihat lebih besar. "Ia pernah bercerita padaku bahwa dulu dia adalah bagian dari legion bernama Screaming Eagle."

Screaming Eagle? Apakah yang ia maksud Choking Chicken?* Ehem. Tapi kalau kakek buyutnya benar-benar adalah bagian dari Divisi ke-101 yang terkenal itu, berarti dia berasal dari bumi?

Itu berarti sudah pernah ada kasus benda atau orang yang terteleportasi ke dunia ini, jauh sebelum pesawat kargo itu....

"Dia berasal dari negara lain. Pada masa itu negaranya masih berperang melawan negaraku pada Perang Dunia Kedua. Perang paling dahsyat sepanjang sejarah. Enam puluh juta orang tewas dalam perang ini."

Gadis itu terkejut setelah mendengar ceritaku. Aku bisa melihat matanya bergetar karena syok dan kesedihan. "Me-mengerikan. Perang 10 tahun tidak separah itu..."

"Karena itulah atasanku memerintahkan aku untuk mencari naga itu. Untuk mencegah pertumpahan darah seperti itu terjadi di sini."

Benar. Cukup 2 bom nuklir saja yang digunakan....

"Oh ya ngomong-ngomong, kau tahu sesuatu tentang Perang 10 Tahun ini?"

Aku bertanya dengan santainya, namun Jeanne tak kunjung menjawab. Aku melirik wajahnya, yang dipenuhi kesedihan. Matanya tertutup oleh poni rambutnya, membuatnya nampak murung. Tangannya memegang tali kusir dengan eratnya. Aku menatapnya sesaat dan mengelus bahunya. Aku dapat merasakan betapa lembut kulit putih itu saat jariku yang tak tertutup sarung tangan mengelusnya.

"Jika kau tak mau menceritakannya, tidak apa. Maaf..."

"Tak apa..." Jawabnya dengan nada rendah. Sebaiknya aku tidak menanyakannya lagi tentang hal itu. Kemungkinan dia adalah korban perang.

----------------------------------------------

"Bangun, Wand! Kita sudah sampai di Kota Darf!" Kata Jeanne sambil menggoyang pundakku.

Aku tertidur? Sial. Aku memang kelelahan karena berjalan selama 6 jam tanpa berhenti, tapi bagaimana bisa aku tertidur saat di daerah asing? Aku perlahan membuka mataku. Di sekelilingku adalah sebuah kota abad pertengahan. Kota yang aku pikir hanya ada di game RPG. Semua bangunannya terbuat dari kayu dengan arsitektur kuno. Lentera yang dipasang pada bangunan menerangi malam. Jalan-jalannya terbuat dari tanah bukan aspal. Terdapat beberapa kereta kuda terparkir di pinggir jalan.

Orang-orang berlalu-lalang dengan pakaian yang sangat berbeda dari yang aku tahu. Yang membuat aku sangat terkejut ialah bukan hanya manusia yang ada disini, tapi juga berbagai makhluk fantasi seperti Elf, Dwarf, Ogre, Beastman, dan lain-lain.

Aku juga tak habis apa yang dipikirkan oleh penjaga kota ini. Mengapa orang yang berpakaian siap tempur dan membawa senjata tajam dan panah dibiarkan berkeliaran seenaknya? Ya memang, di Amerika setahuku diperbolehkan membawa senjata api, tapi harus di sembunyikan bukan dipertontonkan seperti ini.

Rasanya aku seperti karakter utama dalam Light Novel murahan ber-genre Isekai. Hanya saja aku ke sini untuk membawa pulang 'naga' bukan membunuh naga, dan tidak ada plot membunuh raja Iblis.

Aku terlalu fokus mengamati sehingga aku telat menyadari bahwa hampir seluruh pasang mata menatapku. Mungkin seragam lorengku membuat aku terlihat seperti kalah bertarung dengan kuas cat, siapa tahu?

Aku berusaha tidak memperdulikan mereka dan melihat sekeliling. Terkadang sembunyi-sembunyi aku mengambil foto dengan kamera digital. Ini bisa menjadi barang bukti untuk kukirim ke Mabes.

Beberapa menit kemudian, Jeanne menghentikan kereta di sebuah penginapan. Sebuah penginapan biasa yang sering aku lihat di cerita-cerita fantasi. Sudah ada 2 orang kesatria yang menunggu kami di depan. Mereka mengenakan seragam yang cukup berbeda dengan Jeanne, terutama pada baju zirah berat yang mereka pakai yang melindungi hampir seluruh bagian tubuh.

"Salam Kapten!" Mereka membungkuk, memberi hormat pada Jeanne.

Entah bagaimana caranya seorang gadis yang bahkan belum boleh memiliki SIM di Jepang bisa menjadi Kapten disini. Dunia ini tak henti-hentinya memberiku kejutan....

"Tolong bawa kereta ini ke markas cabang Darf. Buronan kita sudah aku ikat di belakang,"

"Siap!"

Sebelum kedua kesatria itu pergi, mereka menatapku curiga. Aku mengerti mereka khawatir karena komandan mereka bersama orang asing. Apalagi orang tersebut memakai baju dan membawa senjata aneh.

Setelah kedua kesatria itu beserta kereta pergi menjauh dari pandangan kami, Jeanne membuka pintu masuk penginapan dan menyambar tanganku.

"Ayolah!"

Aku hanya mengangguk dan membiarkan tangan mungil itu menarikku. Kami memasuki lantai bawah -yang merupakan bar- yang dipenuhi oleh pengunjung. Kebanyakan dari mereka terlihat seperti petualang dari berbagai ras dan membawa berbagai macam jenis senjata berkilau, namun tetap saja kuno dimataku. Dan lagi, orang-orang di sana menatapku dengan penasaran.

Selagi Jeanne bertanya pada pemilik penginapan itu, aku hanya diam dan mendengar ocehan mereka.

"Siapa orang yang bersama kesatria Santa Whales itu? Apakah dia petualang?"

"Wajahnya seperti orang Fuso? Mungkin dia seorang Ronin, atau apalah itu."

"Apa itu crossbow? Musket? Desain yang aneh. Yang di pinggangnya itu helm ya?"

"Heh, lihat bajunya yang kotor itu. Apa dia terlalu malas untuk mencuci?"

"Tapi dia hebat juga ya, bisa mendapatkan seorang gadis dari orde kesatria itu."

Itulah yang akan aku dapatkan jika pergi ke daerah primitif. Namun, kata orang terakhir itu membuatku jengkel. Belum lagi Jeanne juga sedikit tersipu –terlihat dari telinganya yang memerah. Seorang manusia setengah serigala duduk di bar bersama teman-temannya. Ia menegak sebotol bir dan meracau tak karuan.

"Sialan! Jika bukan karena orang asing itu, aku pasti sudah membelikan gadis itu minum dan meni-"

Dia menghentikan kata-katanya setelah aku melotot ke matanya. Sepertinya teknik intimidasiku masih cukup berguna.

Jeanne menarik aku ke tangga menuju lantai atas dengan diam. Dia melepaskan pegangannya dan aku mengikutinya melewati lorong. Setelah keriuhan di bar sudah tak terdengar lagi, ia bertanya.

"Oh ya Wand, tadi aku dengar penginapan ini sudah penuh. Tidak ada lagi kamar tersedia. Sepertinya sekarang ini musim para petualang berburu," Dia membuka salah satu dari sekian banyaknya kamar di tempat itu. Hanya sebuah kamar minimalis dengan beberapa furniture dari kayu, 2 tempat tidur, dan sebuah jendela di antaranya yang ditutup...

Tunggu, 2 tempat tidur? Jadi, apakah aku harus tidur satu kamar dengannya?

"Em, Jeanne. Apakah ini tidak apa? Maksudku..."

"Tidak apa. Penginapan lain letaknya sangat jauh dari sini," Ia lalu tersenyum nakal padaku. "Lagi pula, aku yakin kau tidak akan melakukan hal 'bodoh' bukan?"

Kaulah yang melakukan hal bodoh. Mana ada gadis yang mau tidur satu kamar dengan pria yang baru dia temui beberapa jam yang lalu? Yah, lagipula dunia ini juga cukup aneh. Entah apa yang akan dilakukan para otaku laknat jika mereka ada di posisiku.

Ngomong-ngomong aku juga tidak punya uang –Dollar Amerika dan Yen tak berguna di sini.

"Baiklah...terima kasih atas kepercayaanmu," jawabku dengan nada sarkastik. Dia hanya membalas dengan tawa kecil.

Sementara ia masuk ke kamar mandi, aku melepaskan sepatu, kemeja tempur, rompi, dan juga helmku dan meletakannya di dekat tempat tidur. Aku juga menanggalkan kemeja tempurku, sehingga aku hanya memakai kaos abu-abu dan celana. Panas bung! Aku menyembunyikan pistolku di bawah bantal, hanya untuk jaga-jaga. Aku tidak perlu mandi karena buat apa coba? Nanti juga aku kotor lagi. Aku sudah terbiasa mandi seminggu sekali.

Mohon jangan tiru kebiasaan jorokku ini.

Setelah beberapa menit, aku melihat Jeanne berjalan keluar dari kamar ganti dengan sebuah handuk basah. Cepat juga ya. Aku pikir perempuan membutuhkan waktu cukup lama karena kakak bisa sampai satu jam di-

Aku kehilangan kata-kata saat aku menatapnya. Mataku terpaku ke arahnya. Dia sudah mengganti seragamnya dengan gaun tidur berwarna putih. Kata-kata mungkin tak dapat mendeskripsikan semua itu.

"Ada apa Wand?"

Tanya gadis ini sambil memiringkan kepalanya. Rambut pink-nya yang kini terurai jadi terlihat lebih berkilauan. Aku berusaha mengalihkan pandanganku dan menghela. "Ah, tidak ada. Aku hanya berpikir tentang sesuatu...sudah lupakan, itu tidak penting..."

"Baiklah, kau harus istirahat," Gadis itu lalu beranjak ke arah tempat tidur sebelah, menarik selimut dan berbaring di atas tempat tidur itu. "Selamat malam..."

Dengan itu, Jeanne langsung tertidur.

Aku mematikan lentera di kamar dan menyelimuti badanku. Aku menghela nafasku dalam-dalam.

Entah mengapa semenjak bersamanya, aku mulai kehilangan kendali dalam mengatur pikiranku walaupun aku bisa menutupinya dengan wajah datar yang selalu aku pasang. Memang sebagai laki-laki normal aku memiliki hormon yang membuatku tertarik pada lawan jenis, tapi aku sedang bertugas saat ini. Aku harus tetap bertindak profesional.

"GREEN 2, monitor! Di sini GREEN Lead!"

Apalagi sih?! Mengganggu lamunan orang saja! Dengan sedikit kesal aku meraih headset-ku dan menjawab. "Di sini GREEN 2, kirimkan pesan."

"Laporkan Situasi!"

"Kami berada di penginapan sekitar Checkpoint Alpha. Dari informasi yang kami dapatkan, manusia dan makhluk humanoid lainnya menghuni tempat ini."

"GREEN 2, Interogatif: Tolong jelaskan 'makhluk humanoid lainnya'!"

"'Makhluk humanoid lainnya' yang aku maksud adalah Elf, Ogre, manusia setengah binatang dan makhluk lainnya dari cerita fantasi," Aku tebak pasti sulit baginya untuk percaya.

"Dimengerti," Blade terdengar seperti tak terkejut. Mungkin dia sempat bergulat dengan serigala dan menghajar bandit primitif seperti yang aku lakukan. "Ada yang lain?"

"Kami sempat bertemu dan membuka kontak dengan salah satu anggota 'pasukan penegak hukum' di daerah ini. Gadis ini bilang dia berhutang budi pada kami karena sudah menyelamatkannya dari penjahat," Jawabku sambil melirik ke arah Jeanne yang tertidur pulas seperti seekor kucing.

Sempat terjadi jeda yang cukup panjang, tapi aku bisa mendengarnya tertawa kecil di balik radio. "Oh ya, radio milik Muse rusak waktu pendaratan jadi dia titip salam padamu. Aku nggak mengerti apa yang dia maksud, tapi dia bilang 'selamat karena sudah mendapatkan waifu 3D'."

Dasar wibu bau bawang. "Tolong beritahu dia, pak, 'Go fuck yourself, Weebs'," Aku bisa mendengar tawa Muse meledak di belakang transmisi. Blade berdehem sedikit, berusaha menahan gelak tawa.

"Sudahlah, besok temui kami di checkpoint Alpha pukul 8 jam, sekian," Setelah Blade memutus sambungan, aku menaruh kembali headset-nya ke rompi dan berbaring di tempat tidur. Aku memejamkan mataku dan membiarkan pikiranku perlahan melayang ke dunia mimpi....