Chereads / Eclipse - Special Operation in Another World / Chapter 3 - REDON 3 - What A Helluva Way To Die

Chapter 3 - REDON 3 - What A Helluva Way To Die

Tidak ada yang berubah setelah aku menarik tali parasut utama. Parasut utama gagal berfungsi.

Tenanglah Hajime, jangan takut, jangan panik, masih ada parasut cadangan. Yang perlu kamu lakukan adalah tarik parasut cadangan dan...

Tidak terjadi apapun, parasut cadangan juga gagal. Sialan.

"Wand, ada apa?"

Blade bertanya. Tapi aku tak bisa menjawab. Tubuhku berputar tak terkendali. Ugghh! Otakku mulai pusing dan berusaha memproses apa yang terjadi...

'Une belle princesse, tombée en disgrâce...'

Suara seseorang bersenandung?

'Un brave chevalier de l'est, rendu fou par l'effusion de sang...'

A-apa itu? Aku melihat sesuatu...

'Comme deux mondes se rencontrent,'

Seorang gadis...dia bukanlah Kakak, bukan juga Ibu...

'Comme deux âmes se sont rencontrés,'

Gadis itu memiliki rambut pink panjang yang indah bagaikan sakura dan memakai baju zirah layaknya seorang ksatria abad pertengahan. Ia berdiri di pinggir lereng membelakangiku sehingga aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Yang pasti kulitnya putih bersih, seputih salju.

'Les chansons d'amour et de paix commencent à commencer....'

Tunggu dulu...mengapa aku membayangkan hal tak jelas seperti ini?! Sadarlah! Nyawamu berada di ujung tanduk, kesempatanmu untuk selamat hanya tinggal sedikit!

Kesempatan terakhir, aku mencabut sangkur tempur dari sarungnya di paha kiriku. Lalu, aku meraih parasut di punggungku, merobek pembungkus dan berhasil meraih benangnya. Dengan kecepatan angin yang sangat tinggi dan gravitasi, aku tidak tahu di mana rekanku berada. Bahkan aku sendiri pun tak tahu mana atas dan bawah karena berputar tanpa kendali.

Menarik nafas panjang, aku menarik benang parasut itu dan berdoa.

Beberapa detik kemudian, aku merasakan sentakan di sekujur tubuhku dan tarikan di selangkangan dan ketiak.

Syukurlah...

Parasutku bekerja dan aku mulai turun perlahan. Setelah menghirup napas lega, aku mendengar Muse meneriakkan namaku di radio.

"Hajime! Lu baik-baik aja 'kan? Jawab!"

"Yeah...Aku baik-baik saja...lain kali jangan sebutkan nama di radio, Muse."

"God-fucking-dammit, man....bikin orang panik aja lu!"

Tiba-tiba angin kencang menerpa. Aku sempat kehilangan keseimbangan dan sialnya lagi, ransel dan kantong senjata terlepas dari pahaku dan jatuh ke hutan di bawah.

"Sialan!"

Entah mungkin sekarang dewi fortuna sedang tidak berpihak padaku. Tapi, biarlah, aku juga tak begitu peduli tentang keberuntungan. Kemampuan adalah yang terpenting, sisanya hanyalah faktor tak pasti. Itupoint penting yang diajarkanSidewinder.

Mengambil napas dalam, aku menunggu sampai mendarat. Dalam beberapa menit aku mendarat di atas pohon, secara tidak mulus. Ranting dan daun mengenai seluruh tubuh. Rasanya seperti disentil berpuluh-puluh kali. Jika seandainya aku tak memakai pakaian tempur, mungkin tubuhku sudah penuh dengan luka.

Setelah itu, aku berhenti, tepat beberapa meter dari tanah. Aku mencabut sangkurku sekali lagi dan memotong benang parasut, kemudian terjatuh ke tanah dengan bokong duluan.

"Ugghh!"

Perlahan aku bangkit dan membersihkan kotoran yang menempel di pakaian. Aku mengeluarkan sebuahgadget untuk mendeteksi toksin dan virus di area ini. Aku tidak tahu apa namanya, tapi yang terpenting aku diajarkan cara memakainya. Setelah alat tersebut berbunyi, menunjukan negatif terdapat virus di area ini, aku melepas masker oksigen dan menarik nafas panjang. Udara di sini benar-benar berbeda dengan bumi.

Rasanya sangat sejuk tanpa ada polusi. Benar-benar seperti berada di dunia yang berbeda.

Namun, tidak ada waktu bagiku untuk menikmati udara di sini. Aku harus menemukan ransel dan senjata utamaku bagaimanapun caranya. Aku mulai mengingat-ingat letak jatuhnya dan mulai menyusuri hutan ini.

Tak lupa aku menggenggam dan mengkokang pistolku yang juga merupakan 'teman tidurku', SIG Sauer P220, pistol semi-otomatis yang diproduksi oleh Minebea di bawah lisensi SIG Sauer dengan nama Minebea P9.

"Wand, disini Blade! Masuk!" Aku berhenti bergerak saat Blade menghubungiku.

"Di sini Wand, Lima Charlie*!"

"Dengar, kita sudah benar-benar terpisah. Kita akan berkumpul kembali di checkpoint Alpha!"

Dengan cepat aku ambil peta daerah ini dari kantong dan membukanya. Aku mencaricheckpoint Alpha. Setelah beberapa detik membaca peta, aku menemukan tempat yang Blade maksud, sebuah pemukiman di arah barat, kira-kira 2 kilometer dari tempat kita diterjunkan.

"Kamu dengar?"

"Dimengerti. Tapi sebelumnya aku harus mencari barang-barangku, tadi terjatuh ke suatu tempat."

"Baiklah! Semoga berhasil,mate!" Setelah Blade mematikan transmisi, aku memasukan kembali peta itu dan memulai kembali pencarian.

Aku melihat pohon di sebelahku berbentuk sangat aneh. Batangnya berbentuk sangat aneh, ada yang melingkar ada pula yang menyerupai bentuk hewan bahkan manusia. Kebanyakan pohon berbentuk sangat besar, sebesar beringin atau mungkin lebih besar sementara yang lain ada yang batangnya berwarna biru. Aku menatap pohon-pohon itu sebentar sebelum melangkah secara hati-hati.

Akhirnya setelah beberapa menit, atau jam mencari aku menemukan barang-barang itu.

Namun, sebuah serigala yang besarnya tak lazim menghalangi jalan. Ia menggertakan giginya, menunjukan taring-taring tajamnya yang penuh air liur, siap untuk menerkamku. Aku berjalan beberapa langkah ke belakang, mengarahkan pistol ke arahnya dan menguatkan pijikan kaki. Aku harus menghabisi serigala itu jika ingin merebut perlengkapanku. Saat ini hanya ada sebuah pistol dengan 2 magasin cadangan, setiap magasin berisi 9 peluru yang berarti aku hanya punya 27 peluru. Sangkur tempurku juga siap untuk beraksi bila diperlukan. Sialnya, granat yang berada di rompi tahan peluruku menghilang entah kemana.

Aku juga memakai rompi dengan level proteksi IV yang digunakan pasukan khusus yang bahkan dapat menahan peluru berkaliber tinggi dan juga helm kualitas terbaik. Namun, aku pikir itu tidaklah cukup. Taring hewan itu terlihat lebih seram dari .50cal.

Dengan secepat kilat serigala itu menerjang ke arahku sambil mengaum.

Aku berguling ke samping menghindari terjangan hewan itu. Aku berjongkok dan menembak kepala hewan itu tiga kali tepat di bagian kepal. Namun serigala itu kembali bangkit dan melotot ke arahku dengan satu matanya tertutup dan wajahnya terluka. Aku penasaran, sekeras apa kepala itu sampai bisa menahan tembakan?

Menarik nafas panjang, aku memegang dan pistolku secaratactical atau menyilang.

"Kemari kau!"

Serigala itu kembali menyerang. Ia melompat dan mencoba menghentakan kakinya di atas tubuhku. Aku berhasil menghindar, tapi goncangan akibat hentakan itu sempat membuat ku kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh. Aku menembak lagi mata sebelahnya dan melompat ke punggung hewan itu. Entah kenapa badanku terasa lebih ringan di dunia ini.

Aku mengangkat sangkurku dan menusuk punggungnya. Hewan itu mengaum kesakitan saat aku menusuk lebih dalam.

Sangkurku mengeluarkan cahaya hijau, yang sontak membuatku terkejut. Serigala ini melompat-lompat seperti sapi rodeo menabrak beberapa pohon di sekitar. Aku ingin mengakhiri pertarungan ini secepat mungkin. Setelah mencabut sangkur dari punggungnya, aku menggorok lehernya. Darah memancar dari lehernya sebelum hewan itu tersungkur tak bernyawa.

Setelah pergulatan sengit itu, kemeja tempurku basah karena keringat. Ada juga beberapa bercak darah di seragamku. Setidaknya tubuhku masih utuh dan bisa merebut kembali peralatanku. Aku menatap sangkurku, terheran-heran bagaimana bisa sangkurku mengeluarkan cahaya seperti itu padahal aku sama sekali tidak ada memodifikasi sangkur ini.

Setelah menyarungkan kembali sangkur dan pistolku, aku perlahan mulai mendekat dan mengamati sekitar. Setelah semua aku rasa aman, aku membuka kantong senjata pertama. Isinya adalah 'kawanku', yaitu senapan serbu utama Pasukan Beladiri, Howa Type 89 berwarna coklat muda. Beroperasi dengan peluru kaliber standar NATO yaitu 5,56x45mm, senapan ini dibuat dan dikembangkan dari Senapan Serbu M16 yang cukup terkenal. Desainnya juga banyak diambil dari senapan H&K G3. Type 89-ku adalah varian F dengan popor lipat yang sudah aku ganti dengan popor lipat senapan SCAR, dan juga rel di bagian atas dan bawah laras, yang sudah terpasang teropong Holographic dan pegangan depan.

Kemudian aku keluarkan senjata andalan keduaku, sebuah senapan penembak runduk Remington M24A3. Tentu saja, sebagai penembak runduk aku membutuhkan senapan sniper. Senapan ini sudah dipasangi sebuah bipod dan teropong dengan pembesaran 10 kali. Aku memasukan senapan ini ke dalamgunbag lalu menggendongnya di punggung.

Aku mengambil beberapa magasin cadangan dari tas ransel dan memasukannya ke kantong armor. Aku juga mengambil 2 granat tangan dan memasangnya di rompi, jika seandainya dikelilingi oleh serigala-serigala itu. Sisanya kubiarkan di ransel. Aku juga melepas helm-ku dan mengikatnya pada sabuk. Berat helm yang mencapai 5 kilogram terkadang membuat leherku hampir patah. Selain itu, juga agar rambut dan kepalaku tidak basah dan lembab oleh keringat.

Dengan semua perlengkapan ini, berat badanku bertambah kurang lebih 100 pon, alasan mengapa latihan fisik sebelum ke sini lebih berat dari biasanya. Aku akan berada di sini dalam jangka waktu yang lama, sehingga aku harus siap akan segala hal jika tiba-tiba semua berakhir SNAFU*. Mungkin terdengar Paranoid tapi aku tidak tahu bahaya apa yang akan mengancamku di dunia ini.

Jujur saja, aku orangnya sedikit paranoid. Aku bahkan tidak ingat terakhir kali aku makan di restoran tanpa mengambil tempat membelakangi tembok dan dekat dengan pintu keluar.

Setelah selesai, aku menggali tanah untuk mengubur parasut bekas dan kantong senjata. Aku tidak bisa membawa semuanya dan Mabes juga tak mau teknologi kita dimiliki pihak lain.

Kolonel Suzuki lalu menghubungiku. "GREEN 2….Markas Komando. Laporkan situasi, ganti?"

"Markas Komando, ini GREEN 2. Pendaratan berhasil. Diulang, pendaratan berhasil. Siap laksanakan Operasi Katalis, ganti?"

"Roger that….Kami akan mematikan komuni….karang. Semoga berhasil, nak!"

Setelah itu, hanya ada statis di radio. Sekarang aku benar-benar terisolasi di hutan ini. Aku memeriksa kompas di jam tangan militerku dan mulai bergerak ke arah barat.

--------------------------------------

Hutan ini ternyata cukup lebat. Banyak semak belukar dan pepohonan yang menghalangi jalanku. Bahkan terkadang aku berjalan kembali ke tempat yang sama. Tempat yang sangat cocok buat King Kong dan T-Rex untuk muncul.

Untungnya, semua itu bisa kuatasi karena sudah terbiasa bertahan hidup di alam bebas. Aku harus tetap waspada karena bisa saja ada predator yang mengancamku. Apakah itu hewan, manusia, atau bahkan Alien.

Matahari mulai terbenam di ufuk timur. Aku lalu memutuskan untuk beristirahat sejenak. Aku duduk di bawah pohon dan membuka ransum militer atau dalam istilah kerennya MRE(Meals, Ready to Eat), yang berisi Chicken Yakiniku.

Cara memasak nya cukup mudah. Tinggal isikan kantong plastik dengan air panas, masukan kemasan ransum ke kantong itu, tunggu beberapa saat...dan Voila! Chicken Yakiniku hangat siap untuk disantap.

Walaupun kedengarannya seperti makanan Jepang yang super lezat, rasanya tidak begitu enak. Terkadang hambar, terkadang terlalu manis, terkadang terlalu asin. Itulah mengapa banyak prajurit yang menyebutnya 'Meals, Rejected by Everyone'. Karena aku kelaparan, aku bisa menghabiskan semuanya dalam sekejap. Lebih baik makan ini daripada berburu, menghabiskan amunisi.

Setelah selesai, aku meminum air dari camel pack. Jika kalian tidak tahu, camel pack adalah tempat air berbentuk tas yang berada di punggung dengan selang yang menjulur ke pundak. Yang perlu kamu lakukan hanya putar kepalamu, gigit selangnya, dan sedot.

Setelah makan, aku memutuskan untuk tidur sebentar di bawah pohon itu. Aku berada di alam bebas sehingga aku harus tetap waspada. Setiap 5-10 menit aku akan membuka mata dan melihat sekeliling sebelum tidur lagi. Telingaku dilatih agar cukup peka, bahkan ranting patah dapat membangunkanku.

Tidurku tidak begitu nyaman. Mungkin karena ini di hutan dan banyak serangga yang membuatku menepuk wajah sendiri. Selain itu, terkadang mimpi buruk mendatangiku saat aku tertidur pulas…

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki.

Dengan cepat aku meraih senapan dan memutar tuas pengaman. Aku mengintip dari balik pohon dan melihat sekitar 8 orang bersenjatakan pedang dan crossbow. Mereka memakai baju zirah besi yang tebal yang melindungi tubuh mereka.

Dengan ini sudah jelas siapa yang menghuni dunia ini. Namun, teknologi mereka masih jauh di bawah kami, kurang lebih seperti teknologi abad pertengahan. Entah mengapa aku berpikir dunia ini mirip dengan game RPG atau LN yang aku baca.

Aku mengambil kamera digital dan memfoto mereka dengan sembunyi-sembunyi, kalau mereka sampai melihatku dan bahkan menganggapku musuh itu akan sangat merepotkan. Ini bisa jadi bukti penemuan penting. Dari tingkahnya, mereka lebih mirip tentara bayaran atau mungkin bandit karena mereka terlihat barbar dengan wajah acak-acakan, pergerakan dan cara memegang senjata yang tidak disiplin, dan dengan kasar menebas-nebas semak dan ranting.

Perlahan, mereka mendekat ke arahku. Aku menggenggam dengan erat senapan serbu. Seandainya mereka mengetahui dan menyerangku aku harus bereaksi dengan cepat. Memang dengan pakaian ini aku bisa berkamuflase dan sulit dilihat, tapi tak ada salahnya waspada. Detik rasanya berubah menjadi menit dan jam saat para bandit itu berjalan melewatiku. Sesekali, salah satu dari mereka melihat sekeliling, tanpa menyadari bahwa seseorang membidik kepala setiap dari mereka yang berada paling dekat denganku.

Akhirnya, aku bisa bernapas lega saat kumpulan bandit itu lewat dan berjalan menjauh. Karena penasaran, aku merayap mengikuti mereka dengan hati-hati. Beruntung aku memakai pelindung lutut sehingga aku bisa merayap tanpa membuat lututku lecet.

Setelah beberapa saat, mereka semua berhenti. Aku mendengar suara langkah kuda dan roda kereta.

Di sebelah kananku, ada sebuah jalan dari tanah. Lalu, terdengar suara kereta kuda mendekat. Suara roda berada dengan tanah keras terus mendekat sampai aku melihat kereta itu. Sebuah kereta kayu abad pertengahan yang ditunggangi seseorang dengan jubah coklat. Ada banyak barang yang berada di belakangnya. Kereta itu semakin mendekat dan mendekat sampai jarakku dengan kereta itu hanya tinggal beberapa meter. Aku melihat penunggang kereta itu adalah seorang gadis muda dengan...rambut pink?

Entah mengapa gadis itu terlihat...familiar....

"Alright boys, that's our prey. Let's get her!"

Bisik bandit itu ke teman-temannya. Sial! Aku harus....

Tunggu dulu.... Apa yang kupikirkan? Itu bukanlah tugasku. Fokus pada misi, fokus! Tak usah pedulikan dia, Hajime. Yang perlu kau lakukan hanya merayap menjauh dan....

"Tidak!!!"

Apa....

"Seseorang, tolong aku!"

Teriakan itu…

Teriakan yang kudengar saat bertugas di Luminia....

Teriakan yang tak bisa aku lupakan....

Teriakan seorang gadis tak berdaya yang disiksa dan diperlakukan secara mengerikan oleh kumpulan penjarah.

Tak ada yang bisa kulakukan untuk menyelamatkannya. Jika aku menyelamatkannya, itu akan membahayakan misiku. Ini adalah hal yang sama…

Bangsat! Apa yang harus kulakukan…