Chereads / Gloria; The Next Queen / Chapter 2 - Gloria

Chapter 2 - Gloria

Jihan masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tubuhnya gemetar karena berbagai macam perasaan menyeruak di dadanya—bingung, takjub, tak percaya bercampur jadi satu. "K-kok bisa mirip begitu, ya?"

Arga mengangkat bahu, "Nggak tahu. Mungkin kebetulan. Dan lagi…" ucapannya menggantung ketika matanya tak sengaja menangkap sebuah tulisan halus yang berada di pojok bawah kanan kanvas. "Glo-ri-a," ejanya. "Hmm... Gloria?" Anak itu memandang kakaknya dengan keingintahuan yang terpancar jelas. "Apa nama perempuan di lukisan ini Gloria, ya? Atau… Gloria itu nama pelukisnya? Menurut kakak yang mana?"

Jihan membalas semua pertanyan adiknya dengan gelengan kepala.

Arga menghela napas dalam-dalam karena tak puas dengan tanggapan sang kakak. Ia pun kembali meneliti lukisan itu. Kali ini bukan hanya mata, tangannya pun ikut bekerja dengan menyusuri permukaan kanvas beserta pigura yang membingkainya. Sesekali ia mengetuk-ngetuk atau menguji ketahanan kayu pigura dengan meremasnya kuat-kuat.

"Arga, kamu ngapain?!" tanya Jihan ngeri karena anak itu sama sekali tidak hati-hati. Kalau tidak diperingatkan, mungkin saja Arga mematahkan salah satu sisi pigura.

"Arga penasaran. Biasanya kalau lukisan itu selalu ada tahun pembuatannya, kan? Tapi, lukisan ini nggak ada."

"Oh, ya?" Jihan kemudian mendekati sang adik lalu berjongkok di sebelahnya. Sama seperti Arga tadi, ia pun juga ikut mengecek lukisan tersebut. Bedanya, ia melakukannya lebih hati-hati.

Setelah diperhatikan, benar kata Arga. Ia tak menemukan rekam jejak atau keterangan lain selain nama yang tertera di lukisan tersebut.

Gloria.

Jihan sendiri tidak tahu apakah Gloria nama perempuan di lukisan itu atau justru itu adalah nama sang pelukis.

"Kira-kira, kalau menurut Kakak, lukisan ini dibuat tahun berapa, ya?" tanya Arga sambil mengusap-usap permukaan kanvas dengan telunjuknya. Entah kenapa ia menyukai friksi kasar yang ditimbulkan dari cat lukisan itu.

"Hm..." Dahi Jihan berkerut serius. Terkadang sifat penasaran Arga memang menyusahkan. "Mungkin abad pertengahan?" jawabnya, setengah tidak yakin.

"Wah..." Mulut Arga membulat karena terpukau. "Kakak tahu dari mana?"

"Bajunya. Habisnya kemarin kakak baru nonton film yang bajunya mirip-mirip kayak begitu." Jihan tertawa. Sejujurnya dia hanya asal bicara.

Setelah tahu tahun berapa kemungkinan lukisan itu dibuat, tindakan Arga langsung berubah. Ia jadi lebih hati-hati sekarang. "Jangan-jangan... ini lukisan kuno yang harganya mahal. Tapi kenapa kakek-kakek itu kasih lukisan ini ke Arga sebagai hadiah, ya?"

"Mungkin karena Arga baik. Arga kan udah bantuin dia," timpal Jihan.

"Oh, ya, udah. Terus, lukisannya mau diapain? Dijual?" tanya Arga ragu.

"Eh, jangan! Kita pajang aja."

Arga memandangi kakaknya heran. Ia benar-benar tak menyangka jawaban itu yang keluar dari mulut kakaknya. Ia pikir kakaknya akan menjual lukisan itu. "Beneran?" tanyanya memastikan.

Jihan mengangguk. "Kenapa enggak? Lagian lukisannya bagus, kok." Mungkin ia terdengar plin-plan, tapi setelah tahu kalau wajah wanita yang ada di lukisan itu mirip dirinya, dia jadi tidak ingin menjualnya. Sepertinya tak masalah kalau lukisan itu dipajang di rumah mereka.

Arga manggut-manggut. Ia pun sebenarnya agak kurang setuju jika Jihan ingin menjualnya. Mungkin lukisan ini memiliki kekuatan magis yang tinggi, karena, entah mengapa, ia mulai menyukai lukisan ini.

"Kamu setuju kalau kita simpan lukisan ini di rumah, kan?" Kali ini giliran Jihan yang meminta persetujuan adiknya.

"Setuju kok, Kak! Tapi... lukisan ini mau ditaruh di mana?" Arga mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan. Ruang tamu yang mereka tempati sekarang juga merangkap sebagai ruang keluarga. Ukurannya tidak besar. Pada dinding-dindingnya pun hampir penuh dengan foto-foto; ada foto wisuda Jihan, kelulusan SD Arga, dan juga beberapa kolase foto keluarga yang terdiri dari potret orang tua mereka bersama Jihan yang masih remaja dan juga Arga yang masih bayi.

Melihat foto-foto itu, meski sekejap, wajah Arga mendadak muram. Ia selalu menyesali kalau kedua orang tuanya harus pergi ketika ia masih sangat kecil, jadinya ia tak memiliki banyak kenangan bersama orang tuanya yang bisa ia abadikan lewat foto. Tidak seperti kakaknya yang bisa lebih lama menyimpan momento berharga bersama kedua orang tua mereka.

Jihan yang mengetahui itu cepat-cepat mengalihkan fokus Arga. "Arga, kalau di sana aja gimana?" ucapnya seraya menunjuk sebuah sudut dinding ruang tamu yang letaknya berbatasan dengan dapur.

Arga berpikir sejenak. "Hmm… kayaknya bisa."

Jihan tersenyum. Dari dulu ia memang selalu merasa kalau ada yang kurang di bagian itu. Apalagi dinding itu adalah tempat strategis yang bisa dilihat dari mana saja—ketika mereka ingin masuk atau keluar dari dapur, atau saat mereka menuju ke kamar mandi, bahkan sisi dinding itu juga terlihat dari kamar Jihan dan juga Arga.

"Oke, kita pasang lukisan di sana. Kamu ambil paku yang ada di lemari dapur sana, biar kakak yang pegang lukisannya," ucap Jihan sambil mengambil alih lukisan itu dari tangan sang adik.

"Sip!" Arga buru-buru melesat menuju dapur.

Sepeninggal Arga, Jihan kembali memperhatikan lukisan itu dengan saksama. "Kenapa bisa mirip banget? Apa iya ini cuma kebetulan? Rasanya, kalau dipikir-pikir, agak nggak mungkin dan ganjil banget." Lekuk wajah, warna rambut, bentuk mata, hidung, serta senyuman wanita di lukisan itu benar-benar mirip dirinya.

"Ini palu sama pakunya, Kak," ucap Arga ketika ia baru kembali dari dapur. "Biar Arga aja yang ketuk pakunya ke tembok," tawarnya pada sang kakak.

"Memangnya kamu bisa?" goda Jihan.

Mendengar perkataan Jihan yang terkesan meremehkan, Arga jadi sebal. "Bisa, dong! Arga kan udah gede."

Jihan terkikik. "Iya, deh. Tapi hati-hati, ya."

"Yes!" Arga mengangguk. Tak butuh waktu lama lukisan itu pun sudah terpajang cantik di tempat yang sudah mereka tentukan sebelumnya. Jihan pun memandang puas hasil pekerjaan sang adik.

"Nah, sekarang udah beres. Mending kamu ganti baju dulu terus kita makan siang. Kakak udah buatin makanan untuk kita," ajak Jihan sembari mendorong-dorong punggung Arga meninggalkan ruang tengah yang kini penghuninya bertambah satu, yaitu ...

Gloria.

Related Books

Popular novel hashtag