Seharusnya sore ini menjadi hari yang menyenangkan bagi Raka. Sebab, jarang-jarang Sinta mau diajak jalan hanya dengan sekali meminta. Biasanya gadis itu baru akan mengiyakan setelah Raka memohon kepadanya sebanyak ratusan kali. Dari pagi dirinya telah menyusun berbagai schedule, mulai dari menonton film sampai hangout di kafe perpustakaan. Ia bahkan rela membaca tips-tips dari aplikasi kencan online agar kencan mereka hari ini tak membosankan.
Namun sayang, rencana hanya tinggal wacana karena sebuah kalimat horor yang keluar dari mulut Sinta nyaris membuatnya mati tersedak.
"Raka, kita putus."
Raka terbatuk keras. Rasa pahit nikotin yang baru saja disesapnya memperparah keadaan. Tiba-tiba saja ia merasa di tenggorokannya sedang ada pekerjaan penggalian tanah.
"Jangan pernah ganggu aku lagi," ucap Sinta final sebelum ia berbalik dan berlari meninggalkan kedai kopi tempat mereka janjian.
Melihat hal itu Raka buru-buru bangkit dari duduk dan mengejarnya. Ia bersyukur karena diberkahi dengan kaki panjang sehingga hanya dengan dua-tiga kali melangkah ia mampu menangkap lengan kurus Sinta. "Tu-tunggu, emangnya aku salah apa, Kak?"
Sinta refleks menepis lengan Raka. Sebagai gantinya, ia memeluk lengannya erat-erat seolah sentuhan tangan Raka tadi bisa membuatnya tertular penyakit ganas. "Po-pokoknya kita selesai. Aku nggak mau lihat kamu lagi."
"Enggak! Aku nggak mau kita putus!" sentak Raka tanpa sadar, tapi detik berikutnya ia segera meminta maaf saat mendapati wajah Sinta memucat.
"Jangan ... tolong, jangan," lirih Sinta dengan suara bergetar menahan tangis.
Raka sungguh tak pernah tega membiarkan perempuan menangis di hadapannya, maka dengan spontan ia berniat merengkuh tubuh kecil Sinta ke dalam dekapan. Namun, ia pun harus mengurungkan niatnya itu karena Sinta tiba-tiba saja berteriak histeris lalu memukulinya bertubi-tubi menggunakan tasnya.
Pemuda itu terpaksa mundur dan seketika meringis ketika pahanya tak sengaja menabrak ujung meja. Sinta yang melihat celah pun menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri.
"Kak Sinta!" panggil Raka saat tahu Sinta telah menjauh. Saat ia ingin mengejar, mendadak ada yang menarik bajunya dari belakang.
"Raka, ayo main ini." Suri, gadis mungil dengan rambut kuncir kuda yang tadi menarik-narik bajunya, tersenyum lebar sambil menunjukkan kaset game keluaran terbaru.
"Heh, lo ngapain di sini?!" bentak Raka marah.
"Eh, lo, kok ngebentak, sih?!" Suri balik berteriak karena tak terima.
"Bodo amat. Gue lagi nggak ada urusan sama lo. Cepetan lepasin tangan lo, gue pengen ngejar Kak Sinta."
"Mana ada Kak Sinta, sih? Ini kan di rumah lo, bego!"
Raka menggeram menahan kesal, tapi di detik berikutnya ia menyadari ada yang aneh dengan ruangan tempat ia berdiri saat ini. Dengan bingung ia memandang ke segala arah. Padahal tadi dia sedang berada di kedai kopi, tapi kenapa sekarang ia malah sudah ada di rumahnya?
"Udah sadar sekarang?" Suri bertanya dengan dua tangan terlipat di depan dada.
"Ta-tapi tadi serius, deh, gue itu lagi ada di kedai kopi sepupunya Adnan. Terus kenapa gue bisa ada di rumah sekarang?"
"Ngigo lo! Dari tadi kita di sini dan nggak ke mana-mana."
"Gue nggak percaya. Ini pasti mimpi!"
Suri berdecak tak suka. "Lo mau tahu caranya supaya lo tahu ini mimpi apa bukan?"
Raka memandangi gadis itu dengan dahi berkerut makin dalam.
"Begini caranya." Suri merangsek maju dengan muka datar dan Raka tahu kalau ini bukan pertanda bagus. Tanpa sadar pemuda itu melangkah mundur dan seketika berhenti saat punggungnya menabrak dinding. "Sur, lo mau ngapain?" tanyanya sedikit takut.
Suri tak membalas. Yang gadis itu lakukan adalah mengangkat kedua tangannya lalu meletakkanya di dada Raka.
"Sur, lo mau ngapain?" Keringat dingin mulai menetes dari pelipis pemuda itu. Apalagi setelah melihat senyum miring terkembang di wajah Suri.
"Katanya lo mau tahu kalau ini mimpi atau bukan, kan? Gue lagi bantuin lo, kok," ucap Suri sambil mendorong tubuh Raka ke belakang. Secara ajaib, dinding yang tadi memerangkap tubuh Raka tiba-tiba menghilang. Ruang tamu rumahnya pun tiba-tiba berubah menjadi puncak gedung pencakar langit. Belum sempat Raka mengeluarkan kata makian, tubuhnya sudah lebih dulu meluncur jatuh dengan kecepatan tinggi ...