ANTARA MANUSIA DAN NAGA
Suara gemuruh memenuhi seluruh daratan, tempat itu di selubungi awan gelap yang menghitam memayungi daratan yang bermandikan darah. Sementara petir bermunculan di satu sisi dan sisi lain langit, burung-burung pemakan bangkai terbang rendah karena mencium bau darah.
"Pergi!" Seorang pria berdiri memegang tombak di tangan kanannya, ia memakai mahabhusana wilwatikaputra[1] bagian atas tubuhnya yang tidak berbaju itu di penuhi darah. Kalung emas yang menempel erat pada dadanya membentuk burung garuda yang tengah meregangkan sayapnya.
Ribuan mayat mengelilingi tubuhnya, bukan musuh, melainkan para pasukannya!
"Kanjeng Gusti Pangeran, mihon apunten (mohon maaf)!"
"Kami semua tinggal bersama anda!" Dua ratus pasukan yang tersisa memandangnya dan menjawab bersamaan.
"Janchuk!"
"Koe sedaya di kandani ora gelem ngerungokno?!"
(Kalian semua di kasih tahu tidak mau mendengar!"
Ia mengumpat dengan bahasa ngoko karena amarah yang tak tertahan, terlihat rasa lelah di wajahnya.
"Pergi! Kalian tidak juga mengerti, Raden Mas terus menangis tiada berhenti! Kalau kalian tinggal maka ia akan mati juga!"
"Kalau ia mati, untuk apa perjuangan kita selama ini?! Bila sehelai rambut pun gugur darinya, aku tidak akan mampu memaafkan diriku sendiri! Lebih baik aku sendiri yang menumpas kalian!" Ia mengusap kepala bocah kecil yang masih menangis di tangan salah satu pasukan, namun kemudian mengangkat matanya dan memandang ratusan orang yang juga tengah memandangnya.
"Lunga (Pergi)!" Ujarnya menarik kasar salah pemimpin pasukan di bawahnya kemudian mendorongnya menjauh. Jiha mengalir dera keluar dari tubuhnya mendorong para pasukan menjauh dari dirinya, ia sendiri pun berusaha menyembunyikan tangisnya.
"Senang bisa berperang bersama kalian, hingga di dunia kedua, sampai berjumpa!"
"Siwa! Siwa!" Bocah kecil dalam dekapan salah satu prajurit menjerit kecil sambil menangis. Tangan kecilnya berusaha menggapai ke arah sang pria.
Ia mengulurkan tangannya, mengetuk keningnya bocah itu dan seketika ia mulai terlelap. Mata kecilnya masih berusaha memaksa terbuka, untuk melihat ke arahnya.
"Lindungi keponakan, lindungi Raden Mas!" Ia menatap tajam ke arah dua ratus orang yang tersisa. Mereka terlihat begitu enggan, namun dengan berat hati berlari sekuat tenaga meninggalkan tempat itu.
"Tim penjemput telah menunggu di Kota Exeter, temui mereka di sana!" Ujarnya sambil meninggalkan mereka, ribuan mayat yang sebelumnya berserakan di atas tanah perlahan berdiri kembali.
Namun mata mereka hitam, di penuhi kegelapan.
Pria itu berdiri membawa tombak yang bersimbah darah, tetes darah beringsut turun ke atas tanah dari ujung tombaknya. Ia menatap dua puluh ribu pasukan yang sebelumnya mengikutinya, kini menjadi musuhnya sendiri. Bak perahu kertas yang hendak berlayar mengarungi samudra, tubuhnya terkesan begitu kecil di hadapan lautan kematian!
Berbeda dengan para kesatria dari daratan utara yang membentuk jiha menjadi baju perang mereka, ia hanya mengenakan celana dan kain kebesaran putra mahkota. Sementara jiha dan aksaranya ia bentuk dalam bentuk senjata.
"Hyang Widi, kiranya lindungilah keponakanku sayangkanlah nyawanya! Kiranya suatu hari kelak Nusantara tak lagi hanya puing-puing yang mungkin di lupakan orang.." Ia menatap langit, tanpa ia sadari air matanya menetes. Ia dengan penuh kesedihan menebas ribuan manusia yang melemparkan tubuhnya ke arahnya.
"Maaf.."
Dengan dua tangannya ia menyapu barisan mayat-mayat hidup yang terus menyerangnya seperti ombak deras. Seperti menyayat dirinya sendiri, wajah yang ia kenal ia tebas dengan tangannya sendiri. Sambil mengucap satu persatu nama mereka, ia menghancurkan para prajurit yang mengikutinya di peperangan antara hidup dan mati.
Pedang, cakar, gigi mayat-mayat itu berusaha melukainya namun tak berguna karena tubuhnya lebih kuat dari baja.
Sungguh besar jumlah musuh yang ia hadapi, betapa pun ia berusaha menghalangi mereka melewatinya ratusan dari mereka berhasil melewatinya.
Ia melompat ke udara, jiha, energi semesta yang bersemayam dalam tubuhnya menyeruak keras. Di punggung tangannya empat bintang emas berpijar terang. Tubuhnya di selimuti cahaya terang, seakan ia adalah jelmaan bintang yang menyerupai manusia.
Tombak di tangannya seolah memecah diri, menjadi tiga tombak besar di udara.
"Heaaaaaaaaa!" Ia berteriak keras, ketiga tombak itu kemudian semakin membesar, satu dari ke empat bintang di punggung tangannya meredup. Tiga tombak berukuran masing-masing lima puluh meter berotasi mengikuti ayunan tombak di tangannya, seperti baling-baling memutilasi para mayat hidup yang berusaha melewatinya.
"Hancurkan!" Ia berteriak, dan seketika itu pula ketiga tombak yang masih berputar itu di penuhi api berwarna biru yang menghanguskan ribuan mayat hidup yang tidak berhenti meski api itu menghancurkan tubuh mereka.
Sedang semua hal itu terjadi, titik hitam muncul di pusaran awan yang gelap. Semakin lama semakin membesar, menyingkap naga dengan tubuh mencapai seratus meter panjangnya. Ia memiliki dua sayap besar dengan dua sayap yang lebih kecil di belakangnya. Naga itu memiliki enam tanduk besar dari hidung hingga atas kepalanya, ia adalah dalang dari semua mayat hidup yang bangkit dan menyerangnya.
"Terkutuk!" Ujar Pria itu, ia membungkukkan tubuhnya seakan akan berjongkok. Namun kemudian melemparkan tubuhnya naik, hingga ratusan meter ke atas. Naga itu bermanuver di udara, memutar tubuhnya untuk meningkatkan massa tubuhnya, tombak sang pria ia ayunkan ke arah sang naga raksasa. Naga itu pun tidak tinggal diam, ia mengayunkan ekornya.
Tombak dan ekor naga itu beradu, di luar dugaan sang naga ketika tombak itu beradu dengan ekornya tombak itu terlempar, sedang ekor itu melambat sebagai gantinya. Pria itu pun kemudian mendekap ekor besar itu, kemudian berlari di atasnya sambil kedua tangannya membentuk tiga tombak besar di udara dengan jiha miliknya.
Bintang di punggung tangannya hanya tinggal dua yang memancarkan cahaya, tubuhnya di penuhi api berwarna biru demikian pula ketiga tombak raksasa yang bergerak cepat di udara bagai pesawat tempur yang sedang bermanuver.
"Mati kau!!!" Teriaknya, ketiga tombak itu hendak menusuk sang naga dari tiga arah angin berbeda.
"Rawrrrr!" Naga itu mengaum keras, hingga membuat bumi bergetar, ia kemudian menggunakan kedua saya besarnya untuk menutup kepala dan tubuhnya hingga ia kehilangan kemampuan terbang. Ketiga tombak itu menghujam tubuh sang Naga, membuatnya terjatuh lebih kuat dan cepat dari atas langit.
Pria itu pun masih di udara dan dengan cepat hendak menghujam bumi, namun ia tidak berhenti di sana. Ia membentuk sebuah tombak besar berukuran seratus meter dengan seluruh jiha miliknya, membuatnya kehabisan tenaga sama sekali.
Tombak itu di selimuti api biru yang menyilaukan mata, panasnya membuat awan gelap bahkan terbakar dan menguap, cahaya mulai menembus kegelapan yang seakan membutakan itu.
Tombak besar dengan aksara-aksara yang memenuhi seluruh badan tombak melesat membelah udara, ukurannya yang sangat besar membuat suara akibat gesekkan udara terdengar seperti gemuruh petir.
๏ฟผ
Duarrrrr!
Asap debu mengepul tebal di tanah ketika sang naga besar menghantam bumi, di tambah tiga tombak yang penuh api itu seakan meledak ketika beradu dengan tubuh Sang naga. Ekor dan kepalanya sesekali mengintip keluar dari balik debu tebal itu, namun tombak besar yang tercipta di udara dengan cepat menghujamnya.
Tombak itu menyerang sang naga, tenaga di baliknya membuat kepulan asap debu itu terhempas menyingkap tubuh besar sang naga yang hancur setengahnya, terbakar oleh api yang menyelimuti sang naga raksasa.
Pria itu tersenyum, sementara tubuhnya terjatuh dari udara, ia menutup matanya dan kehilangan kesadaran.
Asap tebal itu kemudian hilang terbawa angin, naga yang kehilangan separuh tubuhnya itu tiba-tiba bergerak.
Mata besarnya kembali terbuka, ia membuka mulutnya sambil menjerit keras. Ia membuka mulutnya dan menyerang sosok pria yang terjatuh Aru udara. Sembari tubuh besarnya merangkak keluar dari lubang besar yang terbentuk akibat seragam sebelumnya, cakarnya bergantian menembus permukaan tanah curam.
**
Seluruh pasukan berlari sekuat tenaga, namun mayat-mayat dan makhluk jahat itu seakan tidak ada habisnya.
"Kapten!"
"Anda pergi dan bawa Raden, kami akan menghentikan mereka!" sepuluh regu kecil berucap sambil meninggalkan sang kapten, lima puluh orang itu berlari menyongsong kematian mereka. Membuat pagar dengan tubuh dan darah mereka, memberi sedikit waktu bagi sang kapten dan seratus lima puluh orang lainnya untuk melarikan diri.
"Tidakk!!" Teriaknya, namun tidak menghentikan langkahnya yang justru semakin cepat. Air matanya bergantian menetes ke wajah kecil yang terlelap di dekapannya.
"Sampai berjumpa saudaraku!" Ia mendekap bocah itu semakin kuat.
Meski begitu, barisan lima puluh orang itu tak mampu berbuat banyak. Jeritan dan teriakan mereka sajalah yang tersisa dan membekas di telinga prajurit yang lain.
"Demi Nusantara!" Teriak mereka sebelum tubuh-tubuh itu tertebas dan berjatuhan ke tanah.
"Kapten! Sampai jumpa di kehidupan kedua!" Lima puluh orang lainnya keluar dari barisan dan mengambil posisi bertahan!
Kali ini sang kapten tidak berkata-kata apa-apa, ia hanya terisak dan terus berlari. Semakin cepat, mengeluarkan semua jihanya. Ia membuat tanah yang ia pijak berterbangan, seolah berusaha berlari dari kenyataan yang begitu keji dan menyedihkan.
"Kapten! Kepadamu kami titipkan Raden!" Lima puluh orang lainnya berucap, langit berubah menghitam. Malam seakan datang lebih cepat dari seharusnya, air matanya membasahi kerah dan bahu perangnya. Lima puluh orang yang tersisa juga memberi salah perpisahan, namun mereka tidak membuat pagar penahan melainkan masing-masing membawa gumpalan seolah menggendong bocah yang sang kapten pegang. Mereka berlari ke berbagai arah, membuat kumpulan mayat itu kebingungan.
Di atas langit suara naga terdengar membuat suasana semakin mencekam, tak seorang pun tahu apa yang kan terjadi pada mereka. Seolah kegelapan dan keadaan membungkam suara, keheningan dan sesekali jeritan kematian memenuhi seluruh daratan putih yang dingin.
**
Seorang bocah berusaha keluar dari dekapan seorang prajurit, ia bukan seorang prajurit biasa melainkan kapten pasukan yang kini terbujur kaku. Darahnya membeku oleh suhu dingin yang mampu membekukan sungai-sungai kecil. Bocah itu berusaha sekuat tenaga membebaskan diri, ketika ia berhasil ia membuka matanya dan menemukan mayat sang prajurit yang memiliki lubang di punggungnya.
"Oman... Oman.. Bangun..." Ia menggoyangkan tubuhnya berkali-kali, namun sang kapten tak kunjung bangun. Ia menangis, merasa ketakutan di tengah hawa dingin dan kegelapan. Rasa takut yang amat sangat membuatnya menangis semakin keras, awalnya ia berpikir hendak diam di sana. Namun suara-suara hewan buas membuat ia semakin gentar, ia berbalik dan berlari menjauh.
Namun ketika ia baru melangkah beberapa meter, kakinya seperti menginjak sesuatu,"Krak!" seperti suara ranting patah, namun terasa kenyal ketika sepatu tipisnya bersentuhan dengan benda itu. Ia melihat ke bawah, mendapati jari-jari membekulah yang ia injak, ia berteriak. Seakan mendengar teriakannya, langit pun bergemuruh, bersamaan dengan kilat yang menyingkap sebuah gunung besar di hadapannya.
Gunung yang akan terpatri di ingatan terdalamnnya, gunung tumpukkan mayat manusia!
Tentang bocah ini dan masa depannya, siapa kah yang bisa mengira?