Matahari perlahan terbit, membuat sinarnya menembus jendela seorang gadis cantik, ia adalah Grace Cendersky.
Ia terbangun dan menatap sinis jendela kamarnya seolah berusaha membiasakan sinar matahari yang menembus jendela kamarnya.
"Ah, aku lupa menutup tirai semalam," keluhnya malas. Grace pun langsung bergegas mandi untuk bersiap-siap pergi ke sekolah.
Setelah selesai, ia langsung pergi ke sekolah tanpa sarapan. Grace hidup sebatang kara dan kehidupannya dibantu oleh pamannya. Seth--pamannya setiap bulan selalu memberikan Grace uang saku dalam jumlah yang sangat besar namun Grace tak pernah boros dalam masalah keuangan.
Grace pergi ke sekolah dengan berjalan kaki dan hanya memakan waktu selama lima belas menit.
Diperjalanan ia bertemu Joshep--sahabatnya yang juga satu sekolah dengan Grace. "Hey, Grace?!" Sapa nya dengan melambaikan tangan dan berlari kecil untuk menghampiri Grace yang tak berada jauh dari tempat Joshep berdiri. "Oh, hai!" Grace balik menyapa Joshep.
Inilah rutinitas setiap kalinya jika Grace hendak bersekolah. Ia selalu berangkat sekolah bersama Joshep.
"Bagaimana kabarmu?" Tanya Joshep dengan tangan kanan merangkul tubuh Grace. Grace tak merasa terganggu karena Joshep adalah sahabatnya sedari kecil dan selalu melindungi Grace.
Grace menjawab pertanyaan Joshep dengan gelengan kepala yang menandakan bahwa ia baik-baik saja.
Ditengah perjalanan Grace dan juga Joshep berhenti di perempatan jalan karena harus menunggu lampu untuk pejalan kaki berwarna hijau.
Grace yang merasa bosan mulai menghitung garis putih yang tercetak jelas diaspal. Hingga matanya bertemu dengan seorang pria yang sedang berdiri di arah berlawan dengannya.
Seketika tubuh Grace mematung.
Ingatan anak laki-laki yang membunuh kedua orang tuanya kembali berputar. Joshep yang melihat keanehan pada Grace langsung menyadarkannya.
"Grace, are you okay?" Tanyanya khawatir. Joshep mengikuti arah pandangan Grace.
Grace sedang menatap seorang pria yang mengenakan hoodie berwarna abu-abu dan celana jeans panjang yang memperlihatkan lututnya. Pria yang Grace lihat sedang mengenakan masker dan memiliki rambut berwarna hitam.
Joshep berulangkali melambaikan tangan didepan wajah Grace, namun Grace tak kunjung sadar dari lamunannya. Hingga membuat Joshep langsung menutup mata Grace dengan tangan lebar dan kekar Joshep. "Sst, it's okay. Dia berambut hitam bukan putih. Dia bukan anak itu... Sssh...."
Joshep memeluk Grace sambil menutup matanya. Inilah yang Joshep takutkan jika Grace tanpa dirinya.
Seketika Grace kembali sadar, kakinya tiba-tiba terasa lemas hingga membuatnya hampir jatuh terduduk namun, tertahankan karena Joshep langsung menggendong Grace ala bridal style.
"Josh, turunkan aku." Pinta Grace. Namun tidak ditanggapi oleh Joshep. "Grace, kapan kau bisa menghilangkan rasa takutmu terhadap pria? Kau takut terhadap pria tetapi kau bisa berteman denganku. Bukankah aku juga pria yangs seharusnya kau takutkan?" Tanya Joshep dengan mata menatap dalam Grace.
Grace merasa terlena dengan tatapan yang diberikan Joshep. Tetapi bukannya menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Joshep. Grace malah tersenyum lembut kepadanya. "Kenapa kau tersenyum?" Tanya Joshep dengan heran.
Lampu lalu lintas yang tadinya berwarna merah kini tergantikan menjadi warna hijau. Banyak pasang mata yang melihat Joshep dan juga Grace. Mereka terlihat bingung dan juga iri melihat kemesraan Joshep dan juga Grace.
"Kau teman baikku, Josh. Aku menghargaimu sebagi teman harta karun ku." Grace menjawab pertanyaan Joshep. Tetapi, sayangnya bukan jawaban seperti itulah yang Joshep inginkan. "Josh, turunkan aku. Lampu hijau!" Lanjut Grace yang mengingatkan Joshep namun dihiraukan olehnya.
Grace kembali menatap pria yang berada disebrang. Pria itu kini sudah tidak ada di tempatnya. Padahal Grace menyimpan rasa penasaran terhadapnya.