Author's POV
.
.
.
.
"Duduk dulu, Bu. Saya ambilkan minum." Andrea pun meraih segelas air putih yang tergeletak di nakas sebelah tempat tidurnya dan memberikannya kepada sang Ibu. Lebih tepatnya, Ibu Anjani.
Ibu Anjani langsung meraih gelas itu dan meminum airnya hingga tidak bersisa. Ia tersenyum lebar ke arah Andrea. "Terima kasih, Nak. Kalau tidak ada kamu, Ibu tidak tahu bagaimana nasib Ibu tadi."
Andrea membalas senyumannya dan mengangguk. "Sama-sama, Bu. Lain kali Ibu hati-hati ya kalau menyebrang. Untung saja saya berpapasan dengan ibu, jadi saya bisa menyelamatkan ibu."
Ibu Anjani menggaruk-garuk kepalanya sambil tertawa kikuk. "Kamu peduli banget sih sama saya. Ada apa?"
Deg! Andrea langsung tidak bergeming. Pertanyaan itu membuat semua rasa sakit itu kembali.
Ibu Anjani mengernyitkan dahinya sambil menatap Andrea yang berubah raut wajahnya. Andrea menyadarinya dan langsung kembali tersenyum. "Ibu kan sudah menua, sudah sepantasnya saya memperdulikan Ibu sebagaimana adanya. Lagian, ibu saya sudah tiada. Saya melihat ibu dan langsung mengingat ibu saya."
Mata Ibu Anjani membesar. "Ibumu... sudah meninggal?"
Andrea mengangguk pelan. Ia langsung mengalihkan pandnagan dari mata Ibu Anjani, teringat akan berbagai kenangan buruk yang mewarnai masa kecilnya.
"Sejak kapan, nak?" tanya Ibu Anjani sambil menatap Andrea nanar. Andrea menghela napas dan menjawabnya. "Sejak saya berumur lima belas tahun. Itu adalah awal dari semua milik saya yang berharga menghilang."
Ibu Anjani menyeret badannya mendekat ke Andrea. Raut wajah Andrea berubah, ia menundukkan kepalanya.
"Aduh, maaf, nak. Ibu tidak bermaksud membuat kamu sedih. Sudah ya jangan diingat lagi jika tidak mau." Ibu Anjani merangkul Andrea dan membiarkan kepala Andrea terbenam di pundaknya. Andrea langsung menarik kepalanya dan mengangguk. Ia harus terlihat tegar di depan siapapun.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya terlalu terbawa suasana, hehe."
Ibu Anjani tersenyum lembut dan mengelus rambut panjang sebahu milik Andrea. "Tidak apa-apa. Ibu juga baru saja mendengar cerita dari seorang anak. Anak-anak Ibu tidak pernah menceritakan keseharian hidupnya. Mereka terlalu serius."
Andrea reflek tertawa. Ia membayangkan salah satu anak dari Ibu Anjani yang ia kenal. Sangat ia kenal. Ibu Anjani mengernyit. "Kamu kenapa tertawa?"
Andrea menggeleng cepat. "Saya membayangkan sesuatu yang lucu, Bu. Sudah, Ibu istirahat saja dulu. Besok dan besoknya lagi saya akan terus menemani Ibu." Andrea pun membantu Ibu Anjani membaringkan badannya perlahan.
"Terima kasih ya, nak. Tapi tolong jangan beritahu kepada siapapun soal kunjungan saya ke dokter ya.. Saya mohon, nak." ucap Ibu Anjani memohon. Matanya menatap Andrea penuh harap.
Andrea langsung menatap Ibu Anjani curiga. "Ada apa, Bu? Mengapa saya tidak boleh memberitahu anak ibu?"
Ibu Anjani langsung membuang pandangannya dari Andrea. Ia mengetahui bahwa suatu saat nanti, ia harus siap memberitahukannya kepada seseorang tentang penyakit yang sudah lama membenam di dalam dirinya.
Air matanya mengalir seketika.. "Maaf, Ibu tidak bisa memberitahu... I..ibu tidak bisa, nak..." Isak tangis Ibu Anjani membesar. Andrea langsung menghampirinya dan memeluknya erat. Andrea mengelus punggung Ibu Anjani yang tampak bergetar dan lemah itu.
"I..iya, Bu. Tidak apa-apa. Tenang saja, yaa... Sekarang yang terpenting ibu istirahat aja. Kalau ada apa-apa bisa hubungi saya. Saya akan datang secepat mungkin."
Ibu Anjani mengangguk pelan dan membenamkan wajahnya di punggung Andrea. Hati Andrea seketika berdesir dan memeluk Ibu erat. Perasaan prihatin mulai terselipkan...
"Ibu juga tolong jangan beritahu kehadiran saya kepada anak-anak Ibu ya... Karena ketika anak-anak ibu tahu, saya sudah tidak bisa kesini lagi."
Ibu Anjani pun langsung mengangguk dan semakin mengeratkan pelukannya. Badannya masih bergetar, sehingga Andrea mengelus pelan punggung sang ibu.
Andrea menghela napas pelan. Untungnya ada hal yang bisa dijadikan timbal balik agar usahanya ini terlaksana dengan baik.
.
.
***
.
.
Jam lima sore.
Chalvin baru saja membuka pintu kamar sang ibu. Dilihatnya Ibu Anjani sedang berbaring dengan memejamkan mata. Chalvin menghampirinya dan mengelus rambut sang ibu yang berkeringat.
Ibu Anjani langsung terbangun dan mengubah posisinya menjadi duduk di hadapan Chalvin. "Kamu sudah pulang, nak?"
Chalvin menyadari kedua mata ibunya yang terlihat sembab. "Mata ibu kenapa? Habis nangis?"
Ibu Anjani langsung mengelus wajahnya dan tersenyum tipis. Ia menggelengkan kepala. "Ibu hanya mengantuk, Chalvin."
Chalvin memicingkan matanya. "Ibu itu ratunya berbohong. Aku tidak percaya."
"Ibu benar-benar tidak berbohong, nak.. Percayalah sekali saja."
"Aku tidak akan percaya pada ibu. Sudah dua hari mata ibu tidak segar seperti itu. Ibu tidak bisa berbohong kepadaku."
Ibu Anjani menggeleng. "Ibu tidak apa-apa, nak. Ibu serius."
Chalvin tetap kekeuh pada pertanyaannya. "Ibu kenapa?"
"Ibu hanya habis menonton drama yang sangat sedih, nak. Terbawa hingga sekarang."
Chalvin memicingkan matanya. "Benarkah?"
Ibu Anjani tersenyum lebar dan mengangguk. Chalvin langsung menghela napas dan mengecup dahi Ibunya. "Kalau ada apa apa, bilang aja sama Chalvin, Bu. Jangan sungkan."
Ibu Anjani mengangguk lagi. "Kalau begitu, mana makanan yang Ibu minta sebelum kamu berangkat? Ibu sangat lapar.." Ibu Anjani menatap Chalvin dengan penuh harap.
Chalvin menelan ludahnya dan mengernyitkan dahi. Sejak kapan Ibu memintanya untuk membelikan makanan?
Ibu Anjani menyadari tatapan penuh arti yang dilemparkan Chalvin. "Kamu lupa lagi ya, Vin?"
Chalvin tertawa kikuk, lalu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Sepertinya Ibu tidak pernah bilang mau dibeliin makanan.."
Ibu Anjani beranjak berdiri dan memegang kedua pundak Chalvin. "Tidak apa-apa, nak. Udah gih sana mandi, makan, terus istirahat."
"Maaf ya, Bu."
Ibu Anjani menggeleng. " Tidak apa-apa. Besok jangan lupa ya. Oh iya, di rumah tidak ada makanan sama sekali. Badan Ibu lemas sekali, kamu beli aja ya di luar."
Chalvin mengangguk mengerti dan kembali mengecup dahi ibunya. "Ibu istirahat yang cukup ya. Chalvin mandi dan makan dulu."
"Iya, sayang."
Chalvin pun melangkah keluar dari kamar Ibunya. Ya, itulah kehidupan yang dialami Chalvin. Chalvin mempunyai dua kakak perempuan yang selalu pulang lebih malam darinya, membuat Chalvin mengemban tanggung jawab besar untuk menjaga Ibunya.
Mereka tahu keadaan Ibunya yang telah renta termakan usia. Mereka mengerti bahwa ibunya sudah tidak seperti dulu lagi. Maka itu, mereka bertiga memutuskan untuk mencari uang sebanyak-banyaknya untuk membahagiakan ibu tercinta mereka.
.
.
***
.
.
Dua hari setelahnya,
Chalvin pulang lebih pagi dari biasanya. Ia langsung membuka pintu kamar sang ibu. Matanya membelalak melihat senyum sang Ibu terukir sambil menempelkan ponsel di telinganya.
"Ibu bahagia, nak. Terima kasih kiriman kuenya, sayang. Ibu tunggu kamu dateng ya..."
Chalvin memicingkan matanya. Ia menggenggam gagang pintu kuat-kuat. Telinganya dicondongkan agar menembus pintu kamar yang terbuka sedikit.
Sang ibu tersenyum dan tertawa dengan begitu bahagianya. Mulutnya berkomat-kamit, tangan sebelah yang nganggur bergerak-gerak. Chalvin mengernyitkan dahinya. Dengan siapa Ibunya berbicara?
Tiba-tiba, Ibu menoleh ke arah Chalvin. Chalvin reflek langsung bersembunyi. Sang ibu pun tidak curiga dan melanjutkan percakapannya lagi. Chalvin kembali mengintip.
"Sudah, ya. Salah satu anak ibu sudah ada yang pulang. Sampai nanti, nak." Ibu langsung menyingkirkan telepon genggam itu dari telinganya dan beranjak dari tempat tidurnya. Ia melangkah ke pintu kamarnya.
Chalvin pun buru-buru berlari menjauhi kamar ibunya dan memutuskan untuk tidak menemui sang ibu hingga malam tiba. Menyimpan rasa penasaran yang tiba-tiba menggelora.
Siapakah itu...?
.
.
.
***
.
.
.
Keesokan harinya,
Chalvin pun menceritakan keganjalan yang terjadi dengan ibu kepada kedua kakak perempuannya. Kedua kakaknya sama-sama mengernyitkan dahi sambil membetulkan posisi duduknya yang kurang nyaman dengan bersila.
"Siapa perempuan.... bergaul dengan ibu?" tanya Gabrielly, kakak pertama Chalvin yang berumur paling tua di antara kedua adiknya namun memiliki kelakuan bak anak bocah.
Telunjuknya diarahkan ke dagu sambil mendongakkan kepala di atas. "Apakah ibu sebegitu banyaknya teman sampai anak muda pun berteman dengan ibu?" Elvinna mulai menghela napas dan mencoba memikirkan jawaban dari pertanyaannya yang lebih konyol daripada kakak tertuanya.
Chalvin menghela napas menanggapi kedua pemikiran kakaknya yang sama sekali tidak membantu. Ia menepuk dahinya. "Kak, Apin serius."
"Emangnya siapa yang gak serius, aaaaaaa..."
"...apin!" seru Elvinna menyela ucapan Gabrielly sambil menatapnya tajam. Gabrielly pun membalas tatapan adiknya semakin tajam. Terjadilah pergulatan tatapan yang tidak sama sekali diinginkan oleh adik terkecilnya.
"Kak, sudahlah. Aku mulai mati penasaran."
Ucapan Chalvin membuat mereka menghentikan aksi konyolnya. Chalvin melanjutkan bicaranya. "Menurut kakak, selain itu teman ibu, siapa?"
Gabrielly menghela napas kencang. "Ya kakak mana tahu, Chalvin! Kenapa gak kita tanya langsung sama ibu?!" tanyanya dengan nada nyolod, membuat Elvinna pun terbuai emosi.
"Kalau ibu gak sengaja menyembunyikan ini, beliau pasti udah kasih tahu kita."
Gabrielly pun mencoba mencerna sebentar, lalu mengangguk-angguk setuju. "Bener juga, El."
Chalvin benar-benar tidak menyangka bahwa kakak perempuannya sangat meremehkan ini. Sejak ibu menelepon seseorang itu kemarin, Chalvin sudah merasakan perasaan kurang nyaman.
"Kalau menurutmu, siapa Vin?" Elvinna kembali bertanya kepada Chalvin. Chalvin kembali menepuk dahinya dan menghela napas. Ia benar-benar sudah lelah.
"Kalau aku tahu, aku tidak akan menanyakan ini kepada kakak."
Elvinna mengangguk-angguk. "Yang pasti, perempuan itu ada hubungan dengan salah satu anggota keluarga kita. Kita harus bisa menemukannya sebelum ia pulang dari sini."
Chalvin tersenyum tipis. Akhirnya kakaknya bisa serius. "Itu juga yang sedang kupikirkan, kak. Bagaimana kak Gabrielly?"
Begitu Chalvin dan Elvinna menoleh ke arah Gabrielly, terlihat ponsel tergenggam oleh kedua tangannya yang sedang mengetik. Kedua pasang saudaranya mulai menajam, memperhatikan gerak-gerik Gabrielly.
Tik..
Tok..
Setelah beberapa detik, Gabrielly pun sadar dan terkikik. "Apa?"
Elvinna pun menghela napas. "Kita harus menemukan perempuan itu cepat atau lambat! Lama kelamaan, perasaanku semakin gak enak. Siapa tahu perempuan itu berniat menghancurkan keluarga kita?"
Gabrielly mengangguk dan menghempaskan ponselnya ke atas kasur. "Aku sedari tadi mendengar pembicaraan kalian dan aku setuju."
Elvinna memicingkan matanya. "Tidak. Aku tidak percaya."
"Sudah, sudah. Bagaimana kalau kita sekarang menerka-nerka rupa perempuan itu?" Chalvin pun mengalihkan pembicaraan. Pikirannya benar-benar terarah kepada perempuan itu seorang.
"Pasti dia cantik!" pekik Gabrielly menyela Elvinna yang hendak membuka suara.
"Pasti dia belum menikah!" seru Elvinna.
"Umurnya tiga puluhan seperti Chalvin."
"Temannya Chalvin!"
Deg! Mereka bertiga pun terdiam, saling mencerna perkataan terakhir. Apakah... benar?
"Chal, mungkin benar dia adalah temanmu. Secara, aku dan Gabrielly gak pernah mengenalkan teman ke ibu. Bahkan mereka gak tahu rumah kita dimana.."
"Tapi, teman kita kan bisa aja menolong ibu pas lagi jalan di luar. Gak ada yang gak mungkin kali, kak."
Rasa curiga dan penasaran Chalvin mulai memuncak. Otaknya mulai menampilkan figur-figur teman perempuannya dari kecil hingga...
Apa jangan-jangan....
itu adalah dia?
"Aku yang akan pulang pagian besok. Jangan beritahu ibu. Besoknya lagi kak Vina, lalu kak Elly, dan kembali lagi ke giliranku. Oke? Oke. Sekarang waktunya tidur, mempersiapkan pertarungan besok." ucap Chalvin dengan panjang, lalu segera beranjak berdiri untuk pindah ke kamarnya.
Elvinna mengernyitkan dahi, memperhatikan Chalvin yang sudah pergi dari kamar mereka berdua. "Feeling aku benar kalau itu teman lamanya. Tapi kenapa ibu selalu menyembunyikannya ya?"
...
...
...
Tidak ada jawaban. Elvinna segera menoleh ke samping, tempat seharusnya Gabrielly duduk. Ya, ia masih disitu, tetapi batinnya telah masuk ke dalam ponsel.
"Astaga, Elly!" pekik Elvinna dalam hatinya dan menepuk dahinya seperti Chalvin.