Chereads / IHeart You / Chapter 50 - Sebuah Perjanjian

Chapter 50 - Sebuah Perjanjian

"Sial!!" Surya menggerutu cukup keras, melemparkan dengan kesal tumpukan kertas yang mulai berantakan di atas meja kerjanya. Sedangkan Roy hanya memandang kakaknya, dan memegang salinan kertas yang ia masih baca dengan teliti.

"Ini bukan penggabungan namanya." Surya kembali melanjutkan kekesalannya, dan kini duduk di kursinya, kembali mengumpulkan kertas-kertas yang ia lemparkan tadi.

"Aku gak yakin, apa papa akan setuju soal ini." Ucap Roy sama kesalnya dengan Surya. "Disisi lain, ini jumlah yang sangat besar. Ini sangat membantu untuk menormalkan kembali operasional kita." Roy masih tidak berkedip menatap kertas-kertas yang ia pegang.

"Apa kau tidak merasa ada yang aneh, dengan draft ini?" Tanya Surya dengan serius, Roy meletakkan kertas yang ia pegang di atas meja yang berada di depannya. Mentatap Surya dengan ragu.

"Semoga kecurigaan ku tidak benar sama sekali." Ucap Roy Ragu, Surya memandang adiknya dengan bingung. "Kecurigaan seperti apa, menurutmu Roy?" Surya kembali bertanya dengan khawatir.

"Entah mengapa, setelah membaca semua draft tadi. Aku berpikir, kalau mereka sebenarnya tidak membutuhkan Putri untuk menjadi bagian keluarga mereka. Mereka hanya ingin menjadikan adik kita sebagai jaminan." Ucap Roy, yang kali ini menatap Surya yang sepertinya mulai paham dengan arah pembicaraannya.

Putri duduk dengan ragu, sering kali ia membetulkan posisi duduknya, menatap layar handphonenya, entah apa yang ingin ia lihat. Ia hanya ingin mencari kesibukan sambil menunggu di ruangan yang masih asing baginya.

Wanita yang berada di depanya, menatap Putri dengan tatapan tidak menyenangkan. Putri melirik ke arah jam tangannya, sudah hampir satu jam dia menunggu. Padahal Irfan sendiri yang meminta dirinya untuk menemuinya di sore hari.

Putri kembali berpikir, apakah ini tindakan yang amat bodoh. Kembali mengingat, di malam sebelumnya ia mengirimkan pesan ke Rita untuk meminta nomor Irfan. Dan respon dari Rita yang sangat antusias, tanpa harus menunggu lama segera mengirimkan nomor Irfan kepada Putri.

Putri harus menyingkirkan gengsinya ketika ia yang terlebih dahulu meminta Irfan untuk bertemu dengannya. Putri menghela nafasnya dengan panjang, merapikan kembali pakaiannya. Berharap penampilannya tidaklah seperti anak-anak SMA.

Wanita tersebut tampak mengangkat telepon dan memandang Putri tanpa berkedip, tidak lama ia bangkit dan menghampirinya. "Silahkan sebelah sini, Bapak Irfan sudah selesai dengan meeting-nya." Ucap wanita tersebut masih menatap Putri dengan aneh.

Putri mengikuti langkah wanita tersebut, ruangan Irfan tidak jauh dari ruangan ia berada sebelumnya. Putri menatap pintu yang amat besar, wanita itu mengetukkan dengan perlahan sebelum membuka pintu.

Setelahnya, mempersilahkan Putri untuk masuk ke dalam ruangan. Ruangan Irfan sangatlah luas, bahkan ia memiliki kursi tamu yang cukup lebar. Putri melangkahkan kakinya dengan hati-hati, dan tidak lama wanita yang mengantarnya menutup pintu dengan cepat. Meninggalkan Putri yang berada di ruangan.

Irfan terlihat berdiri dan menghubungi seseorang, menatap ke arah jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan gedung-gedung tinggi. Tidak lama ia menutup teleponnya dan berbalik badan.

Kali ini mata mereka saling bertatapan, Putri sadar kalau Irfan memang memiliki paras yang tampan. Sikapnya yang dingin, justru membuatnya lebih terlihat elegan. Irfan tersenyum memandang Putri, dan Putri mulai salah tingkah.

"Ini ketiga kalinya kita bertemu, dan aku lebih suka dengan penampilanmu yang sekarang ini." Ucapnya mulai berjalan mendekati Putri. "Silahkan duduk, semoga aku tidak kehilangan ramah tamahku." Ucap Irfan menunjuk ke arah sofa.

Putri dengan hati-hati melewati Irfan, dan mulai duduk. Memperhatikan Irfan yang duduk berada di depannya, masih menatap Putri dengan tatapan yang seperti ingin memakan mangsanya.

"Kamu tau Putri? Aku benar-benar kaget, waktu kamu menghubungiku." Ucap irfan yang kali ini menyilangkan ke dua kakinya, Irfan sangat terlihat santai sedangkan Putri terlihat sangat kaku.

"Ya, karena ada suatu hal penting yang ingin aku bicarakan kepadamu." Ucap Putri dengan sopan, Irfan tertawa mendengar pernyataan Putri. Putri memandangnya dengan bingung, apakah ada yang salah dengan omongannya.

Putri pun berdeham keras, membuat Irfan menghentikan tawanya. "Sorry, bukan aku ingin menertawakanmu. Tapi kali ini sikap kamu benar-benar berbeda." Ucap Irfan yang masih menahan tawanya, kemudian melihat jam tangannya.

"Bagaimana kalau kita keluar?" Tanyanya.

"Keluar? Keluar kemana?" Putri balik bertanya.

"Kita keluar sambil makan malam, ini sudah terlalu sore. Kantor juga akan tutup, kamu tidak mau kan membuat kita menjadi bahan gosip dengan kita masih disini hingga malam." Ucap Irfan tersenyum.

Putri pun tidak menolak ajakan Irfan, ada betulnya juga. Dengan ia datang dan menemuinya saja, pasti sudah banyak yang bergunjing di belakangnya. Irfan tampak senang karena kali ini Putri lebih banyak menurut.

Irfan meminta Putri untuk satu mobil dengannya, dengan terpaksa Putri harus meminta supirnya Pak Bimo untuk mengikuti dari arah belakang.

Putri pun merasa Irfan kali ini juga berikap sopan, tidak ada kata celaan yang keluar dari mulutnya. Sepanjang perjalanan, mereka pun tidak banyak berbicara. Tapi sesekali mata mereka bertemu, dan dengan segera Putri memalingkan wajahnya.

Mereka pun tiba di sebuah restoran yang Putri tahu, tidak semua orang bisa masuk ke restoran tersebut. Seorang pelayan restoran yang berjaga di depan pintu, membukakan pintu dengan ramah dan menyapa Irfan dan Putri yang baru tiba.

Putri yakin, ini bukan pertama kalinya Irfan datang. Pelayan tersebut tampak sangat mengenal Irfan dan langsung mengarahkan mereka untuk duduk di meja yang sudah disiapkan. Dengan ramah, menarik kursi mereka dan mempersilahkan mereka untuk duduk dengan nyaman.

Mereka telah memesan beberapa menu utama untuk dihidangkan, Putri yang masih merasa canggung dengan Irfan, tidak banyak berbicara dan lebih memilih diam. Tapi Irfan sepertinya menikmati situasi ini, dan terus menatap Putri tanpa peduli dengan keadaan sekelilingnya.

Tatapannya masih tertuju kepada Putri, sesekali tersenyum memandangnya. Putri terus menggenggam tangannya, dan memainkan kedua ibu jarinya, ia pun terus memalingkan wajahnya . Putri pun berdeham sangat sering, merasa aneh dengan Irfan yang masih memandangnya.

"Hem..hem.." Putri kembali mengumpulkan suaranya, setelah beberapa menit mereka terdiam, dan hanya menatap makanan yang sudah dihidangkan. "Apa kamu tidak ingin memakan makananmu atau hanya akan terus menatapku ?" Putri memberanikan untuk membalas tatapan Irfan.

Irfan tertawa kecil, mendengar pembicaraanya. Dan mulai menyantap makanannya dengan perlahan. "Bukannya kamu yang ingin bicara denganku." Jawab Irfan dengan santai, Putri pun tampak tertunduk, dan masih merangkai kata-kata apa yang akan keluar dari mulutnya.

"Ayo kita menikah." Ucap Putri dengan bodoh, Irfan terkejut langsung dan menatap Putri dengan bingung. "Bukan! Bukan itu maksudku." Putri mencoba menjelaskan, "Maksudku aku akan menerima perjodohan ini. Dan aku juga akan menyetujui pertunangan kita." Putri memandang Irfan, berharap penjelasannya bisa dimengerti.

Irfan menegakkan tubuhnya, "Apa ini karena kau ingin menyelamatkan bisnis keluargamu?" Irfan bertanya dengan sinis, Putri bisa merasakan bahwa Irfan menjadi kembali sosok yang ia temui pertama kali.

"Penyelamat, sepertinya bukan kalimat yang cocok dengan ku. Aku hanya ingin berusaha untuk lebih banyak membantu." Putri kembali menatap Irfan, yang sudah menyilangkan kedua tangannya. Tampak sedang berpikir keras.

"Kamu tau Put, hari ini kami membahas banyak hal. Salah satunya bisnis keluargamu, kami perlu meninjau dan mempertimbangkan lagi untuk penggabungan kedua perusahaan." Irfan kembali meninggikan volume suaranya.

"Pertanyaannya, adalah kenapa? Kenapa kami harus membantu bisnis kalian, yang setelah kami lihat kembali terlalu banyak resiko yang akan kami dapatkan." Irfan menjelaskan dengan puas.

"Ahh, aku rasa kamu enggak akan mengerti bukan?" Putri yang merasa celaan Irfan tidaklah penting, mencoba untuk bersabar dan tidak menunjukkan emosi.

"Kau hanya seorang gadis SMA, apa yang kau tau tentang semua ini? Bagaimana bisa aku memiliki istri yang tidak tau apa-apa?" Irfan kembali mencemooh. Putri semakin menahan emosinya, memegang jari jemarinya dengan amat erat.

"Bagaimana kalau aku bisa buktikan, kalau aku bisa buktikan bahwa kami juga bisa membuat kemajuan dalan bisnis kami. Bagaimana kalau kau yang salah?" Putri menjawab.

"Apa yang ingin kau buktikan? Aku tidak butuh omong kosong. Lihat ini." Ucap Irfan menunjukkan layar handphonenya ke arah Putri. Putri menerima handphone Irfan dengan ragu, tapi penasaran dan ingin mengetahui apa yang ingin Irfan perlihatkan.

Putri bisa melihat beberapa artikel yang menginformasikan tentang kondisi perusahaan Soedarmo. Penurunan Income yang merosot, pengunduran diri karyawan dalam jumlah yang besar, dan rencana penutupan beberapa pabrik.

Putri mengembalikan handphone Irfan dengan perlahan, dan menarik nafasnya. "Jadi apa maumu sekarang?" Tanya Putri kembali, Irfan tersenyum lebar mendengar pertanyaan Putri.

"Seperti yang kau bilang, pembuktian. Pembuktian bahwa bisnis kalian memang layak untuk dipertahankan." Kali ini Putri menarik nafasnya hingga dadanya melambung dengan tinggi.

"Karena aku menerima hubungan ini, aku juga ingin mengajukan permintaan." Putri tampak ragu saat mengatakannya, tapi Irfan menyimak dengan serius "Kau bukan dalam posisi penentu. Tapi permintaan apa yang ingin kau minta dari ku?"

Putri memandang Irfan tanpa berkedip, "Aku ingin pernikahan kita dilakukan dua tahun lagi. Aku tidak ingin menikah setelah lulus sekolah. Masih banyak hal yang ingin aku kerjakan." Irfan memandang Putri dengan keraguan.

Yang terjadi berikutnya adalah sebuah kesunyian, Irfan tampak masih berpikir. Tangannya menyentuh dagunya yang runcing, apakah ini permintaan yang sulit? Itu yang dipikirkan oleh Putri.

"OK, kalau itu yang kamu mau. Tapi tampaknya orang tuaku tidak akan menunggu lama untuk pertunangan." Ucap Irfan, kali ini mengambil gelas kopi dan meminumnya dengan perlahan.

Putri terlihat berpikir, Irfan masih menatapnya seakan tau apa yang dipikirkan Putri. "Jadi kau setuju dengan perjodohan ini?" Putri kembali menegakkan kepalanya, "Aku tidak pernah bilang kalau aku setuju." Jawab Irfan dengan santai dan tersenyum.

Putri menatap pria yang ada di depannya dengan tatapan bingung dan penuh kecurigaan, Irfan kembali tertawa kecil melihat reakasi Putri.

"Maksud kamu?"

"Bagiku suatu hubungan yang saling menguntungkan atau lebih menguntungkan harus jadi bahan pertimbangan. Seharusnya aku yang bertanya, apa kamu yakin akan menikah dengan ku, Putri?" Pertanyaan Irfan langsung membuat Putri menatapnya dengan kesal, tapi Putri masih bertahan untuk mengatur emosinya.

Putri tidak menjawab pertanyaan Irfan, hanya bisa diam tertegun. Kalau bisa menjawab, ingin sekali Putri berteriak dihadapan pria yang ada di depannya. Tapi, terus berpikir berulang-ulang agar tidak merusak perjanjian yang mereka sudah sepakati.

"Aku rasa makan malam ini sudah selesai." Ucap Putri seraya menyeka mulutnya dengan napkin. Irfan memandang tanpa merubah ekspresinya. "Kamu akan pergi? Bahkan tidak menghabiskan makananmu?" Tanya Irfan.

"Kau tau, aku masih seorang anak SMA. Dan besok ada ujian yang harus aku hadapi, tidak baik bukan jika aku terlalu pulang malam." Putri mencoba mencari alasan. Irfan tersenyum memandangnya. "Aku senang dengan istri yang pintar." Jawaban Irfan membuat Putri menjadi salah tingkah.

"Terimakasih untuk waktumu, dan makan malam ini." Putri mulai bangkit dari kursinya, sedangkan Irfan tidak bergeming sama sekali. Putri dengan segera membalikkan badannya, bisa bernafas lega untuk tidak berlama-lama dengan Irfan.

Irfan masih duduk terdiam, sambil melihat Putri yang sudah berlalu meninggalkannya. Masih menikmati makan malamnya, suara handphonenya berbunyi. Ia menatap layar handphone-nya untuk beberapa detik, sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan masuk yang ada.

Terdengar suara laki-laki menyapanya di balik telepon, "Sudah dapat fotonya? Mmmm.. OK.... Tidak jadi masalah." Ucap Irfan dengan pelan dan meletakkan sendok makannya.

"Pastikan besok sudah up, OK." Ucap Irfan yang kemudian langsung menutup teleponnya, tidak lama ia kembali menatap layar handphonenya. Dan menerima pesan masuk yang baru saja dikirimkan, ia pun tersenyum memandang pesan yang baru saja ia terima.