*Flashback
Mariana masuk kedalam mobil dengan sangat terpaksa dan kesal, mengikuti langkah suaminya yang memasang wajah marahnya. Bambang tidak ingin anak-anaknya melihat mereka bertikai seperti ini, tapi istrinya sudah melewati batas dan menguji kesabarannya.
"Apa kamu sudah puas dengan apa yang sudah kamu lakukan?" Ucap Bambang yang mulai menghidupkan mobil, dan mengarahkan mobil menuju keluar rumah.
"Apa kamu sadar, tingkahmu seperti anak - anak?" Bambang kembali bertanya dengan amarahnya. "Anak-anak? Harusnya kamu yang bercermin Bam, siapa yang lebih bertingkah seperti anak-anak?" Mariana menjawab dengan nada lebih menantang.
"Sekarang apa mau kamu? Kamu pergi meninggalkan rumah, tidak memberi kabar dan tiba-tiba kamu datang dan ingin bercerai dariku. Apa itu tidak kekanak-kanakan?" Bambang kembali meninggikan nada bicaranya, Mariana balik menatapnya. Hujan yang turun dengan tiba-tiba, menambah ketegangan di antara mereka berdua.
"Apa yang aku lakukan, hanya untuk melindungi anak-anakku Bam." Suara Mariana yang bergetar, tampaknya sudah lama menahan isak tangisnya. Bambang tidak mempedulikan perkataan istrinya, dan masih terus menatap jalan di depannya.
Bambang sendiri pun tidak yakin kemana dia membawa mobilnya melaju, dia hanya ingin anak-anaknya tidak melihat ayah dan ibu mereka yang dalam keadaan kacau dan hancur. Bambang terus melajukan mobilnya di malam yang sudah larut.
"Mau kemana kita?" Tanya Mariana dengan ketus setelah cukup lama mereka berdiam diri, Bambang memberhentikan mobilnya. Terlihat lampu merah yang berada di depannya, ia berpikir bahwa ini adalah kesempatan bagus untuk berbicara dengan istrinya.
"Aku hanya ingin kita bisa bicara dengan kepala dingin." Ucap Bambang yang kali ini menatap istrinya dengan tatapan sayang. "Maafkan aku Ana, aku telah berbuat kasar terhadapmu." Ucap Bambang yang kali ini menyentuh pipi istrinya yang mulai menitikkan air mata.
"Jauh sebelum kamu berkata maaf, aku sudah memaafkanmu Bam. Aku hanya tidak bisa terima dengan apa yang sudah kau perbuat dengan anak-anakku, anak-anakmu juga." Ucap Mariana dengan sedih, dan meletakkan kembali tangan Bambang yang menyentuh pipinya.
"Aku hanya ingin yang terbaik untuk mereka." Bambang berdalih, dan kini menggenggam kedua tangan istrinya dengan erat. "Bukan Bam, apa yang kamu lakukan adalah yang terbaik untukmu bukan untuk mereka." Ucap Mariana dengan sedih. Bambang yang mendengar ucapan istrinya tertunduk malu.
"Apa kamu tidak sadar atas apa yang sudah kamu lakukan, kamu tidak memberikan pilihan kepada anak-anak kita." Mariana menatap suaminya dengan penuh harapan. "Mereka berhak atas hidup mereka, mereka berhak menjalani apa yang menjadi pilihan mereka. Karena dengan seperti itu, anak-anak kita akan belajar untuk lebih dewasa dan mereka juga akan belajar bertanggung jawab." Kali ini Mariana kembali menggenggam tangan suaminya.
"Maafkan aku Ana, aku akan berjanji demi anak-anak kita, demi istri yang kucintai. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Kau tidak akan pergi menjauh kan dariku?" Bambang menatap mata istinya yang mulai berkaca.
"Kamu tau Bam, disisi lain aku sangat egois jika meninggalkanmu dalam kondisi saat ini. Aku terlalu mencintaimu, bahkan bodohnya aku akan menjilati ludahku sendiri. Untuk meminta kau menerimaku kembali." Ucap Mariana tersenyum. Bambang yang senang mendengar perkataan istrinya, memberikan sebuah pelukan dan ciuman di kening istrinya. "I love you Ana," ucap Bambang masih memberikan ciuman kening untuk istrinya. "I Love you too." Ucap Maria tersenyum memandang wajah suaminya.
Bambang pun menyentuh pipi istrinya, menyesali tangannya yang pernah dengan kasar menyentuh pipi mariana. Bambang yang melihat lampu hijau, kembali menjalankan mobilnya dengan perlahan.
Dia akan memutuskan untuk kembali ke rumah, dan bertemu dengan anak-anaknya. Mobil itu berjalan dengan pelan di malam yang larut. Hanya ada beberapa lampu jalan yang menyoroti jalan mereka.
Suasana malam yang dingin karena hujan yang turun dan sepi, berbanding terbalik dengan perasaan bahagia yang mereka rasakan. Bambang melirik ke arah kiri jendela mobilnya, sebuah truk besar berwarna kuning seakan sudah menunggu mereka dan diam-diam bersenyembunyi untuk menyambut kedatangan mereka.
Mariana yang melihat suaminya berteriak dan memandang sisi jendelanya, seketika mengetahui ketakutan yang dirasakan oleh suaminya. Suara dentuman terdengar keras , Bambang bisa menyaksikan istrinya yang membentur jendela disampingnya.
Bambang pun ikut berputar-putar di dalam mobil, terkantuk-kantuk dan hanya bisa berpasrah. Mobil itu terseret cukup jauh dan terhenti di tepi jalan dalam kondisi yang terbalik. Kejadiannya sangat cepat dan tidak dapat disangka, kali ini Bambang merasakan rasa yang amat sakit disekujur tubuhnya, Bambang melirik istrinya yang terpejam dan berlumuran darah.
Tangan Mariana terkulai lemah dengan banyak tetesan darah yang mengalir, Bambang bisa melihat beberapa pecahan kaca menggores kulit istrinya. Sungguh sulit bagi Bambang melihat dalam keadaan terbalik, ia mencoba meraih tangan istrinya tapi hanya bisa menyentuh ujung jari Mariana.
Bambang berusaha menggerakkan jari Mariana, berharap istrinya bisa merespon dirinya. "Ana.." Panggil Bambang dengan lirih, ia pun mencoba menggeser badannya walaupun usahanya sia-sia. Badannya terhimpit antara stir mobil, ia mulai kesulitan bernafas tapi masih mencoba berusaha memanggil nama istrinya.
Mariana masih terpejam, semakin banyak darah yang mengalir dari lengannya yang tergores kaca. Bambang sudah kesulitan untuk melihat, ada rasa pusing yang ia rasakan. Dan rasanya ia pun sudah tidak sanggup untuk membuka matanya. Perlahan Bambang pun mulai kehilangan kesadarannya.
***
Present
Ruangan kerja terlihat sangat sunyi, kali ini hanya ada Putri dan Bambang. Surya dan Roy mengikuti isntruksi ayah mereka, untuk meninggalkan Bambang agar bisa berbicara dengan Putri. Bambang masih terdiam di balik meja kerjanya, masih teringat olehnya kejadian yang merengut nyawa istrinya.
Kembali ia memandang Putri, dan bangkit dari kursinya dengan memegangi tongkat yang membantu menopang tubuhnya. Berbalik dan menatap pemandangan langit malam dari jendelanya. "Janji, janji papa sama mama kamu. Untuk menjaga kalian semua." Putri mendengar ayahnya yang mulai berbicara.
"Walaupun, malam itu kalian melihat kami bertengkar. Tapi pada akhirnya, kami memutuskan untuk bersama." Bambang kali ini membalikkan badannya dan menatap wajah Putri yang masih terlihat bingung dengan arah pembicaraannya.
"Mamamu seorang yang cantik, tegas, pintar dan sifatnya yang tidak mau mengalah. Sama seperti kamu Putri." Bambang tersenyum memandang wajahnya. "Pah, Putri mau menanyakan yang tadi," Ucapan Putri tampaknya tidak dihimbaukan oleh ayahnya yang kembali melanjutkan pembicaraan.
"Kamu benar-benar, mewariskan kecantikan mama kamu. Papah masih ingat bagaimana, dia ingin memiliki seorang anak perempuan." Bambang kali ini jalan mendekati Putri dan duduk disampingnya, masih menatap wajah Putri.
"Mamamu seorang yang pantang menyerah, dia selalu membantu papa dalam perkerjaan kantor." Ucap Bambang yang kali ini terdengar sedih. "Belakangan ini, ada beberapa masalah yang harus papa hadapi di pekerjaan. Sudah cukup lama, papa dan mama mencoba semaksimal mungkin untuk mengatasinya." Suara Bambang terdengar sangat putus asa.
"Sampai akhirnya Surya memutuskan menikah dengan leyna, papa sangat kecewa saat itu. Tapi papa tidak berhenti memaksakan keinginan papa, sampai akhirnya Roy menikah dengan Renata." Putri yang mulai mengerti perkataan ayahnya, memberanikan diri untuk menatap wajah ayahnya dari dekat.
Sudah banyak kerutan yang terlihat di wajah ayahnya, walaupun wajah tampan ayahnya masih bisa terpancar. Tapi Putri bisa dengan jelas melihat kelelahan di wajah ayahnya, seperti ada beban yang selama ini dibawa oleh ayahnya.
"Keluarga Renata, banyak membantu. Tapi kenyataannya, kami tetap membuat kesalahan yang sama." Bambang menggenggam kedua tangannya dengan erat, dan Putri bisa melihat keputusasaan ayahnya.
"Perusahaan dalam keadaan genting, dan tidak banyak yang bisa kami lakukan untuk mencegahnya. Papa tidak yakin berapa banyak pegawai yang akan kami mutasi ataupun diberhentikan." Ucap Bambang masih tertunduk menatap tangannya.
"Kau ingat saat Rita datang?" Tanya Bambang dan Putri hanya menatap ayahnya dan hanya bisa mengedipkan matanya, karena nyatanya ayahnya pun tidak menunggu jawaban Putri. "Mamamu sangat menyayangi Rita, walaupun mereka tidak memiliki hubungan darah. Entah bagaimana Rita mengetahui kondisi perusahaan. Kali ini dia menawarkan bantuan, bantuan yang papa pikir akan sangat benar-benar membantu memulihkan kondisi perusahaan." Bambang meletakkan tongkatnya di sisi kursi.
"Maksud papa?" Putri kembali bingung. "Papa tidak mau ini menjadi berat untukmu, papa tidak akan memaksakan atau pun menentukan jalan hidupmu. Tapi ijinkan papa, agar kamu bisa melihat dan menentukan pilihanmu sendiri." Ucap Bambang yang merangkul Putri dengan erat.
"Ini hanyalah sebuah perkenalan, ingat janji papa? Papa tidak akan memaksa Putri." Putri menggenggam tangan papanya tanpa berkata apapun. Putri sangat sudah paham dengan pembicaraan ayahnya.
Putri memutuskan untuk kembali ke kamarnya, bahkan ia lupa dengan tujuan awalnya. Putri melemparkan handpone-nya ke tempat tidurnya, berjalan menuju meja belajarnya dan mengambil laptopnya.
Duduk bersila dan mulai menyalakan laptopnya, Putri sangat paham dengan pembicaraan ayahnya. Ayahnya mengatakan sebuah perkenalan, tapi Putri lebih menyikapinya dengan perjodohan. Walaupun tetap Putri yang akan membuat keputusan.
Putri juga kesal pada dirinya sendiri, bagaimana ia cukup egois dan tidak melihat mengapa ayahnya bersikap keras sebelumnya. Bagaimana perusahaan mereka dalam kondisi yang memprihatinkan.
Putri mulai mengetikkan kata kunci keluarga Wijaya. Banyak artikel yang muncul, dan ia harus membacanya dengan perlahan. Putri membaca beberapa artikel mengenai keluarga Wijaya.
Info yang ia dapatkan, Keluarga Wijaya sangatlah luar biasa. Keluarga tersebut berperan penting di berbagai sektor industri, bahkan mereka juga memiliki stasiun TV mereka sendiri.
Bima Wijaya adalah anak pertama dari keluarga Wijaya, dan sudah meninggal dunia hampir empat tahun yang lalu. Saat ini Brama Wijaya yang menjadi penerus dari keluarga Wijaya, Brama Wijaya memiliki seorang istri dan dua anak.
Rita sebagai anak pertamanya, dan Irfan Wijaya sebagai anak kedua mereka. Putri bisa melihat beberapa artikel yang berisikan tentang Irfan, menginformasikan kesuksesannya di usia muda dalam membantu menjalankan perusahaan keluarga.
Putri meletakkan laptop disampingnya, menyandarkan tubuhnya di sisi tempat tidur. Mencoba memahami dan menelaah kembali semua pembicaraan ayahnya. Sifat ayahnya yang tidak memaksanya, justru malah membuatnya semakin tidak nyaman. Semakin ingin melindungi ayahnya, tetapi Putri masih meragukan keberaniannya untuk berkorban.
Putri mengeluarkan sebuah foto dari buku kecilnya, foto yang ia ambil di malam ibunya meninggal. Putri mengusap foto tersebut dengan perasaan yang mendalam, terlihat wajah ibunya yang tersenyum manis memandang dirinya yang masih berusia tujuh tahun.
Perayaan ulang tahun tergambar dari foto tersebut, Putri semakin merindukan ibunya. Perasaannya yang saat ini berkecamuk, membuatnya ingin menghilang atau melupakan masalah yang sedang menunggunya.
Malam itu hujan pun turun dengan deras, Putri masih berpikir apa yang akan terjadi dengannya nanti. Akankah dia berjuang atau menyerah, Putri melangkahkan kakinya menuju jendela kamar. Menatap tetesan hujan yang turun dengan deras, air matanya pun mengalir.
Bukan karena ia terlalu sedih, tapi karena ia terlalu kecewa dengan dirinya. Kecewa akan dirinya yang belum sanggup untuk berjuang, kecewa akan dirinya karena hanya bisa berpasrahkan diri.