Chereads / IHeart You / Chapter 25 - Kesendirian.

Chapter 25 - Kesendirian.

*Pernahkah kau merasa sendiri?

*Pernahkah kau merasa semua menjauh darimu?

*Pernahkah kau menyalahkan hidupmu?

*Atau pernahkah kau merasakan bahagia?

*Pernahkah kau berpikir, hanya waktu yang selalu menemanimu dengan setia?

*Seorang teman yang akan selalu mendampimu tanpa kau minta.

*Seorang teman yang berharga yang selalu memberikan pelajaran berharga, tentang apa yang sudah dan akan kau lalui.

*Seorang teman yang kejam, yang akan tega meninggalkanmu dalam kesedihan.

*Seorang teman yang tidak meminta sedikitpun kebahagian darimu.

*Seorang teman yang akan terus berjalan dengan atau tanpamu.

*Tapi seorang teman yang berharga, yang setiap saat memberikan pelajaran,

*Agar kau dapat menghargai waktumu.

Sudah tiga hari ini Putri sepulang sekolah selalu mengurung dirinya di kamar. Bahkan di sekolah pun, lebih banyak diam dari sebelumnya. Andi bahkan tidak bisa menghiburnya sama sekali. Beberapa kali Andi mencoba untuk menghibur Putri dan mengajaknya untuk pergi walau hanya untuk menonton, tapi berkali-kali Putri menolak keras ajakan temannya.

Putri lebih memilih pulang langsung ke rumah usai sekolah. Andi pun tidak bisa memaksakan kehendaknya. Suasana di rumah tidak lebih nyaman dibandingkan sekolah, Wira dan Rian tentunya sudah kembali kerumah, mereka sudah kembali di hari dimana Putri mendatangi Raja dan Rafa.

Sikap Wira lebih dingin dari biasanya, sedangkan Rian mencoba membuat suasana rumah menjadi lebih hidup lagi. Putri hampir tidak melihat ayahnya di setiap makan malam yang ia lalui.

Roy mengatakan kalau ayahnya sedang butuh istirahat, Roy pun tidak banyak menceritakan apapun. Roy terlihat sangat sibuk dengan semua pekerjaan yang diberikan oleh Papa.

Wira selalu mencoba menjauhi Putri, Putri sungguh tidak nyaman dengan situasi ini. Membuatnya terus berpikir, bahwa ini semua adalah kesalahannya. Dia lah penyebab hancurnya hubungan keluarga ini.

Putri memandang album foto yang cukup besar dan tebal, ia mengambil dari lemari buku yang berada di ruang keluarga dan membawanya kedalam kamarnya. Tersenyum sendiri, memandangi wajah-wajah mungil saudaranya. Beberapa foto menunjukkan betapa harmonisnya keluarga mereka.

Putri merasakan sakit di pergelangan tangannya, ia meletakkan album foto disampingnya. Ia meraba pergelangan tangannya, beberapa malam ini Putri mencoba membuat banyak goresan di lengannya. Tapi keberaniannya tidak terlalu kuat untuk menorehkan lebih dalam, walau ia tetap mencobanya berkali-kali.

Bekas sayatan itu masih terlihat jelas, bahkan rasa perih yang amat dan bengkak ia biarkan berhari-hari. Putri mencoba menutupi sayatan yang ia buat dengan selalu menggunakan lengan panjang, bahkan di sekolah pun ia menggunakan sweater dengan alasan sakit.

Putri duduk sambil menekuk lututnya, entah apa yang dipikirkan olehnya sehingga muncul ide untuk mengakhiri hidupnya. Apa yang dilakukannya, selalu tidak berujung dengan hal yang baik. Bahkan orang-orang disekitarnya yang ia sayangi perlahan mulai menjauh, Putri tau saat ini ia sangat berpikir egois dan menganggap bahwa dirinya yang paling menderita. Pada kenyataannya ia hanya tidak sanggup dengan semua ketidak harmonisan di keluarganya.

Air matanya sudah sering berlinang di setiap malam, bahkan saat ini Putri masih sanggup untuk menangisi keadaannya. Cukup lama Putri meratapi dirinya di dalam kamar, suasana usai makan malam berlangsung sangat cepat, semuanya sudah kembali ke kamar masing-masing. Putri tidak yakin apakah isak tangisnya terdengar oleh kakak-kakaknya.

Putri menghentikan tangisannya dan menyeka hingusnya dengan panjang. Putri seperti mendengar suara keramaian di luar. Suaranya tidak asing, dan ia yakin kalau itu adalah suara ibunya. Putri berlari ke arah luar, dan ia menemukan Wira dan Rian sudah berada di luar kamar. Mereka berdua memandang kebawah di lantai dasar, memperhatikan keramaian yang ada diruang keluarga, yang bisa langsung dilihat di lantai dua tempat mereka semua berdiri memperhatikan.

Putri menatap ke arah bawah, ia melihat sosok ibunya, ayahnya dan juga Roy. Mereka bertiga sedang bertengkar, suara mereka terlalu nyaring dan mengisi semua ruang di rumah itu.

"Mariana!!" Ucap Bambang dengan lantang, "Apa pantas sikapmu ini sebagai seorang istri dan ibu dari anak-anakmu?" Bambang semakin mengeraskan suaranya, mencoba mengimbangi suara Mariana yang cukup lantang.

"Cukup Bam, seharusnya kamu tanyakan itu pada diri kamu sendiri? Sebenarnya siapa yang pantas atau tidak pantas?" Jawab Mariana tidak kalah kencang. "Kenapa kalian selalu bertindak seperti anak-anak. Apa kalian tidak bisa bersikap dewasa, layaknya usia kalian." Ucapan Roy tidak kalah kencang membuatnya menjadi pusat perhatian.

"Mama?" Teriak Putri dari atas, Ibunya langsung menatap wajah Putri dengan sedih. Putri langsung berlari melewati Wira dan Rian, dengan cepat menuruni anak tangga dan bergegas menghampiri ibunya. Putri langsung memeluk ibunya dengan erat. Mariana pun membalas pelukan Putri dengan pelukan dan ciuman dikening.

"Anakku sayang." Ucap Mariana sambil memeluk Putri. "Ma, pa. Putri mohon, jangan ada pertengkaran lagi." Ucap Putri yang kini menangis. Bambang terlihat syok dengan ucapan Putri, dan menarik nafasnya untuk mengatur emosinya.

"Lebih baik kalian bicarakan masalah kalian di luar." Roy kembali berbicara, Mariana tampak setuju dan Bambang pun tidak bisa meneruskan pertikaian mereka di depan anak-anak. Mariana mengendurkan pelukannya, tapi Putri seakan tidak rela melepas pelukan mamanya.

"Putri, sayang. Nanti kamu harus ikut mama ya, mama akan selalu berada disamping Putri. Putri jangan sedih lagi." Ucap Mariana mengusap air mata anaknya, "Maksud mama? Apa?" Tanya Putri dengan sangat bingung, kemudian menatap wajah ayahnya yang langsung memalingkan wajahnya.

"Ok Bam, kita akan bicarakan hal ini di luar. Kurasa sudah cukup kita membuat kekacauan di rumah ini." Ucap Mariana yang kini menatap Wira dan Rian yang sedari tadi tidak bergerak dan masih diam memandang.

"Aku akan ikut." Ucap Roy, "Tidak Roy, tidak perlu." Bambang menolak ajakan putranya. "Ya Roy, kamu tidak perlu ikut. Kami rasa kami sudah sangat cukup dewasa, dan tidak akan bertindak seperti anak-anak." Mariana menimpali ucapan suaminya.

"Asal kalian janji, kalian harus berpikir dengan tenang dan tanpa emosi." Roy kali ini menatap ayahnya dengan sorotan yang tajam, mengingat ayahnya lah yang tidak bisa mengontrol emosinya.

"Ya Roy, kamu tidak perlu khawatir." Ucap ayahnya meyakinkan. "Aku yang menyetir." Ucap Bambang yang langsung mengambil kunci mobil di meja, Mariana pun hanya mengikuti ucapan suaminya.

"Ma, mama mau kemana. Putri gak mau ditinggal lagi." Putri menangis dan mencoba menggenggam tangan mamanya. "Tenang Put, kamu akan baik-baik saja kok. Ada beberapa urusan yang harus mama selesaikan dengan papa." Ucap Mariana dengan tersenyum. "Mama akan kembali lagi kan, mama gak akan pergi dari rumah kan." Ucap Putri yang masih terisak dengan tangisannya.

Mariana tidak menjawab ucapan Putri tapi sorot matanya menunjukkan kalau dia tidak bisa menjanjikan apapun kepada Putri, berlalu meninggalkan Putri dan pergi bersama suaminya. Roy masih tampak terlihat tegang dan raut kekecewaan terlihat jelas di wajahnya. "Ka Roy, apa yang sedang terjadi sebenarnya?" Tanya Putri yang memegang tangan Roy dan menatap wajah kakaknya dengan kesedihan.