Wenda terus saja diam saat dia dan Axton memakai baju yang sudah disiapkan khusus untuk keduanya. Axton lebih antusias ketimbang Wenda, dia menimang-nimang di mana baju yang pantas untuk mereka pakai.
"Wenda, coba pakai ini." perintahnya sambil menyodorkan sebuah gaun yang dia pilihkan untuk Wenda. Merasa tak dihiraukan, pria itu memandang lekat pada Wenda yang sedang menatap kosong. Tahu kalau wanita kesayangannya melamun, pria itu menyentuh salah satu pundak Wenda.
Wenda seketika sadar dan memandang Axton . "Iya ada apa?" tanya Wenda cepat.
"Apa kau mempunyai masalah?" Axton balik bertanya. Wenda tak mengerti dengan ucapan Axton jadi dia mengkerutkan dahinya.
"Kulihat kau sedang melamun, apa kau sedang berpikir kejadian tadi?" Axton menghela napas panjang karena Wenda tak menjawab dan malah memberikan guritan kesedihan di wajahnya.
"Wenda, kenapa kau sedih memikirkan orang lain yang dihukum karenamu? dia pantas kok mendapatkannya. Dia seenaknya mencibirmu di depanku, tentu saja aku marah." Wenda mengadahkan wajahnya, kedua matanya berkaca-kaca.
"Kenapa?" hanya satu kata itu saja yang dikeluarkan oleh Wenda dari lidahnya yang kaku.
"Karena aku mencintaimu Wenda, aku tak akan membiarkan siapapun menghinamu seperti itu lagi." Wenda masih dengan memasang wajah muram memeluk Axton dan semakin lama pelukan itu terasa erat sekali seolah-olah tak mau Axton terlepas.
"Akhir-akhir ini aku merasa khawatir tentang hubungan kita berdua. Aku merasa kau akan meninggalkanku sendiri." ungkap Wenda. Axton menggeleng dan membalas pelukan Wenda.
"Mungkin kau hanya cemas, jangan terlalu dipikirkan dan satu yang pasti aku tak akan meninggalkanmu walau seberat apapun masalahmu." lanjut Axton.
'Bukan itu yang kucemaskan Axton, apa kau sadar sebentar lagi kontrak pernikahan kita akan selesai?' kata batin Wenda. Nyatanya, Axton menyadari hal tersebut dan sudah mengganti dokumen pernikahannya tanpa sepengetahuan Wenda.
Axton ingin mengejutkan Wenda dan Axton sadar Wenda kalut memikirkan pernikahan mereka yang dia kira akan berakhir. Rencana Axton harus berjalan dengan lancar.
💘💘💘💘
Keesokan harinya, pesta pun dirayakan besar-besaran di sebuah aula hotel berbintang lima. Dua belah pihak dari DeMonte Corporation dan Denzel Company bergabung dalam pesta tersebut tak terkecuali keluarga DeMonte. "Senang bisa bertemu dengan anda Tuan Fredikson," sapa Axton pada Fredikson, ayah Leo.
"Senang juga bisa bertemu dengan anda Tuan Denzel. Aku sangat gembira begitu mendengar hasil kerja sama perusahaan kita berjalan dengan lancar dan ini berkat anda Tuan Axton." ujar Fredikson.
"Tidak juga aku hanya membantu sedikit kerja sama kita berhasil berkat juga Tuan Leo, anak anda. Mengenai Leo, di mana dia?" tanya Axton.
"Ah itu.." Kedua mata Fredikson menatap malas pada Leo yang kini tengah bercengkrama dengan beberapa wanita muda cantik.
"Seperti biasa, sifat playboynya sedang kambuh." lanjutnya. Axton hanya tergelak mendengar ucapan Fredikson pada anaknya sendiri.
"Andai saja aku mempunyai anak sepertimu Tuan Denzel, aku sudah pasti akan pensiun seperti Ayahku dan menikmati hidup bersama istriku. Hhaaahh ... kapan Leo mau dewasa?" curhat Fredikson sambil terus memandang putra semata wayangnya.
"Jangan seperti itu Tuan Fredikson, walau dia playboy dia pasti akan tumbuh dewasa hanya saja mungkin ini belum waktunya." hibur Axton tersenyum tipis.
Pandangan Fredikson kini beralih pada Axton dan menampakkan senyuman di wajahnya yang tua. "Orang tua anda pasti bangga mempunyai putra seperti anda, sudah muda, pandai berbisnis lagi." Pujian Fredikson membuat Axton tersenyum miris.
Andai saja Fredikson tahu hubungan Axton tak baik dengan orang tuanya, apa dia masih akan memuji Axton. "Oh ya di mana karyawanmu yang bekerja susah payah, aku ingin menemuinya." pinta Fredikson.
"Oh soal itu ... " Axton mengulum senyuman. Tatapannya beralih pada seorang wanita yang berjalan dengan kikuk karena menjadi pusat perhatian.
"Itu dia." lanjutnya. Dia kemudian memanggil Wenda mendekat dan mengenalkan Tuan Fredikson pada Wenda begitu juga sebaliknya.
"Wah kalian serasi ya," ucap Fredikson tiba-tiba. Wenda melebarkan matanya, terkejut dengan ucapan Fredikson.
"Baju kalian memiliki warna yang sama, semua orang pasti mengira kalian ada suami istri." lanjutnya. Axton tersenyum lebar sementara Wenda tersenyum malu. Mereka memang pasangan suami istri.
Dikala mereka tengah asyik bercengkrama, dua wanita yang berdiri tak jauh dari mereka menatap Axton dan Wenda dengan tajam. Salsa menatap kesal pada Brenda yang masih serius menatap Axton.
Kau masih bisa tenang saat Wenda mendapat semua pujian yang seharusnya untukmu?" tanya Salsa pada Brenda. Pandangannya beralih pada Salsa dari Axton.
"Kau pikir aku terlihat suka dengan hal ini?! Aku sangat membenci Wenda yang merebut semuanya dariku terutama Axton, tapi apa yang harus aku lakukan? Wenda sudah mengerjakan pekerjaannya dengan baik dan mau tak mau aku harus bahagia juga?!" balasnya dengan delikan. Salsa mendengus kesal mendengar perkataan Brenda yang jelas menyerah dengan keadaan.
"Pakai acara model bajunya seperti Presiden lagi, dasar pencari muka." cibir Salsa.
"Sudahlah, kita biarkan saja dia menikmati waktunya." sahut Brenda. Salsa melirik padanya yang kini tersenyum smirk padanya.
"Kau tahu maksudku, bukan?" Salsa tertawa pelan dan mengancungkan jempolnya.
💘💘💘💘
Setelah berbincang dengan Tuan Fredikson, Wenda meninggalkan Axton dan Fredikson yang sedang bicara tentang bisnis mereka. Dia berjalan melihat banyak sekali makanan yang terletak di meja.
Semua makanan tersebut menggugah seleranya namun susah memilih karena semuanya kelihatan enak. "Wah lihat ini Nyonya Denzel sepertinya kesulitan memilih makanan."
Kedua mata Wenda melirik dengan tajam pada orang itu. Leo hanya memberikan senyuman simpul pada Wenda. "Stt ... jangan keras-keras kalau ada orang yang dengar bagaimana?" bisik Wenda sambil memperhatikan keadaan di sekelilingnya.
"Santai saja lagi, aku ini pandai jaga rahasia." Leo menjeda, dia memperhatikan penampilan Wenda dari atas ke bawah.
"Apa dia yang melakukan ini padamu?" Wenda ikut juga memperhatikan gaunnya kemudian mengangguk.
"Hm, sepertinya dia sangat menyayangimu." kata Leo lagi. Wenda tersenyum pahit, dia masih memikirkan tentang pernikahan kontrak mereka yang akan berakhir pada tengah malam nanti.
Wenda masih sangat gelisah. "Aku pergi dulu ya," ucap Leo ketika melihat seorang wanita yang dia kenal memanggilnya dengan isyarat. Wenda menghela napas berat dan berjalan menjauh dari meja.
Dia sudah tak berselera makan sekarang. Wenda lalu duduk di sebuah sofa memperhatikan orang-orang yang tengah bercengkrama, memijit pelipisnya karena masalah yang dia pikirkan.
Seorang pelayan menghampirinya dengan sebuah minuman. "Minuman Nona." katanya pada Wenda. Wenda mengambil minuman tersebut dan mengucapkan terima kasih pada si pelayan.
Diteguknya habis minuman itu dan meletakkan gelas yang kosong di meja yang dekat dengan sofa tersebut. Wenda menguap, kantuk mulai menyerang. Dia pun pasrah dengan menyadarkan punggungnya di sofa dan akhirnya tertidur pulas.